TUGAS AKHIR ANTROPOLOGI HUKUM. BUDAYA MERANTAU BAGI MASYARAKAT MINANGKABAU


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat etnis Minangkabau dikenal sebagai salah satu masyarakat yang melakukan tradisi merantau dan hal tersebut menjadikan sebuah ciri khas dari masyarakat Minangkabau sendiri. Merantau diartikan sebagai tradisi yang meninggalkan kampung halaman untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Menurut Mochtar Naim istilah merantau setidaknya mengandung enam pokok unsur yaitu: (1) Meninggalkan kampung halaman; (2) dengan kemauan sendiri; (3) untuk jangka waktu lama atau tidak; (4) dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman; (5) biasanya dengan maksud kembali pulang, dan; (6) merantau ialah lembaga sosial yang membudaya. Secara ringkas merantau diartikan sebagai suatu jenis migrasi yang dibatasi oleh keenam kriteria yang disebutkan diatas.
Merantau juga menunjukan bahwa masyarakat Minang merupakan masyarakat mandiri dan mudah menempatkan diri di dalam masyarakat hal ini ditunjukan dengan bagaimana mereka hidup di masyarakat yang mereka datangi. Ini karena ajaran adat dan budayanya yang mengatakan “dimano bumi dipijak disinan langit dijunjuang” (dimana bumi dipijak disana langit dijunjung). Anggapan ini dibuktikan dengan kondisi para perantau yang hidup dengan tidak berkelompok dan dapat berbaur dengan baik dimana pun mereka berada, contohnya di Ciputat. Masyarakat Minangkabau dikota ini cukup banyak, keberadaan mereka pun tersebar kesetiap penjuru kota ini. Yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang.
Terdapat kaitan yang erat antara merantau dengan Budaya Manggaleh atau yang dikenal dengan Berdagang, walaupun banyak orang Minang memiliki profes diluar berdagang tetapi orang Minang terlanjur menonjol sebagaipedagang yang dapat menyaingi orang Cina. Dibekali kemampuan dagang yang baik sampai-sampai banyak orang berseloroh, kalau ada migrasi kebulan pada saat itu juga rumah makan padang akan berdiri disana. Ini menunjukan bahwa orang Minang dapat menjangkau berbagai tempat. Namun didalam bukunya Mochtar Naim mengatakan bukanlah suatu keharusan bahwa tujuan merantau adalah untuk pindah secara permanen atau meninggalkan kampunga asal untuk selamanya. Mungkin sebaiknya, dengan menggunakan kata-kata dari Mabogunje, maksud merantau ialah “membuat kampung halaman yang semula, sebagai tempat yang baik untuk kembali" Mochtar Naim
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Penyesuaian Diri Bagi Perantau Minangkabau Agar Dapat Bertahan di Perantauan?
2. Bagaimana Perantau Minangkabau Mempertahakan Tradisi Sosial Budaya di Tanah Perantauan?
3. Bagaimana Budaya Merantau Yang Merupakan Bentuk Urbanisasi yang Tidak Selaras Dengan Keinginan Pemerintah Untuk Menekan Angka Urbanisasi?
4. Apa Solusi dan Rekomendasi Penulis Untuk Menyikapi Masalah ini?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis adalah untuk mengetahui budaya merantau masyarakat minangkabau secara lebih mendalam dan bagaimana aspek antropologi hukum memandang akan tradisi merantau.
D. Manfaat
Penulis berharap makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca yang mencari referensi atau rujukan untuk mengetahui dan memahami budaya merantau bagi masyrakat minangkabau





BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sejarah Suku Minangkabau
Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu Minang dan Kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata Minangkabau berarti “kerbau yang menang”. Menurut lagenda, nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu, untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan pertandingan adu kerbau diantara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Rakyat setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut dengan cara yang aman.
