MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA PENGAJUAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang 
Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 termasuk di dalamnya menyelesaikan perkara voluntair. Dalam hal ini Pengadilan Agama hanya menerima pengajuan Gugatan/ Permohonan bagi orang-orang beragama Islam. Dalam pengajuan perkara di Pengadilan Agama, Penggugat / Pemohon dapat mendaftarkannya ke Kepaniteraan Pengadilan Agama melalui Meja I untuk menaksir panjar biaya. 
Perkara serta membayarnya di kasir sekaligus menyerahkan surat gugatan/ permohonan, kemudian menghadap pada Meja II dengan menyerahkan surat  Gugatan/Permohonan untuk diserahkan kepada wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera. Dalam waktu maksimal 7 hari, Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dalam sebuah “Penetapan Majelis Hakim” (PMH) (pasal 121 HIR. Jo. Pasal 93 UU-PA).
Namun dalam hal ini, sebagian orang masih banyak yang belum memahami mengenai prosedur mekanisme dalam mengajukan suatu gugatan ke Pengadilan Agama. Akibatnya masyarakat Indonesia sendiri yang beragama islam kurang akan kesadaran hukum dalam menyelesaikan sengketa atas perkaranya. 
Rumusan Masalah 
Apa Pengertian Gugatan/Permohonan ? 
Bagaimana Seputar Perkara Volunteir dan Kontentious ?
Bagaimana Gugatan Lisan, Tertulis, dan Lewat Kuasa Hukum ?
Bagaimana Bentuk dan Isi Gugatan ?
Tujuan Penulisan 
Untuk Mengetahui Pengertian Gugatan Permohonan.
Untuk Mengetahui Tentang Perkara Volunteir dan Kontentious.
Untuk mengetahui Gugatan Lisan, Tertulis, dan Lewat Kuasa Hukum.
Untuk Mengetahui Bentuk dan Isi Gugatan.
Manfaat Penulisan 
Pembaca, dapat menambah pengetahuan dan pemahaman yang berkaitan dengan  masalah Pengajuan Gugatan atau Permohonan. Selain itu tulisan ini dapat dijadikan refernsi terutama bagi semua pihak yang memerlukan bahan bacaan dalam masalah Pengajuan Gugatan atau Permohonan.
Penulis, dapat mengembangkan pengetahuan dan wawasan tentang Pengajuan Gugatan atau Permohonan.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gugatan/Permohonan

Terdapat dua bentuk perkara yang diajukan kepada pengadilan, yaitu perkara permohonan dan perkara gugatan. Pada dasarnya perkara permohonan merupakan perkara yang tidak mengandung sengketa, yang diajukan oleh seorang atau lebih secara bersama kepada pengadilan untuk minta ditetapkan sesuatu hak bagi dirinya atau tentang kedudukan hukum tertentu. Orang yang mengajukan permohonan itu disebut pemohon (introductief request atau al-mudda’iy). Oleh karena itu produk pengadilan terhadap permohonan itu adalah penetapan (bescbikking atau al-itsbat), sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Pasal 60 UU Nomor 7 Tahun 1989.
Menurut Retnowulan (!986:6), dalam perkara permohonan itu hakim hanya memberikan jasa-jasanya sebagai tenaga Tata Usaha Negara. Terhadap permohonan itu hakim mengeluarkan suatu penetapan atau lazim disebut putusan declatoir, yang bersifat menetapkan atau menerangkan saja.
Gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak, yang menuntut pemutusan dan penyelesaian pengadilan. Dalam suatu gugatan terdapat pihak (seorang atau lebih) yang “merasa” haknya telah dilanggar oleh pihak lain (seorang atau lebih), mengajukan gugatan kepada pihak yang melanggar hak itu. Pihak yang mengajukan gugatan itu disebut penggugat (eiser atau al-mudda’iy). Sedangkan pihak yang digugat disebut tergugat (gedagde atau al-mudda’a ‘alayb). 
Dalam perkara gugatan itu hakim benar-benar berfungsi sebagai pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Ia mengadili para pihak dan mengutus pihak mana benar, apakah pihak penggugat atau pihak tergugat. Hal yang demikian itu disebut peradilan yang sesungguhnya (jurisdictie contentiosa). Produk penggalian terhadap perkara itu disebut putusan (vonnis atau al-qadha’), sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Pasal 60 UU Nomor 7 Tahun 1989.
Pada prinsipnya permohonan diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. Sedangkan gugatan, pada prinsipnya diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Namun, dalam berbagai hal tertentu dapat kekecualian.

