Pengertian, Asas dan Sumber Hukum Peradilan Agama
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan dilingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di Ibu Kota, Kabupaten atau Kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam.
Pengadilan Agama dibentuk melalui Undang-Undang, dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua PA dan Wakil Ketua PA), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
Pengadilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara Perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia. Perkara warisan merupakan salah satu perkara perdata Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama selain masalah perkawinan, wasiat, hibah wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan ekonomi syariah. Maka umat Islam yang menyelesaikan perkara kewarisan di Pengadilan Agama, di samping telah melaksanakan ibadah juga melaksanakan aturan Allah SWT, dalam waktu yang sama telah patuh kepada aturan yang ditetapkan Negara.
Dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Agama ada suatu proses atau tata cara yang harus diikuti. Yang dinamakan Hukum Acara Peradilan Agama adalah perkara yang mencakup segala peraturan perundang-undangan negara maupun syariat Islam, yang mengatur bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama sampai mendapatkan hasil atau putusan dari Pengadilan Agama tersebut.
Rumusan Masalah
Apa pengertian peradilan agama?
Apa saja asas-asas peradilan agama?
Apa sumber hukum peradilan agama?
Tujuan Penulisan
Dapat menjelaskan peradilan agama
Dapat menyebutkan asas-asas peradilan agama
Dapat menjelaskan sumber hukum peradilan agama
BAB II
PENGERTIAN, ASAS DAN SUMBER HUKUM PERADILAN AGAMA
Pengertian Peradilan Agama.
Peradilan Agama dapat dirumuskan sebagai kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Agama. adapun satuan penyelenggara peradilan pada tingkat kedua (banding) adalah Pengadilan Tinggi Agama (PTA), sedangkan pada tingkat kasasi adalah Mahkamah Agung (MA).1
Peradilan diidentifikasi sebagai bagian dari pranata hukum untuk memenuhi kebutuhan penegakan hukum dan keadilan yang mengacu kepada hukum yang berlaku. Sedangkan hukum dapat di identifikasi sebagai dari pranata sosial.
Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama di Indonesia berhubungan secara timbal balik dengan pranata hukum dan pranata sosial lainnya. Ia tumbuh berkembang sejalan dengan perkembangan politik, yang berbasis pada stuktur sosial dan pada budaya di dalam sistem masyarakat bangsa Indonesia. Ia merupakan perwujudan alokasi nilai-nilai Islami dalam menata jalinan hubungan anatara manusia untuk mewujudkan penegakan hukum dan keadilan.
Peradilan Agama adalah terjemahan dari bahasa Belanda, Godstientige rechtspaak. Godstientige berarti ibadah atau agama. rechtspaak berarti peradilan, yaitu daya upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian hukum yang dilakukan menurut peraturan- peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. Kata-kata peradilan sama artinya istilah qadla dan aqdliyab dalam khazanah ilmu fiqh Islam.2
Peradilan agama di Indonesia semakin tegas disebut setelah diakui dalam Undang- Undnag Nomor 14 Tahun 1970 tentang Undang-undang Kehakiman yang menyebutkan bahwa: kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (a) Peradilan Umum (b) Peradilan Agama (c) peradilan militer (d) Peradilan Tata Usaha Negara.
Istilah-istilah yang beragam di atas bisa diakhiri setelah menteri agama pada tahun 1982 menyatakan penyeragaman nama menjadi peradilan agama.
istilah peradilan agama ini kemudian secara tegas dinyatakan pula dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1989
:bahwa peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama islam”.
Peradilan Agama adalah salah satu di antara Peradilan khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentusaja, tidak termasuk bidang pidana dan pula hanya untuk orang- orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu tidak mencangkup seluruh perdata Islam.3
Dari yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara di Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.
Asas- Asas Hukum Peradilan Agama
Inti daripada hukum terletak pada asas-asas yang kemudian diformulasikan menjadi perangkat peraturan perundang-undangan. Begitu juga dengan pengadilan agama, maka harus memperhatikan asas-asas sebagaimana yang dapat disimpulkan dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Adapun asas-asas yang berlaku pada pengadilan agama pada dasarnya hampir sama dengan asas-asas yang berlaku di pengadilan umum, yaitu antara lain:
Asas personalitas keislaman
Artinya pengadilan di lingkungan Badan Peradilan Agama, hanya untuk melayani penyelesaian perkara di bidang teertentu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, yaitu menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah dari rakyat Indonesia yang beragama Islam.