Masyarakat Minangkabau sendiri merupakan suatu kelompok etnik atau suku yang mendiami wilayah Propinsi Sumatera Barat. Sebagaimana halnya dengan masyarakat Indonesia lainnya di wilayah nusantara ini, masyarakat Minangkabau memiliki sistem nilai budaya yang telah diwarisi secara turun -temurun dari nenek moyang mereka. Masyarakat dan kebudayaan Minangkabau memiliki filsafat dan pandangan hidup yang terekspresikan dalam pepatah petitih adat yang menjadi acuan hidup mereka. Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa nilai-nilai kehidupan yang mereka yakini itu adalah prinsip hidup yang abadi dan langgeng, yang terkenal dengan ungkapan "tak lekang dek paneh dan tak lapuak dek hujan". Melalui pepatah- petitih dan pantun-peribahasa itu, akan ditemukan prinsip-prinsip dasar kehidupan yang dijadikan dasar dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.Minangkabau lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan daripada bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah.
 Prinsip-prinsip Kebudayaan Minangkabau itu dapat ditemukan dalam“Tambo” yang secara turun-temurun diwariskan melalui penuturan (lisan).Tambo adalah suatu karya sastra sejarah, suatu karya sastra yang menceritakan sejarah (asal usul) suku bangsa, asal usul negeri dan adat istiadatnya, yaitu Minangkabau. Karya sastra sejarah ini dapat juga disebuthistoriografi tradisional, penulisan sejarah suatu negeri berdasarkankepercayaan masyarakat turun temurun
Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang diciptakan oleh leluhurnya, yaitu Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan dalam lingkungannya. Artinya adat itu mengatur tata kehidupan masyarakat, baik secara perseorangan maupun secara bersama dalam setiap tingkah laku dan perbuatan dalam pergaulan, yang berdasarkan budi pekerti yang baik dan mulia, sehingga setiap pribadi mampu merasakan ke dalam dirinya apa yang dirasakan oleh orang lain. (Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai kelompok masyarakat yang mencontoh harmoni sistem hukum alam. Artinya, mereka dapat diibaratkan dengan semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya. Unsur-unsur itu saling berhubungan, tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan, tetapi tidak saling melenyapkan, dan saling mengelompok tetapi, tidak saling meleburkan (Navis, 1986:59).
Menambahkan bahwa manusia menurut pandangan pepatah adat Minangkabau haruslah memiliki status dan kedudukan yang sama di depan sejarah, sekalipun memiliki fungsi yang berbeda, seperti berbedanya fungsi matahari dan bumi, air, dan udara. Manusia dalam pandangan filsafat alam Minangkabau memiliki fungsi dan peran yang sesuai dengan kemampuan dan tugasnya masing-masing. Pepatah adat Minangkabau mengukuhkan sikap hidup ini dengan ungkapan “Yang buta penghembus lesung, yang pekak pelepas bedil, yang lumpuh penghuni rumah, yang kuat pemikul beban, yang bodoh untuk disuruh-suruh, dan yangpintar lawan berunding”
Selain itu masyarakat Minangkabau dikenal juga sebagai masyarakat yang sangat terbuka dalam menerima perubahan. Suku bangsa Minangkabau terkenal kepeloporannya dalam menyeruak ke alam pemikiran modern tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya yang telah berurat berakar dalamkebudayaan mereka. Memahami kebudayaan harus dimulai dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan genetik (yang merupakan pedoman yang diturunkan), tetapi sebagai kebudayaan diferensial (yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial). Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang secara turun temurun dibagi bersama atau dipraktekkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan- hubungan yang berubah dari waktu ke waktu.
Salah satu bentuk perubahan yang esensial ialah perkenalan yang lebih mendalam dengan agama Islam yang telah menimbulkan kesadaran pada orang Minangkabau untuk lebih mementingkan keislamannya daripada keMinangkabauannya dan menimbulkan kesadaran tentang keganjilan adat Minangkabau (Umar Yunus, 2007; 249).
Maksudnya disini adalah setelah masuknya agama islam di Minangkabau mereka merasa agama islam sangat sesuai dengan kehidupan mereka dan dapat dijadikan pedoman hidup yang baik sehingga mereka lebih mementingkan keislamannya dibandingkan budaya ke Minangkabauanyang mereka anut sebelumnya serta mereka baru memahami sebenarnya didalam Suatu kebudayaan itu sendiri terdapat kekurangan dan keganjilan dalam ajarannya serta penerapannya.
B. Migrasi dan Merantau
a. Migrasi
Migrasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melalui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dari suatu negara. Perserikatan bangsa-bangsa merumuskan : migrasi penduduk sebagai suatu perpindahan tempat tinggal dari suatu unit administrasi satu ke unit administrasi lain.