Seputar Perkara Voluntair dan Contentius
Perkara Voluntair

Pengertian permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang diajukan kepada Ketua Pengadilan. Adapun yang menjadi ciri khas dari permohonan atau gugatan voluntair adalah sebagai berikut :
Masalah yang diajukan di dalam permohonan atau gugatan voluntair bersifat kepentingan sepihak semata.
Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada Pengadilan Negeri (PN), pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain. 
Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-parte. 
Bahwa sama seperti gugatan perdata contetiosa yang berisikan mengenai fundamentum petedi atau posita dan petitum, di dalam gugatan voluntair, juga memiliki hal serupa, namun perbedaannya di dalam gugatan voluntair, fundamentum petendi atau posita permohonan, tidak serumit dalam gugatan perdata contentiosa. Isi posita permohonan cukup memuat dan menjelaskan hubungan hukum antara diri pemohon dengan permasalahan hukum yang dipersoalkan yang pada prinsipnya di dasarkan pada ketentuan Pasal Undang-Undang yang menjadi alasan permohonan, dengan menghubungkan ketentuan itu dengan peristiwa yang dihadapi pemohon. Dan mengenai isi petitum dari gugatan voluntair atau permohonan, dengan kerangka pemikiran bahwa kasus permohonan, pihak yang ada hanya pemohon sendiri, dan tidak pihak lain yang ditarik sebagai lawan atau tergugat.

Perkara Contentiosa

Kata contentiosa atau contentious, berasal dari bahasa latin yang salah satu artinya yang dekat dengan kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkara adalah penuh semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa atau contentious juridiction, yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa.
Berdasarkan Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) dan Pasal 118 Ayat 1 HIR (Pasal 142 RBG), bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, yakni:
Berbentuk lisan (Pasal 120 HIR dan Pasal 144 RBG).
Berbentuk tulisan (Pasal 118 Ayat (1) HIR dan Pasal 142 RBG).\
Berbeda dengan gugatan permohonan, formulasi gugatan contentiosa bentuknya tidak sederhana, ia harus memenuhi beberapa persyaratan yang wajib terdapat dan tercantum dalam surat gugatan.
Gugatan Lisan, Tertulis, dan Lewat Kuasa Hukum
Gugatan Lisan
Dalam Pasal 120 HIR dan Pasal 144 ayat (10 R.Bg dikemukakan bahwa jika orang yang menggugat buta huruf, maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua Pengadilan mencatat segala hal; ihwal gugatan itu dalam bentuk tertulis. Jika ketua Pengadilan karena sesuatu hal tidak dapat mencatat sendiri gugatan tersebut, maka ia dapat meminta seorang hakim untuk mencatat dan memformulasikan gugatan tersebut sehingga memudahkan Majelis Hakim untuk memeriksanya.
Dispensasi yang di berikan oleh aturan perundang-undangan kepada orang yang buta huruf untuk menggugat secara lisan langsung kepada Pengadilan mempunyai tujuan untuk melindungi dan membantu orang yang buta huruf itu dalam rangka menuntut hak-haknya, agar terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam membuat gugatan, yang dapat terjadi apabila dilakukan oleh orang lain. Dalam praktik, gugatan secara lisan ini jarang yang ditangani secara langsung oleh Ketua Pengadilan, tetapi Ketua Pengadilan menugaskan seorang hakim untuk mencatat gugatan itu dan diformulasikan itu ditandatangani oleh Ketua Pengadilan atau hakim yang memformulasikan gugatan itu. Penggugat tidak perlu menandatangani atau membumbuhkan cap jempolnya pada surat gugat tersebut dan juga tidak perlu diberi materai. Menurut purtusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 369 K/Sip/1973 tanggal 4 Desember 1975 bahwa suatu gugatan tertulis yang dibubuhi cap jempol dinyatakan tidak diterima.
Sebagaimana dalam membuat surat gugat secara tertulis, membuat surat gugat yang diajukan secara lisan oleh penggugat yang buta huruf juga tidak ada ketentuan khusus yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Hanya dalam praktik biasanya proses pengajuan gugat secara lisan dapat dilaksanakan sebagai berikut :
Tuntutan disampaikan secaralisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang
Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan mencatat segala kejadian dan peristiwa sekitar dalam sebuah surat gugat yang mudah dipahami apabila para pihak membacanya 
Gugatan yang telah diformulasikan dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan kepada Penggugat, apakah segala hal yang mernjadi persengketaan dan tuntutan yang dikehendakinya telah sesuai dengan kehendak Penggugat
Apabila sudah sesuai dengan kehendak Penggugat, maka surat gugat yang telah diformulasikan itu ditandatangani oleh ketua/hakim yang ditunjuk oleh ketua untuk menyusun formulasi gugatan itu.
Dalam praktik Pengadilan Agama selama ini, apabila orang yang buta huruf mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjukuntuk mencatat gugatan itu, maka penunjukan kuasa hukumnya harus diucapkan secara tegas dengan menyebutkan nama dan tempat tinggal pihak yang menerima kuasa. Penunjuk kuasa hukum biasanya dilaksanakan pada saat mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan dan orang yang menerima kuasa itu datang bersama-sama dengan Penggugat, secara tegas Penggugat menyampaikan kepada Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk bahwa perkara tersebut diwakilkan kepada orang itu. Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk mencatat secara lengkap identitas penerima kuasa itu dalam catatan yang diformulasikan sebagai surat gugat. Pihak yang menerima kuasa secara lisan itu tidak perlu membumbuhkan tanda tangan pada surat gugat yang diajukan secara lisan.
Sesudah penerima kuasa dicatat identitasnya secara lengkap dalam berita acara sidang, maka selanjutnya penerima kuasa berhak datang menghadap sendiri dalam persidangan Majelis Hakim sebagai kuasa hukum Penggugat. Jika tindakan wakil/kuasa itu dirasakan oleh Penggugat secara lisan itu tidak memuaskan dirinya, maka penunjukan kuasa hukum dicabut kembali. Pencabutan kuasa hukum itu harus dinyatakan secara tegas dan disampaikan kepada Majelis Hakim yang meyidangkan perkara tersebut dan juga kepada kuasa hukum yang ditunjuk itu.