Indikator untuk menentukan kewenangan pengadilan agama terhadap sengketa atau permasalahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yaitu: agama yang dianut oleh kedua belah pihak saat terjadinya hukum adalah agama Islam dan hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam. Jika salah satu atau semua patokan tersebut tidak terpenuhi, maka terhadap kedua belah pihak yang bersengketa dibidang tersebut tidak berlaku asas personalitas keislaman.
Asas kebebasan
Asas ini dimiliki oleh setiap badan peradilan, tidak terkecuali badan peradilan agama. Kebebasan disini maksudnya adalah tidak boleh ada pihak lain yang ikut campur tangan dalam penanganan suatu perkara oleh pengadilan/majelis hakim.
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 4 ayat (3) Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, sebagai hasil perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman. Dan asas kemerdekaan kekuasaaan kehakiman ini merupakan asas yang paling pokok dan sentral dalam kehidupan peradilan.
Asas tidak menolak perkara hukumnya tidak jelas atau tidak ada
Penerapan asas ini, karena Hakim sebagai organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, sehingga apabila hakim tidak menemukan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan), maka ia wajib berijtihad dan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutuskan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara.
Dasar hukum mengenai asas bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dapat dijumpai dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kontek peradilan agama hukum yang ada dalam Al-Quran, Hadis, dan kitab-kitab fikih dalam hal ini dikategorikan sebagai hukum yang tidak tertulis, sehingga hakim dari pengadilan agama dapat menggali hukum ddari sumber-sumber tersebut.
Asas hakim wajib mendamaikan
Penyelesaian suatu perselisihan yang terbaik adalah dengan cara perdamaian. Hukum Islam mementingkan penyelesaian dengan cara perdamaian, sebelum dengan cara putusan pengadilan, karena putusan pengadilan dapat menimbulkan dendam yang mendalam, terutama bagi pihak yang dikalahkan. Untuk itu sebelum diperiksa hakim wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu. Apabila hal ini belum dilakukan oleh hakim bisa berakibat bahwa putusan yang dijatuhkan batal demi hukum.
Dalam hal usaha perdamaian berhasil, dibuatkanlah akta perdamaian, dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati perdamaian teersebut. Kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yaitu mengikat dan dapat dieksekusi.
Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
Asas bahwa beracara di pengadilan harus sederhana, cepat, dan biaya ringan tertuang dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (2) Undang –undang Nomor 4 Tahun2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Beracara sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap pencari keadilan, sehingga apabila peradilan agama kurang optimal dalam arti mewujudkan asas inibiasanya maka seorang akan enggan beracara di pengadilan agama, mereka justru enggan untuk berurusan dengan lembaga peradilan.
Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak
Tidak membeda-bedakan dalam hukum, istilahnya dalam sitem hukum Anglo Saxon adalah equality before the law yang artinya bahwa setiap orang mempunyai persamaan kedudukan dibawah hukum.
Asas persidangan terbuka untuk umum
Menurut ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, bahwa sidang pemeriksaan perkara perdata harus dilaksanakan dalam siding terbuka untuk umum. Tujuan asas ini adalah untuk menghindari terjadinya penyimpangan proses pemeriksaan, seperti bersikap berat sebelah, hakim bertindak sewenang-wenang.
Dengan demikian, persidangan terbuka untuk umum itu diharapkan; (1) dapat menjamin adanya sosial kontrol atas tugas-tugas yang dilaksanakan oleh hakim (2) untuk memberikan edukasi dan prepensi kepada masyarakat tentang suatu peristiwa (3) masyarakat dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk.
Asas hakim aktif memberi bantuan
Artinya pengadilan harus membantu secara aktif kepada para pencari keadilan dan berusaha secara sungguh-sungguh dan sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 dijelaskan bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis
Asas ini secara eksplisit ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan sekurang-kurangnya 3 (orang) hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Diantara tiga hakim tersebut satu bertindak sebagai ketua majlis hakim dan berwenang untuk memimpin jalannya siding peradilan.