Secara sederhana migrasi didefinisikan sebagai aktivitas perpindahan. Bila melampaui batas negara maka disebut dengan migrasi internasional. Sedangkan migrasi dalam negeri merupakan perpindahan penduduk yang terjadi dalam batas wilayah suatu negara, baik antar daerah ataupun antar propinsi. Pindahnya penduduk ke suatu daerah tujuan disebut dengan migrasi masuk. Sedangkan perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah disebut dengan migrasi keluar.
Menurut BPS (terdapat tiga jenis migran antar propinsi, yaitu :
1.Migran semasa hidup (life time migrant) adalah mereka yang pindah dari tempat lahir ke tempat tinggal sekarang, atau mereka yang tempat tinggalnya sekarang bukan di wilayah propinsi tempat kelahirannya.
2.Migran risen (recent migrant) adalah mereka yang pindah melewati batas Provinsi dalan kurun waktu lima tahun terakhir sebelum pencacahan.
3.Migran total adalah orang yang pernah bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal pada waktu pengumpulan data.
Gould dan Prothero (1975, 41) juga menekankan unsur perpindahan tempat tinggal. Namun menurut mereka berdua, walaupun seseorang telah secara resmi pindah tempat, tetapi bila ada niat sebelumnya untuk kembali ketempat semula, maka harus dianggap sebagai mobilitas sirkuler, bukan sebagai migrasi.
Hampir semua migrasi berkaitan dengan ruang dan waktu, mengenai keterkaitan antara ruang dan waktu ini, para ahli dihadapkan pada suatu kesulitan untuk menetapkannya. Berangkat dari masalah tersebut, beberapa penulis mengusulkan agar migrasi dianggap bagian dari suatu rangkaian kesatuan yang meliputi semua jenis perpindahan penduduk, yaitu mulai dari penglaju sampai pindah tempat untuk jangka panjang yang digambarkan sebagai mobilitas penduduk.
Mobilitas penduduk dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu mobilitas permanen atau migrasi dan migrasi non permanen atau mobilitas sirkuler. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah lain dengan maksud untuk menetap didaerah tujuan dan mobilitas non permanen ialah gerakan penduduk dari suatu tempat ke tampat yang lain dengan tidak ada niat untuk menetap didaerah tujuan.
Migrasi merupakan suatu proses yang sangat selektif mempengeruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan dan demografi tertentu, maka pengeruhnya terhadap faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi dari masing-masing individu juga bervariasi. Variasi tersebut tidak hanya terdapat pada arus migrasi antar wilayah pada negara yang sama, tetapi juga pada migrasi antara negara.
Beberapa faktor non ekonomis yang mempengaruhi keinginan seseorang melakukan migrasi adalah:
1. Faktor sosial, termasuk keinginan para migrasi untuk melepaskan dari kendala-kendala tradisional yang terkandung dalam organisasi-organisasi sosial yang sebelumnya mengekang mereka.
2. Faktor-faktor fisik, termasuk pengeruh iklim dan bencana meteorologis, seperti banjir dan kekeringan.
3. Faktor demogarfis, termasuk penurunan tingkat kematian yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk suatu tempat.
4. Faktor-faktor kultural, termasuk pembinaan kelestarian hubungan keluarga besar yang berada pada tempat tujuan migrasi
5. Faktor-faktor komunikasi, termasuk kualitas seluruh sarana transportasi, sistem pendidikan yang cenderung berorientasi pada kehidupan kota dan dampak-dampak modernisasi yang ditimbulkan oleh media massa atau media elektronik. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, faktor yang mempengaruhi semakin meningkatnya migrasi yang di lakukan oleh masyarakat tidak hanya didasari oleh faktor ekonomi saja tetapi faktor non ekonomi pengaruhnya juga sangat besar. Misalnya, migrasi untuk mencari penghidupan yang lebih baik di daerah lain Sehingga menimbulkan gelombang kenaikan penduduk di beberapa daerah besar dan menyebabkan daerah yang ditinggalkan menjadi semakin tertinggal karena penduduk yang semula menempatinya memilih hijrah kedaerah yang dianggap layak untuk di huni, namun beda halnya jika daerah yang didatangi merupakan daerah yang kurang penduduknya seperti provinsi Lampung dahulu yang penduduknya berjumlah terbatas tetapi sekarang akhirnya penduduk asli tergeser oleh para pendatang yang didominasi oleh penduduk dari daerah Jawa. Pergeseran ini yang menimbulkan kebudayaan asli semakin terkikis.