Gugatan Tertulis

Bentuk gugatan tertulis adalah yang paling utama. HIR pasal 118 ayat (1) atau pasal 142 Rechtsreglement voor de Buitengewestern (RBg) menyatakan bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama diawali dengan melakukan pendaftaran surat permohonan gugatan di yurisdiksi kompentensi tempat tinggal si tergugat (asas actor sequitor forum rei), atau domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian kepada kuasanya. Surat permohonan tersebut sudah ditandatanganioleh Penggugat atau kuasanya, danditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. 
Surat gugatan haruslah bertanggal, menyebutkan dengan jelas nama Penggugat dan Tergugat, umur, agama, tempat tinggal mereka dan kalau perlu disebutkan juga jabatan dan kedudukannya.
Surat gugatan sebaiknya diketik rapi, akan tetapi apabila yang bersangkutan tidak bisa mempergunakan mesin tik, dapat juga ditulis dengan tangan diatas kertas biasa, tidak perlu diberi materai.
Perlu juga diperhatikan bahwa surat gugat harus dibuat dalam beberapa rangkap, satu helai yang asli untuk pengadilan, satu helai untuk arsip Penggugat ditambah sekian banyak salinan lagi untuk masing-masing Tergugat dan turut Tergugat. Setelah surat gugat atau surat lisan tersebut dibuat, surat gugat tersebut didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan yang bersangkutan dengan membayar persekot uang perkara. Sebagimana telah di kemukakan pada poin terdahulu, tidak ada ketentuan khusus dan persyaratan tertentu tentang tata cara menyusundan membuat suart gugatan.

Gugatan Lewat Kuasa Hukum

Peraturan perundang-undangan tidak mengatur bahwa pihak dalam suatu perkara harus mewakilkan kepada orang lain. Orang yang langsung berkepentingan dapat aktif bertindak sendiri sebagi pihakdi muka sidang Pengadilan, baik sebagai Penggugat maupun sebagai Tergugat. Mereka ini termasuk pihak materil karena mempunyai kepentingan langsung dalam perkara yang bersangkutan. Tetapi mereka sekaligus menjadi pihak formil karena mereka sendirilah yang beracara dimuka sidang Pengadilan. Mereka itu berindak atas namanya sendiri selaku yang berkepentingan.
Akan tetapi dalam keadaan tertentu para pihak yang berperkara dapat mewakilakn kepada pihak lain untuk beracara dimuka sidang Pengadilan, yaitu penerima kuasa (vertegenwoor diger, authorizee). Tentang perwakilan ini diatur dalam pasal 123 HIR atau pasal 147 ayat (1) R. Bg. Menurut ketentuan pasal ini, pihak-pihak yang berpekara dapat menguasakan perkaranya kepada orang lain dengan surat kuasa khusus 9bijzaondere schriftelijke machtiging, specially written authorization), pemberian kuasa dapat juga dilaksanakan secara lisan maupun tertulis.
Menurut pasal 1792 BW, pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. 
Yang dapat bertindak sebagai kuasa para pihak atau wakil dari penggugat adalah seseorang yang memenuhi salah satu syarat sebagai berikut yakni :
Harus mempunyai surat kuasa khusus sesuai dengan bunyi Pasal 123 ayat (1) HIR dan Pasal 147 ayat (1) R. Bg Ditunjukan sebagi kuasa atau wakil dalam catatan gugatan apabila diajukan secara lisan sebagimana tersebut dalam pasal 120 HIR atau pasal 144 RBg.
Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugat
Ditunjuk Penggugat sebagai kuasa atau wakil di dalam persidangan sebagaimana tersebut dalam pasal 123 ayat (1) R. Bg
Memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Mentri Kehakiman Nomor 1/1965 tanggal 18 mei 1965 jo. Keputusan Mentri Kehakiman Nomor J.P14/12/11 tanggal 7 Oktober 1956 tentang Pokrol 
Telah terdaftar sebagai advokat atau pengacara praktek.