Sumber Hukum Peradilan Agama
Hukum Materil Peradilan Agama
Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fikih, yang sudah barang tentu rentan terhadap perbedaan. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang telah lama dijajah oleh bangsa asing yang bukan hanya berpengaruh terhadap politik pemerintahan dan ekonomi, tapi juga terhadap agama. Pengaruh terhadap agama dimulai dengan pemetaan daerah hukum adat oleh Van VollenHoven sampai dengan teori Receptie Snouck Hurgronje. Sehingga dalam perjalanan sejarah, peradilan agama mengalami pasang surut terutama eksistensinya pernah hampir punah sama sekali.
Hukum peradilan agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama masa lalu. Karena dari segi konsulatif berbeda, dan sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan dan persamaan tersebut maka dikeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No.23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak, dan rujuk. Kemudian Undang- Undang ini ditindak lanjuti dengan surat biro peradilan agama pada 18 februari 1958 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1957 tentang pembentukan peradilan agama di luar jawa dan madura yang isinya mengatur para hakim Peradilan Agama atau Mahkamah Syari’ah menggunakan kitab-kitab fikih sebagai rujukan. Sebagai kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung didalamnya belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang yang di sahkan pemerintah bersama DPR. Bagi yang berpendapat hukum positif ialah hukum yang tertulis, maka hukum yang menjadi pedoman Peradilan Agama masih dianggap secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum posotif. Hal ini dilegalisasi oleh ketentuan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa seorang hakim mengadili, memahami dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyrakat. Untuk menjembatani dua aliran tentang hukum positif, maka sejak tanggal 2 januari 1974 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan disusul oleh keluarnya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
Walaupun Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang didalamnya mengatur peradilan agama disahkan sejak 17 fesember 1970, namun secara riil pengadilan agama baru berjalan setelah adanya Skb. Mahkamah Agung dan Menteri Agama No. 01, 02, 03 dan 04 tahun 1989 tentang peradilan agama. Sedangkan hukum materiilnya masih mengacu pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan sebagian tercantum dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pada sisi lain negara islam juga memberlakukan Hukum Islam dalam Perundang- undangannya. Atas dasar itu dan untuk mewujudkan kepastian hukum sekaligus mewujudkan hukum Islam setidak-tidaknya di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan Skb.Mahkamah Agung dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dengan keluarnya surat keputusan bersama tersebut dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama, melakukan lokakarya dan hasil pengkajian, penelaahan kitab kemudian ditambah dengan studi banding ke negara-negara islam lainnya seperti mesir, turki, maroko. Setelah semua data terkumpul menjadi naskah kompilasi, kemudian diajukan oleh menteri agama kepada presiden tanggal 14 maret 1988.
Untuk menjadikan kompilasi sebagai undang-undang memerlukan proses yang terlalu panjang, sedangkan pada saat itu kebutuhan hukum sudah sangat mendesak. Oleh karena itu pemerintah mengambil jalan pintas melalui instrumen hukum Intruksi Presiden. Maka pada 19 juni tahun 1991 pemerintah mengeluarkan Intruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang penyebaran Kompilasi Hukum Islam yang kemudian disusul pada tanggal 22 juni 1991 melalui Menteri Agama yang mengeluarkan Surat Keputusan No. 154 Tahun 1991 pada 22 juli yang pokoknya berisi ajakan kepada jajaran Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan sekaligus menggunakan Kompilasi Hukum Islam yang berisi hukum perkawinan, pewarisan dan perwakafan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi.
Hukum Formil Peradilan Agama
Hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan umum, kecuali hal-hal yang telah disebut secara khusus dalam Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama tersebut. Adapun sumber hukum yang berlaku di lingkungan peradilan umum diberlakukan juga pada lingkungan peradilan agama adalah sebagai berikut.
Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)
Dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hoogerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah tidak berlaku lagi. Tetapi karena hal yang diatur di dalam B.Rv masih banyak yang relevan dengan perkembangan hukum acara saat ini, dan untuk mengisi kekosongan hukum, maka ketentuan yang tersebut dalam B.Rv masih banyak dipakai dalam pelaksanaan Hukum Acara Perdata di lingkungan peradilan umum.