Menggambarkan perpindahan yang melibatkan perubahan yang komplit dan penyelarasan kembali afiliasi masyarakat dari individu-individunya. Ini artinya terdapat perubahan perilaku masyarakat karena penyesuaian- penyesuaian yang terjadi ditempat tujuan migrasi berada. Menyimpulkan secara umum bahwa migrasi merupakan suatu kejadian penting dalam budaya. Proses perubahan yang terjadi tersebut dalam ilmu sosiologi disebut sebagai asimilasi kebudayaan. Perpindahan penduduk dalam bentuk merantau ada hubungannya dengan siklus kehidupan, dan setiap perpindahan tidak berarti merupakan komitmen untuk berdiam seterusnya didaerah rantau tertentu.
Kato menamakan perpindahan jenis ini sebagai “perpindahan beredar” (circulatory migration).
a. Urbanisasi (urbanization)
Definisi urbanisasi berbeda beda antara suatu negara dengan negara lainnya tetapi biasanya pengertianya berhubungan dengan kota atau daerah pemukiman lain yang padat.
b. Transmigrasi ( Transmigration )
Adalah salah satu bagian dari migrasi. Transmigrasi adalah pemindahan dan kepindahan penduduk dari suatu tempat untuk menetap di tempat lain yang tetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan negara atau karena alasan alasan yang di pandang berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang Undang No. 3 Tahun 1972.
b. Konsep Merantau
Menurut Tambo Minangkabau Pusako, asal usul keturunan etnis Minangkabau adalah perantau, dari Iskandar Zulkarnain yang memerintahkan ketiga putranya pergi untuk merantau dengan tujuan menambah ilmu dan pengalaman. Ketiga putranya tersebut yaitu Sutan Maharajo Alif, Sutan Maharajo Depang, dan Sutan Maharajo Dirajo. Mereka mengarungi lautan luas dari tanah Arab, kemudian Sutan MaharajoAlif memerintah di Banuruhum, Sutan Maharajo Depang memerintah di negeri Cina, dan Sutan Maharajo Dirajo terus ke pulau Perca (Sumatra), memerintah disekitar Gunung Merapi, di negeri yang belum bernama Minangkabau.
            Beratus-ratus tahun kemudian, setelah Sri Maharajo Dirajo wafat, bertebaranlah anak cucunya ke mana-mana, dari tanah asalnya disekitar Gunung Merapi, merantau berombongan mencari tanah- tanah baru dibuka, untuk keberlangsungan hidup mereka (Sjarifudin, Amir. 2014).
Menurut istilah sendiri “merantau” berarti “migrasi”, tetapi Merantau adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang tidak mudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris atau bahasa barat manapun. “Merantau” adalah istilah Melayu, Indonesia, dan Minangkabau yang sama arti dan pemakaiannya denagn akar kata “ rantau”. “Rantau” menurut Winstedt, Iskandar, dan Purwadarminta, ialah kata benda yang berarti dataran rendah atau daerah aliran sungai, jadi biasanya terletak dekat ke- atau bagian daerah pesisir. “ Merantau” ialah kata kerja yang berawalan “me-“ yang berarti “pergi ke rantau”. Terkadang ada yang menyalah artikan merantau dengan migrasi. Merantau dianggap sama saja dengan migrasi. Secara pragmatis, merantau dan migrasi mamang hampir sama, namun sebenarnya terdapat perbedaan antara keduanya. Apakah perbadaan itu? Migrasi dari segi sosial ekonomi berarti perpindahan orang atau golongan bangsa secara besar- besaran menuju daerah-daerah baru. Penyebabnya bermacam-macam, yakni karena kepadatan penduduk, bencana alam dan perubahan ilmiah tekanan ekonomi, politik, atau keagamaan .
Menurut Mochtar Naim (1978) merantau merupakan perpindahan tradisional, institusional, dan normatif. Perpindahan ini memiliki hubungan dengan siklus kehidupan kerena setiap perpindahan tidak harus berkomitmen untuk terus berdiam diri di tempat rantauan.