Bentuk dan Isi Gugatan 

Gugatan Rekonvensi

Gugatan Rekonvensi diatur dalam pasal 132 a dan 132 b HIR yang disisipkan dalam HIR dengan Stb. 1927-300 yang diambil alih dari pasal 244-247 B. Rv. Sedangkan dalam R. Bg tentang rekonvensi ini diatur dalam pasal 157 dan pasal 158. Dalam hukum acara perdata, gugat rekonvensi ini dikenal dengan “gugat balik” berhubung Tergugat juga melakukan wanprestasi pada Tergugat. Tergugat baru dapat melakukan gugat rekonvensi apabila secara kebetulan berkaitan dengan hukum kebendaan yang sedang diperiksa dalam sidang pengadilan, gugat rekonvensi tidak boleh dilaksanakan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perorangan atau yang menyangkut dengan status orang. Jadi tidak semua gugatan Penggugat dibalas dengan gugat rekonvensi. Tujuan gugat rekonvensi ini adalah untuk mengimbangi gugatan Penggugat, agar sama-sama dapat diperiksa sekaligus.
Gugatan rekonvensi harus jelas keberadaannya. Mesti diformulasi atau diterangkan tergugat dalam jawaban. Demikian penegasan Putusan MANo. 330 K/Pdt/1986.Meskipun HIR tidak secara tegas menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan itu dianggap ada dan sah, ia harus dirumuskansecara jelas dalam jawaban. Tujuannya agar pihak lawandapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukantergugat kepadanya.Bentuk pengajuan, boleh secara lisan, tetapi lebih baik dengan tulisan. Bentuk-bentuk yang mana saja boleh dipilih tergugat. Akan tetapi apapun bentuknya, yang pentingdiperhatikan, gugatan rekonvensi mesti memenuhi syarat formil gugatan:
Menyebut dengan tegas subjektif yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;
Merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi gugatan;
Menyebut dengan rincipetitum gugatan.
Apabila unsur-unsur di atas tidak dipenuhi, gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat, dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, selain eksistensi gugatan rekonvensi mesti tegas disebut dalam jawaban, mesti disebut dengan tegas pada pihak yang ditarik sebagai tergugat, terang dalil yang dirumuskan serta rinci satu persatu petitumnya. Sehubungan dengan itu, menurut Putusan MA No. 1154 K/Sip/1973, gugatan rekonvensi yang tidak memenuhi unsur syarat formil gugatan, dianggap bukan merupakan gugatan rekonvensi yangsungguh-sungguh, dan dalam hal demikian dianggap tidak ada gugatan rekonvensi. Konstruksi ini seolah-olah ada gugatan rekonvensi pada hal tersebut tidak tegas dinyatakan dalam jawaban tergugat atau apabila unsur yang disyaratkan tidak terpenuhi tidak dapat dibenarkan. Misalnya, tergugat menegaskan dalam jawaban mengajukan gugatan rekonvensi, tetapi tidak dibarengi dengan petitum gugatan. Dalam kasus ini, meskipun gugatan itu merumuskan dalil, gugatan rekonvensi dianggap tidak sah, apabila dalil itu tidak dibarengi dengan petitum gugatan.

Gugatan Intervensi

Tentang intervensi diatur dalam pasal 279-282 B. Rv yang sekarang sudah tidak berlaku lagi. Menurut pasal 279 B. Rv tersebut barangsiapa yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara yang sedang diperiksa dalam sidang pengadilan, maka yang bersangkutan dapat ikut serta dalam perkara itu dengan menyertai atau menengahi dengan syarat yang bersangkutan harus mempunyai kepentingan yang cukup yang apabila ia tidak ikut serta dalam perkara tersebut, maka ia akan menderita rugi. Jadi inisiatif masuknya ke dalam perkara yang disidangkan itu adalah pihak ketiga yang merasa hak nya dirugikan

Intervensi dibagi menjadi 3 tiga yaitu :

1. Voeging, yaitu ikut sertanya pihak ketiga yang karena inisiatif sendiri ingin dilibatkan dalam proses pemeriksaan sengketa perkara perdata di Pengadilan, untuk membela salah satu pihak, baik pihak penggugat atau pihak tergugat (Pasal 279 RV).

2. Tussenkomst, yaitu ikut sertanya pihak ketiga yang karena inisiatifnya sendiri ingin dilibatkan dalam proses pemeriksaan sengketa perkara perdata di Pengadilan, akan tetapi tidak memihak salah satu pihak, baik pihak penggugat atau pihak tergugat tetapi demi membela kepentingannya sendiri (Pasal 282 RV).
Adapun ciri-ciri daripada tussenkomst ini adalah:
Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang masuk dalam perkara yang sedang berlangsung, berdiri sendiri dan bukan perkara baru. 
Adanya kepentingan dari pihak yang berkepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian atau haknya yang terancam dan apabila dibiarkan akan bertambah rugi.
Pihak yang mengadakan intervensi itu melawan tergugat dan penggugat sekaligus, dia tidak memihak kepada siapa-siapa hanya semata-mata untuk membela kepentingannya sendiri. 
Pihak yang mengadakan intervensi itu mengajukan gugatan secara tertulis kepada ketua pengadilan agama dengan memohon agar diberi izin untuk ikut bergabung dalam perkara yang sedang diperiksa itu. 
Vrijwaring, atau penjaminan yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan sengketa perdata di Pengadilan, karena ditarik masuk oleh salah satu pihak untuk ikut menanggungnya, baik dari pihak penggugat maupun dari pihak tergugat.
3. Gugatan dengan Cuma-Cuma (Prodeo)