Indlandsh Reglement (IR)
Ketentuan hukum acara lain diperuntukkan untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing yang berada di jawa dan madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini diubah namanya menjadi Het Herzience Indonesia Reglement (HIR) atau disebut juga dengan Reglement Indonesia.
Rechtsregelement Voor De Buitengewesten (R.Bg)
Ketentuan ini diperuntukan untuk golongan bumiputera dan timur asing yang berada diluar jawa dan madura yang berperkara dimuka Landraad. R.Bg ditetapkan berdasarkan ordonasi tanggal 11 mei 1927.
Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia
Bw yang dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang pembuktian
.
.
Wetboek Van Koophandel (WvK)
WvK dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang juga terdapat sumber acara hukum perdata, sebagai sumber penerapan hukum acara dalam praktik peradilan.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No.20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di jawa, madura. Sedangkan bagi yang diluar pulau jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang telah diubah menjadi UU=ndang-undang No.35 Tahun 1999. Terakhir dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
Undang-undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah menjadi UU No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.
Undang-undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam Undang-undang ini diatur tentang susunan dan kekuasaan peradilan di lingkungan peradilan di lingkungan peradilan umum
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan tersebut
Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama.
Yurisprudensi
Menurut kamus fockema andrea, yurisprudensi adalah pengumpulan sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab negara indonesia tidak menganut asas “the binding force of precedent” , jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Tentang Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata meteriil dapat dijadikan hukum acara dalam praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim. Surat Edaran dan Intrupsi Mahkamah Agung RI tidak mengikat hakim sebagaimana undang- undang. Menurut Sudikno Mertokusumo surat edaran dan intrupsi mahkamah agung bukanlah hukum, melainkan sumber hukum bukan dalam arti tempat ditemukan hukum melainkan tempat hakim dapat menggali hukum.
Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Menurut sudikno mertokusumo , doktrin dan ilmu pengetahuan merupakan hukum acara juga , hakim dapat mengadili hukum perdata. Doktrin merupakan sumber hukum tetapi bukan hukum. Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para Hakim pengadilan agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dari kitab fikih sebagai berikut:
Al-Bajuri
Fatkhul Mu’in
Syarqawi ‘At-Tahrir
Qalyubi Wa Umairah/Al-Mahalli
Fatkul wahhab dan syarahnya
Tuhfah
Targhib Al-Mustaq
Qawanin syari’ah Li Sayyid bin Yahya
Qawanin syari’ah Li Sayiid Shadaqah
Syamsuri li Fara’id
Bughyat Al-Musytarsyidin
Al Fiqih Ala Madzanib Al-Arba’ah
Mughni Al-Muhtaj
Dengan menunjuk kepada 13 buah kitab fikih sebagaimana tersebut diatas, diharapkan hakim peradilan agama dapat mengambil atau menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Islam untuk dijadikan pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya di lingkungan Peradilan Agama.6
BAB III PENUTUP
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulakn bahwa Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Agama. adapun satuan penyelenggara peradilan pada tingkat kedua (banding) adalah Pengadilan Tinggi Agama (PTA), sedangkan pada tingkat kasasi adalah Mahkamah Agung (MA).
Asas-asas yang berlaku pada pengadilan agama pada dasarnya hampir sama dengan asas-asas yang berlaku di pengadilan umum, yaitu antara lain: Asas personalitas keislaman, asas kebebasan, asas tidak menolak perkara hukumnya tidak jelas atau tidak ada, asas hakim wajib mendamaikan, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak, asas persidangan terbuka untuk umum, asas hakim aktif memberi bantuan dan asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis.
Sumber hukum peradilan agama ada dua yaitu; sumber hukum materil peradilan agama dan sumber hukum formil peradilan agama
Menyadari bahwa pemakalah masih jauh dari kata sempurna, kedepannya bagi pembaca agar lebih banyak membaca buku-buku yang lebih menunjang kedalam materi ini agar lebih jelas pemahamannya tentang materi pengertian, asas dan sumber hukum peradilan agama ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nuryadin, Hadin. Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004. Hakim, Abdul. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Djalil, A Baasiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kecana, 2010.
Aripin, Jaenal. Peradilan agama dalam bingkai reformasi hukum di Indonesia Jakarta: Kencana prenada media grup, 2008.
Jalil, Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Grup, 2006.
Comments
Post a Comment