Menurut Mochtar Naim (1978) Dipandang dari sudut sosiologi, istilahini mengandung enam unsur pokok yaitu:
1. Meninggalkan kampung halaman
2. Dengan kemaun sendiri
3. Untuk jangka waktu yang lama
4. Dengan tujuan mencaru penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman
5. Biasanya dengan maksud kembali pulang, dan
6. Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya
Rantau, secara bahasa berarti daerah pesisir. Kato mendefinisikan kata kerja ‘rantau’ yakni meninggalkan kampung halaman (Kato, 2005: 4). Maka Merantau berarti pergi ke daerah rantau atau daerah pesisir, meninggalkan kampung halaman. Dalam bukunya, Mochtar Naim (1979: 3) juga menjelaskan perubahan makna merantau. Ia menjelaskan:
“Di masa dahulu ketika tanah air orang Minangkabau masih terbatas kepada Luhak yang Tiga, pergi kepantai Timur atau pantai Barat sudah dipandang merantau [...] Tetapi dewasa ini, karena Sumatra Barat dari sudut pandang politik dan budaya telah menjadi suatu wilayah[...] mereka menjadi terbiasa mengunakan kata merantau hanya untuk bepergian keluar Sumatra Barat.”
Kriteria pertama (yakni “meninggalkan kampung halaman pergi merantau”) memberi rauang bergerak untuk menafsirkan pengertian “jarak” menurut perkembangan waktu, kendati pun konotasi pergi kerantu pabila tetap saja ada. Jadi, masyarakat minang menganggap dirinya merantau walaupun hanya pergi kedesa lain atau daerah lain atau daearah yang masih terjangkau dari daerahnya. Merantau memiliki dimensi kultural, terkait dengan kewajiban budaya, khususnya bagi laki-laki. Tradisi merantau merupakan perwujudan dari nilai budaya Minangkabau yang menganut falsafat alam terkembang jadi guru. Melalui Merantau, Masyarakat Minangkabau tidak hanya pergi keluar daerah akan tetapi juga menjalankan misi budaya. Merantau merupakan perpindahan tardisional, institusional, dan normative
Bisa dilihat pula pentingnya merantau pada masyarakat Minang dipengaruhisebuah pantun Minang yang berbunyi:
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau Bujang dahulu
Di rumah baguno balun
(Keratau madang di hulu
Berbuah berbunga belum
Merantau Bujang dahulu
Di rumah berguna belum)
            Pantun ini menyarankan pemuda-pemudi Minangkabau untuk merantau karena mereka dianggap belum bisa memberi manfaat besar di kampung halaman. Pengertian merantau di sini bukan mengusir warganya pergi dari tanah kelahiran, tetapi betujuan untuk memperluas wawasan seseorang dengan pergi ketempat yang berlainan. Pergi sementara ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman terhadap nilai dan adat Minangkabau denganperbandingan nilai yang berlaku diluar adatnya, sehingga penghargaan dan kecintaanya pada adat dan budaya sendiri semakin dalam dan berakar. Jika dikaitkan dengan konsep merantau Minangkabau yang menganjurkan perantau untuk sama-sama membangun nagari (Ranah Minang) setelah merantau, maka tujuan merantau yang terkait dengan berdagang atau pun bekerja memang cocok dilakukan. Karena merantau untuk berdagang atau pun bekerja memang memiliki harapan utama untuk perbaikan ekonomi. Dengan perbaikan ekonomi, seseorang dapat membangun nagari dengan materi yang mereka punya. Untuk itu, tujuan merantau yang terkait dengan berdagang ataupun bekerja memang cocok untuk dilakukan. bagaimana dengan tujuan merantau yang terkait dengan mencari ilmu (belajar)? Seperti apa mahasiswa perantau mengambil perannya sebagai perantau? Apa yang mereka pikirkan tentang budaya merantau? Merantau dengan tujuan mencari ilmu (belajar) memang banyak dilakoni oleh anak bujang dan anak gadih Minangkabau saat ini. Mereka memutuskan untuk menuntut ilmu di luardaerah asalnya
Adapun dapat dilihat merantau dari segi waktu, aktivitas Merantau dibagi
menjadi tiga macam (Kato, 2005; 13) yakni:
1. Merantau untuk pemekaran nagari (sejak masa legenda hingga awal abadke-19)
2. Merantau Keliling (sejak akhir abad ke-19 sampai 1930-an)
3. Merantau Cino (sejak 1950-an hingga sekarang)
Jadi apabila seseorang pergi keluar daerah budayanya dengan kemauan sendiri dapat dipandang sebagai perbuatan merantau tersebut bukan lagi berkomunikasi dan berinteraksi hanya dengan kaum kerabatnya atau anggota kelompok ekniknya, melainkan juga dengan orang yang latar belakang etnik dan kulturnya berbeda-beda.