Dalam hal pihak penggugat atau tergugat tidak mampu membayar biaya perkara, maka berdasarkan pasal 237 HIR dan pasal 273 R. Bg maka ia dapat mohon kepada ketua pengadilan untuk berperkara secara Cuma-Cuma. Permintaan berperkara secara Cuma-Cuma ini harus dimintakan sebelum perkara pokok diperiksa oleh pengadilan. Permintaan untuk berperkara secara Cuma-Cuma ini harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari instansi yang berwenang, dewasa ini dikeluarkan oleh kepala desa dan diketahui oleh camat. Menurut pasal 238 HIR dan pasal 274 R. Bg keterangan tidak mampu harus dikeluarkan oleh aparat kepolisian ditempat tinggal orang yang meminta gugat secara Cuma-Cuma. Jika pihak yang mengajukan perkara Cuma-Cuma itu tidak mendapatkan keterangan miskin dari instansi yang berwenang, maka untuk membuktikan ketidakmampuannya itu harus dilakukan dengan jalan mendengar keterangan saksi, atau keterangan lainnya seperti melihat pekerjaan, cara berpakaian, status sosial dan lainnya.
Lebih lanjut Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Prodeo. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak menggunakan istilah orang miskin melainkan istilah “pencari keadilan yang tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum” Ironisnya niat mulia peraturan perundang-undangan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Walaupun tidak ada hambatan lagi dalam masalah utama keuangan karena bebas biaya perkara namun akses masyarakat miskin dan termarjinalkan ke pengadilanmasih mengalami kesulitan.Masalah tersebut adalah masalah pendidikan yang tidak memadai, ongkos transportasi untuk datang ke pengadilan dan terutama kurangnya akses pengetahuan dan sosialisasi kepada masyarakat bahwa di pengadilan sudah dianggarkan untuk berperkara secara prodeo.
Jika pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama mengabulkan permohonan beracara dengan Cuma-Cuma, maka amar putusan sela pengadilan agama dan penetapan pengadilan tinggi agama adalah “Memberi izin kepada pemohon/penggugat untuk berperkara secara Cuma-Cuma”. Sedangkan apabila ditolak bunyi amarnya adalah “tidak memberi izin kepada pemohon/penggugat untuk beracara secara Cuma-Cuma”. Apabila pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama sudah memberi izin untuk beracara secara Cuma-Cuma, maka pihak pengadilan tidak dibenarkan memungut biaya kepada para pihak dalam bentuk apapun, termasuk biaya materai. Terhadap yang terakhir ini masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum, sebagian mereka mengatakan bahwa kalau sudah diberi izin beracara secara Cuma-Cuma maka biaya perkara bebas secara keseluruhan termasuk biaya materai. Sebagian lagi berpendapat semuanya bebas biaya kecuali biaya materai yang harus ditanggung oleh penggugat sebab biaya tersebut tidak bisa dibebankan kepada pengadilan.


CONTOH FORMAT SURAT GUGATAN CERAI

Jakarta Timur, 14 Februari 2018
Hal : Gugatan Cerai
Kepada,
Yth. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur
di-Jakarta Timur 
Assalamu'alaikum wr. wb.
Kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Adinda Rosdiana Dewi, S.Kep. Binti Sulaiman
Umur : 40 Tahun 
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : S-1 Keperawatan Universitas Indonesia
Pekerjaan : Perawat 
Tempat kediaman di : Jakarta Jl. Kayu Tinggi Rt. 05/ Rw. 05 No. 60 Kel.   Cakung Timur Kec. Cakung Jakarta Timur 13910.
Selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT.

Dengan hormat, Penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap suami saya:

Nama : Azdho Muhammad Romadhon, S.H. Bin   Sodikin 
Umur : 45 Tahun 
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : S-1 Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
 Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Tempat kediaman di : Jl. Curug Raya, Kalimalang Rt. 06/ Rw. 08, Kec.   Duren Sawit Jakarta Timur 13440
Selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT.
Adapun alasan/dalil - dalil gugatan Penggugat sebagai berikut :
Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri yang melangsungkan pernikahan pada tanggal 25 Desember 1998, dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Cakung sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor : 227/25/XII/1998 tanggal 25 Desember 1998.
Bahwa, sesaat setelah akad nikah Tergugat mengucapkan sighat taklik talak (talak bersyarat) terhadap Penggugat yang bunyinya sebagaimana tercantum di dalam Buku Kutipan Akta Nikah tersebut.
Bahwa setelah pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat bertempat tinggal di Jl. Curug Raya, Kalimalang Rt. 06/ Rw. 08, Kec. Duren Sawit Jakarta Timur 13440 kemudian pindah di  Jakarta Jl. Kayu Tinggi Rt. 05/ Rw. 05 No. 60 Kel. Cakung Timur Kec. Cakung Jakarta Timur 13910. selama 19 tahun 1 bulan dan selama pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat telah rukun baik sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai 2 anak masing masing bernama :
Ndaru Kusumo Wibowo lahir tanggal 16 Agustus 1999.
Wisnu Wira Agung lahir tanggal 20 September 2002.
Ke 2 anak tersebut dalam asuhan Adinda Rosdiana Dewi, S.Kep. 
Bahwa pada mulanya rumah tangga Penggugat dan Tergugat dalam keadaan rukun namun sejak bulan Oktober tahun 2017 ketentraman rumah tangga Penggugat dengan Tergugat mulai goyah, yaitu antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang penyebabnya antara lain :
Tergugat bermain cinta dengan perempuan lain bernama Soimah binti Zainal, yakni ia telah hidup kumpul serumah dengan perempuan tersebut di sebuah Rumah Jl. Gandaria No. 40 Rt. 12 Rw. 09, Kel. Pekayon, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur/ antara ia dengan perempuan tersebut saling berkirim pesan melalui Whatsapp yang mana pesan tersebut berisi tentang hubungan percintaan mereka / antara ia dengan perempuan tersebut saling berjalan bersama;
Tergugat sering minum-minuman keras bahkan sampai sering mabuk dan hal tersebut jelas terlihat sewaktu ia pulang entah darimana, dimana jalannya sempoyongan dan dari mulutnya menyengat bau alkhohol.
Bahwa Perselisihan dan pertengkaran itu berkelanjutan terus-menerus sehingga akhirnya sejak tanggal 1 bulan Januari Tahun 2018 hingga sekarang selama kurang lebih 1 Bulan 13 Hari, Penggugat dan Tergugat telah berpisah tempat tinggal/berpisah ranjang karena Tergugat telah pergi meninggalkan tempat kediaman bersama, yang mana dalam pisah rumah tersebut saat ini Penggugat bertempat tinggal di Jl. Kayu Tinggi Rt. 05/ Rw. 05 No. 60 Kel. Cakung Timur Kec. Cakung Jakarta Timur 13910 dan Tergugat bertempat tinggal di Jl. Curug Raya, Kalimalang Rt. 06/ Rw. 08, Kec. Duren Sawit Jakarta Timur 13440 dan selama itu sudah tidak ada hubungan lagi.
Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus tersebut mengakibatkan rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak ada kebahagiaan lahir dan batin dan tidak ada harapan untuk kembali membina rumah tangga.
Bahwa pihak keluarga sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat namun tidak berhasil.
Bahwa anak-anak Penggugat dan Tergugat selama ini tinggal bersama Penggugat karena itu untuk kepentingan anak-anak itu sendiri dan rasa kasih sayang Penggugat terhadap mereka, maka Penggugat mohon agar anak-anak tersebut ditetapkan dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat.
Bahwa atas dasar uraian diatas gugatan Penggugat telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No.1 tahun 1974 Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 19 Jo. Kompilasi Hukum Islam pasal 116.
Bahwa Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini.

Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat mohon agar Ketua Pengadilan Agama Kelas Sleman segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut :
PRIMAIR
Mengabulkan gugatan Penggugat;
Menceraikan perkawinan Penggugat (Adinda Rosdiana Dewi, S.Kep. Binti Sulaiman) dengan Tergugat (Azdho Muhammad Romadhon, S.H. Bin Sodikin);
Menetapkan anak yang bernama:
Ndaru Kusumo Wibowo lahir tanggal 16 Agustus 1999.
Wisnu Wira Agung lahir tanggal 20 September 2002.
dibawah pengasuhan dan pemeliharaan PENGGUGAT.
Membebankan biaya perkara menurut Hukum;
SUBSIDAIR
Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya  (ex aequo et bono).

Demikian atas terkabulnya gugatan ini, Penggugat menyampaikan terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Hormat Penggugat,

 (Adinda Rosdiana Dewi, S.Kep.)
CONTOH FORMAT SURAT GUGATAN REKONVENSI
JAWABAN PERTAMA
DAN GUGATAN REKONVENSI
Dalam Perkara Nomor : 1221/Pdt.G/2011/P.A.Bjn

Antara 
Ponirah binti Sudarmono sebagai Penggugat
Lawan:
Daryanto Bin Kasminto sebagai Tergugat

Kepada Yth.
Majelis Hakim Periksa
Perkara 1221/Pdt.G/2011/P.A.Bjn
Di-
Banjarnegara

Bismillahirrohmanirohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb. 