C. Konsep Matrilinial
Konsep Matrilinial Masyarakat Indonesia telah diberikan pengetahuan mengenai sistem garis keturunan matrilineal dan patrilineal sejak duduk di Sekolah Dasar. Secara singkat, sistem matrilineal diartikan sebagai susunan kekerabatan garis keturunan ditentukan berdasarkan garis ibu.
Sistem matrilineal tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lainnya seperti Cina atau Jepang. Meski begitu, satu-satunya masyarakat yang menganut sistem ini di Indonesia adalah masyarakat Minangkabau. Diperkirakan sistem matrilineal di berbagai tempat memiliki ciri khasnya sendiri, tergantung kepada sejarahnya. Masyarakat Minangkabau sendiri terdiri dari berbagai suku yang berdomisili di daerah Sumatera Barat.
Bagaimanakah sistem matrilineal sendiri dalam adat Minangkabau? Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sistem matrilineal ini masih tidak diketahui secara pasti kapan mulai diterapkan di Sumatera Barat, namun pada saat masa pemerintahan Kerajaan Pagarruyung, sistem ini sudah lama diterapkan di dataran-dataran tinggi, daerah pedalaman di Sumatera Barat. Hal-hal yang termasuk dalam sistem matrilineal dalam adat Minangkabau adalah warisan harta pusaka dan marga atau suku yang dianut sang anak. Harta pusaka yang dimaksud yakni rumah –yang dikenal dengan sebutan Rumah Gadang –perhiasan, baju adat, dan sawah.

a. Matrilinial Dan Merantau : Sesuai Korelasi

            Salah satu adat yang berpangkal dari sistem matrilinial yakni Rumah Gadang hanya boleh dihuni oleh anak perempuan. Ketika menginjak usia dewasa, anak laki-laki tidak lagi tidur di Rumah Gadang melainkan di surau-surau. Apabila si anak lelaki sudah menikah, maka ia akan tinggal di rumah istrinya.
Anak laki-laki yang tertua (Mamak) memang memiliki kewajiban untuk menjaga harta pusaka, namun secara ekonomi, masyarakat Minangkabau tidak terlalu mengandalkan laki-laki sebagai tulang punggung. Artinya, laki- laki tidak memiliki peran yang terlalu penting dalam perekonomian keluarga. Seperti perkataan Kato, “selama tanah pusaka dapat diperluas sesuai dengan perkembangan anggota-anggota paruik, si suami tetap tidak penting bagi istri dan anak-anaknya, paling tidak dalam arti ekomonis.” (Kato, Tsuyoshi, 2005). Disinilah korelasi antara sistem matrilinial dan merantau terlibat. Lekkerkerker barpendapat bahwa “penyakit merantau” berhubungan erat dengan kedudukan laki-laki dalam masyarakat Minangkabau (Kato, Tsuyoshi, 2005:113).
Agar menjadi berguna, laki-laki diwajibkan untuk keluar agar bisa merubah penghidupan  keluarga. Hal ini dimulai sejak Perang Paderi dan agama islam masuk, dalam agama diwajibkan bahwa seorang laki-laki mencari nafkah dan bertanggung jawab penuh terhadap keluarga.