Tergugat/penggugat Rekonvensi ini mengajukan Jawaban dan Gugatan Rekonvensi atas Gugatan Cerai Penggugat/Tergugat Rekonvensi tertanggal 29 Januari 2011 yang akan diuraikan sebagai berikut : 

Dalam Konvensi :
1. Bahwa, Tergugat menolak semua dalil-dalil Penggugat kecuali yang secara tegas diakui oleh Tergugat.
2.  Bahwa, memang benar tergugat dengan penggugat telah menikah secara sah menurut agama Islam dan hukum yang berlaku pada tanggal 27 Juli 2008 dan dicatat  di hadapan Pejabat Kantor Pencatat Nikah sebagaimana diuraikan dalam kutipan akta nikah Nomor : 658/76/VII/2008 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)  Kecamatan Rakit Kabupaten Banjarnegara.
3. Bahwa, Tergugat sangat terkejut dan tidak menyangka sama sekali apabila penggugat mengajukan gugatan cerai ini ke Pengadilan Agama Banjarnegara setelah lebih dari lima tiga tahun membangun rumah tangga yang telah dikaruniai 1 orang anak dan rizki yang tak terhingga dari Allah SWT.
4.  Bahwa, Tergugat sudah berusaha bersikap sebagai suami yang shaleh yang mengerti kewajiban sebagai seorang suami.
5. Bahwa, Tergugat tidak habis pikir bila pengorbanan yang diberikan Tergugat selaku suami Penggugat selama ini ternyata dianggap tidak memuaskan oleh penggugat sehingga mengajukan gugatan cerai ini di Pengadilan Agama Banjarnegara, selain itu Tergugat juga menyadari bahwa mempertahankan keutuhan rumah tangga merupakan hal yang harus dilakukan seperti yang tertulis dalam sebuah hadits yang menerangkan : “Perbuatan Halal yangpaling dibenci oleh Allah adalah Talak”.Selanjutnya dalam Al-Qur’an juga disebutkan : “Dan pergaulilah istirimu dengan baik, maka apabila engkau benci terhadap istrimu, maka mungkin engkau membenci sesuatu sedang Allah SWT memberikan kebaikan yang hanya ada pada sesuatu yang engkau benci itu”.
6. Bahwa, karena tergugat selama lima bulan tidak melaksanakannya dengan memberi nafkah kepada penggugat, maka penggugat menuntut tergugat untuk membayar nafkah sebesar Rp. 500.000,- perbulan  sampai adanya putusan tetap dari pengadilan.
7. Bahwa, Tergugat tidak habis pikir jika penggugat dalam surat gugatannya menunjukkan dalil bahwa antara penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terlebih dalam dalil tersebut disebutkan bahwa perselisihan dan pertengkaran tersebut disebabkan karena penggugat tidak memberikan keturunan kepada tergugat sejak awal pernikahan.
8. Bahwa, penggugat yang tidak pernah diberikan nafkah lahir (belanja) sangat tidak mendasar dan mengada-ada karena Tergugat selama perkawinan telah memberikan nafkah lahir (belanja).
9. Bahwa, dalil yang diajukan oleh penggugat sebagai dasar perceraian tidak memenuhi alasan-alasan perceraian sebagaimana diatur dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
10. Bahwa, karena gugatan cerai penggugat tidak memenuhi alasan-alasan perceraian sebagaimana diatur dalam pasal 19 peraturan Pemerintan RI No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka tergugat memohon kepada majelis hakim Pengadilan Agama Kabupaten Banjarnegara yang memeriksa perkara ini untuk memberikan putusan : Menolak Gugatan Cerai Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima.

Dalam Rekonvensi :
1. Bahwa apa yang terurai dalam Konvensi mohon dianggap termuat ulang dalam sub rekonvensi ini.
2. Bahwa, Gugatan rekonvensi ini sesuai dengan apa yang telah diatur di dalam pasal 132a ayat 1 HIR yang menyatakan bahwa setiap subyek hukum yang digugat mempunyai hak untuk menggugat kembali.
3. Bahwa Apabila Ketua Pengadilan Agama Banjarnegara Cq. Majelis Hakim pemeriksa perkara ini ternyata menjatuhkan putusan yang sangat tidak diharapkan oleh penggugat rekonvensi yang berakibat putusnya perkawinan karena perceraian.
4.  Bahwa, karena Tergugat selama lima  5 (lima) bulan tidak melaksanakannya dengan memberi nafkah kepada penggugat, maka penggugat menuntut tergugat untuk membayar nafkah sebesar Rp. 500.000,- per bulan sampai adanya putusan tetap dari pengadilan ini dibatalkan.
5. Bahwa Apabila Ketua Pengadilan Agama Banjarnegara Cq. Majelis Hakim pemeriksa perkara ini ternyata menjatuhkan putusan yang sangat tidak diharapkan oleh penggugat rekonvensi, yakni mengabulkan gugatan cerai penggugat konvensi/tergugat rekonvensi yang berakibat putusnya perkawinan karena perceraian.

Bahwa dengan dasar dan alasan-alasan di atas, maka tergugat konvensi/penggugat rekonvensi berharap dan memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Banjarnergara Cq. Ketua Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berkenan untuk memutus sebagai berikut :
Dalam Konvensi :
1.   Menolak gugatan penggugat konvensi, atau setidak-tidaknya gugatan tidak dapat diterima, atau
2. Seandainya Pengadilan Agama Banjarnegara berpendapat lain, mohon dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) atau mohon mengadili menurut keadilan yang baik (naa gode justitie recht doen).
Dalam Rekonvensi :
1. Menerima dan mengabulkan Gugatan Rekonvensi untuk seluruhnya.
2. Melakukan pembatalan terhadap penerapan nafkah 500.000,- per bulan karena hal tersebut mengada-ada.
3. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun tergugat rekonvensi mengajukan verzet, banding dan kasasi maupun upaya hukum lainnya (putusan serta merat).

Dalam konvensi dan rekonvensi :
Menghukum Penggugat Konvesi/tergugat rekonvensi untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.

Sekian terima kasih.
Wassalamu’alakum Wr. Wb.

Banjarnegara, 25 Januari 2011
Hormat Kami,



CONTOH FORMAT SURAT GUGATAN PRODEO

FORMAT SURAT GUGATAN CERAI DAN PERMOHONAN PRODEO, 
SAMA DENGAN GUGATAN BIASA DI ATAS HANYA DITAMBAH POINT DI BAWAH INI

Bahwa pemohon adalah orang yang tidak mampu sesuai dengan Surat
Keterangan Tidak Mampu nomor .................. yang dikeluarkan oleh
Kelurahan/ Desa ........................... Kecamatan ........................ Kabupaten .............. Propinsi .................
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat mohon kepada Majelis
Hakim untuk menjatuh kanputusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
PRIMAIR
Mengabulkan gugatan Penggugat;
Menceraikan perkawinan Penggugat (Adinda Rosdiana Dewi, S.Kep. Binti Sulaiman) dengan Tergugat (Azdho Muhammad Romadhon, S.H. Bin Sodikin);
Menetapkan anak yang bernama:
Ndaru Kusumo Wibowo lahir tanggal 16 Agustus 1999.
Wisnu Wira Agung lahir tanggal 20 September 2002.
dibawah pengasuhan dan pemeliharaan PENGGUGAT.
Membebankan biaya perkara menurut Hukum;
SUBSIDAIR
Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya  (ex aequo et bono).

Demikian atas terkabulnya gugatan ini, Penggugat menyampaikan terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr. wb.






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di dalam proses penyelesaian perkara Pengadilan Agama terdapat dua macam bentuk perkara yang diajukan kepada pengadilan, yaitu perkara  permohonan dan perkara gugatan. Perkara permohonan sendiri merupakan perkara yang tidak mengandung sengketa, yang diajukan oleh seorang atau lebih secara bersama kepada pengadilan untuk minta ditetapkan sesuatu hak bagi dirinya atau tentang kedudukan hukum tertentu. Sedangkan gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak, yang menuntut pemutusan dan penyelesaian pengadilan.
Perkara Permohonan dapat disebut juga dengan gugatan Voluntair yang merupakan permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang diajukan kepada Ketua Pengadilan. Sedangkan perkara Gugatan dapat disebut juga dengan gugatan Contensiosa yang merupakan kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa.
Di dalam mengajukan permohonan atau gugatan dapat diajukan melalui gugatan lisan, gugatan tertulis, dan melalui Kuasa Hukum. 
Saran 
Dalam hal ini pemakalah menyarankan kepada pembaca agar mempelajari materi tersebut, yaitu mengenai “Pengertian Gugatan/Permohonan, Seputar Perkara Voluntair dan Perkara Contentiosa, Gugatan Lisan, Tertulis dan Lewat Kuasa Hukum, serta Bentuk dan Isi Gugatan”. Karena dengan mempelajarinya diharapkan bisa memahami mengenai materi kali ini. Serta banyaknya kesalahan dalam penulisan makalah ini, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pemakalah guna untuk memperbaiki kesalahan di masa yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA

Bisri, Cik Hasan. 2003. PERADILAN AGAMA di INDONESIA Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 
Ronny Roy Hutasoit. 2010. Tesis: PENGGUNAAN INSTRUMEN HUKUM PERDATA PEMBAYARAN TIDAK TERUTANG (ONVERSCHULDDIGDE BETALING) DALAM RANGKA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (TINJAUAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI MANTAN PRESIDEN SOEHARTO). Depok: FH UI. 
Abdul Manan. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Edisi Kedua. Jakarta : Prenadamedia Group. 
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Volume 9 Nomor 2 April 2018
Abdul Manan. 2001. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta : Yayasan Al-Hikmah.
I Nyoman Setiadi Sabda. 2015. Syarat Materil dan Formal Gugatan Rekonvensi Dalam Perkara Perdata. Lex Privatum, Vol.III/No. 2/Apr-Jun/2015. 
Puri Galih Kris Endarto. 2010. Tinjauan Yuridis Gugatan Intervensi Tussenkom stsebagai Upaya Hukum Alternatif dalam Gugatan Hukum Acara Perdata Biasa. Pandecta. Volume 5/Nomor 2/Juli/2010. 
Eka Susylawati. 2013. Implementasi Perkara Prodeo Bagi Masyarakat Miskin di Pengadilan Agama Pamekasan. Nuansa, Vol.10/No. 1 Januari – Juni 2013. 



Comments

Popular posts from this blog

Pengertian, Asas dan Sumber Hukum Peradilan Agama

Langkah-Langkah Analisis Hukum (Pemecahan Masalah Hukum)