b. Adat Matrilinial Yang Agamis Islami

Sesuatu yang membuat adat dan budaya Minangkabau menjadi khas dan merupakan satu-satunya dijagad ini adalah kaitannya dengan landasan adat basandi syaraq, syaraq basandi kitabullah (adat yang bersendikan agama Islam) pada etnis Minangkabau dua unsur tersebut yakni, adat dan agama itu benar dipersatukan sehingga menyatu dalam tata kehidupan orang Minang. Karena kedua unsur tersebuat amat berbeda, yang sifatnya universal dan yang lain sangat spesifik sehingga mempunyai suatu konsekuensi yang luas. Dapat dilihat etnis lainnya seperti etnis Cina, Jepang dan di dalam negeri sendiri, etnis Jawa, Batak dan lainnya. Mereka bisa saja berbeda agama namun meraka tetap mengakui dan melestarikan diri adat dan budayanya. Mereka tidak pernah mempersalahkan dan tidak mengadakan penyatuan ini. Dalam mengutarakan latar belakang sejarah lahirnya kesepakatan Adat Basandi Syaraq, Syaraq Basandi Kitabullah pada suatu perbedaan hangat antara golongan adat dan golongan agama Islam di Zaman Parang Paderi, yang berlangsung di Bukit Marapalam. Sebagaimana yang juga kita temui dalam sejarah umat manusia dimana-mana di jagad ini, pertentangan yang timbul dengan datangnya agama baru pada suatu komunitas menimbulkan pertentangan yang hebat. Dalam mencari titik temu antara golongan adat dan golongan agama, orang Minang mencari pemecahan tidak dengan mengemukakan perbedaan, tetapi memulai dengan persamaan. Diutarakan bahwa landasan adat Minangkabau yang selama ini mendasarkan pada alur dan patut tidak bertentangan dengan agama Islam. Yang menarik untuk dicermati untuk genderasi muda kita sekarang yang makin kritis ini, terutama sekali dalam menghadapi arus gelombang perubahan tata-kehidupan modern orang Minang, adalah bagaimana caranya orang Minang dalam perkembangan sejarah telah mengadakan penyesuaian- penyesuaian dalam menghadapi perubahan-perubahan mendasar yang telah terjadi, bagaimana mencari suatu pemecahan atau solusi yang bijak dalam suatu situasi dan kondisi yang amat rumit.
Menurut penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, dengan masuknya agama Islam ke Ranah Minang, dan diterimanya agama Islam sebagai agama orang Minang, telah terjadi suatu penyesuaian yang mulus sampai sekarang ini. Kita tahu sebelumnya orang Minang juga memeluk agama Hindu, agama Animisme dan lain-lain. Agama bukanlah masalah sepele. Agama bisa menimbulkan saling bunuh, bahkan menimbulkan perang berkelanjutan. Ini terjadi sepanjang sejarah dimuka bumi ini. Hal yang perlu dipelajari dan cermati adalah bagaimana orang Minang danbagaimana nenek moyang mengadakan upaya-upaya jalan keluar disuatu permasalahan yang pelik, dengan cara merumuskan persamaan-persamaan antara beberapa prinsip yang ada dalam ajaran agama Islam dan adat Minangkabau, sehingga dapat diterima oleh anak keturunan orang Minang sampai sekarang.

D. Konsep Antropologi Hukum

Antropologi Hukum sebagai ilmu dipengaruhi oleh Antropologi dan Ilmu Hukum, sehingga sebagai “anak”, ia memiliki “bapak”Antropologi dan “ibu” Ilmu Hukum, maka memahami Antropologi dan Ilmu Hukum adalah prasayrat untuk dapat mengerti Antropologi Hukum. Antropologi Hukum sebagai Ilmu mempelajari perilaku manusia dengan segala aspeknya yang terkait dengan norma-norma hukum tertulis dan tidka tertulis secara empiris. Interaksi empirik dalam masyarakat itu tidak hanya menyangkut masyarakat yang budayanya masih sederhana (primitif), tetapi juga masyarakatyang budayanya modern. Dalam hal ini, budaya yang dimaksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum.
Antropologi hukum mempelajari hukum dari konteks kultur masyarakat tertentu, baik pada masyarakat modern, maupun masyarakat sederhana. Dengan kata lain, Antropologi Hukum adalah Antropologi yang mempelajari Hukum sebagai salah satu aspek dari kebudayaan Itulah sebabnya penelitian antropologis terhadap hukum sebagai salah satu aspek budaya dibedakan menjadi dua kelompok tujuan, yaitu: penelitian untuk kepentingan pengembangan Antropologi, dan penelitian untuk pengembangan Ilmu Hukum. Antropologi Hukum menekankan pada penelitian untuk pengembangan Ilmu.
 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bila perkembangan Antropologi Hukum di Indonesia berkorelasi positif dengan perkembangan Ilmu Hukum Adat, sehingga antara keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. oleh karena itulah, tulisan ini, penulis beri judul, "Budaya Merantau Bagi Orang Minangkabau" yang mana penulis mengaitkannya dengan kebiasaan orang Minangkabau yakni merantau serta Urbanisasi yang menjadi momok bagi perkotaan, sebagaimana kita tau saat ini pemerintah melakukan upaya-upaya untuk menekan angka urbanisasi dengan cara mengeluarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. UU Desa ini bertujuan supaya desa dapat berkembang dan maju, sehingga para pelaku urbanisasi yang mana notabene adalah anak muda dan usia produktif tidak lagi pergi ke kota untuk mencari pekerjaan guna mengubah nasib karena Dana Desa dapat digunakan untuk membuat seperti BUMDes dan pembangunan di desa guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian Apakah Undang- Undang ini efektif berlaku atau tidak di lingkungan masyarakat.
































BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1.  Metode Deskriptif
Penelitian yang bersifat deskriptif (melukiskan) merupakan studi perilaku yang menjauhi perumusan-perumusan aturan yang dikatakan eksplisit berlaku. Penelitian ini tidak mengutamakan perhatiannya pada apa yang tertulis sebagai norma hukum, atau yang dikatakan norma hukum oleh para pemuka masyarakat. Jadi yang menjadi masalah bukanlah mempelajari bagaimana kehidupan manusia itu tunduk pada aturan-aturan hukumnya bukanlah demikiam, tetapi masalahnya bagaimana dalam kenyataannya aturan-aturan hukum itu dapat diterima dalam masyarakat itu.
B. Fokus Penelitian
Tujuan penggunaan fokus penelitian yaitu untuk membatasi studi yang akan diteliti. Tanpa penggunaan fokus penelitian, maka nantinya penulis akan terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh pada saat dilapangan.
Untuk mengetahui bagaimana budaya merantau bagi masyarakat minangkabau, maka hal-hal yang menjadi fokus penulis antara lain:
a. Proses beradaptasi bagi para perantau di perantauan khususnya daerah ciputat
b. Cara mempertahankan nilai sosial dan budaya bagi perantau di tanah rantau
c. Korelasi tradisi merantau dengan urbanisasi yang menjadi momok perkotaan serta di terbitnkannya UU Desa dan menjadi malapetaka bagi kelangsungan daerah Sumbar
C. Penentuan Informan
Dalam penelitian ini informan atau orang yang telah memberikan informasi adalah seorang pedagang yang merupakan perantau dari Batusangkar dan kebetulan berasal dari daerah yang aa dengan penulis, dia memiliki toko kelontong di daerah pesanggrahan disamping kampus satu UIN JAKARTA.
D. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian berada di Provinsi Banten, Kota Tangerang Selatan, Kec. Ciputat Timur. Di pesanggrahan samping kampus satu UIN JAKARTA. Guna mendapat data penulis mewawanvarai seorang perantau  yang berprofesi sebagai pedagang kelontong.
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dan informasi pada penelitian ini menggunakan teknik, antara lain :
Wawancara mendalam atau metode interview adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Pada metode ini, peneliti mendapatkan informasi yang mendalam dari para informan mengenai proses orang Minang merantau maupun kehidupan mereka dirantau serta mengenai hubungan mereka dengan sesama orang padang di rantau serta kampung halaman. Peneliti melakaukan wawancara dengan informan pada hari rabu 30 Mei 2018. Dan penulis mendapatkan cukup banyak data dari wawancara tersebut.
F. Teknik Analisis Data
Terdapat tiga teknik analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Proses ini berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul.
  1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi data. Pada penelitian ini, peneliti melakukan pemilihan data yang diperoleh pada saat penelitian mengenai proses orang Minang melakukan tradisi merantau sampai hubungan mereka terhadap lingkungan ditempat mereka merantau, kemudian data tersebut diklasifikasikan dan dipilih secara sederhana.
2. Tahap penyajian data (Display)
Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan. Bentuk penyajian data kulitatif berupa teks naratif (berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan bagan. Adapun data yang akan disajikan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Proses beradaptasi bagi para perantau di perantauan khususnya daerah ciputat
b. Cara mempertahankan nilai sosial dan budaya bagi perantau di tanah rantau
c. Korelasi tradisi merantau dengan urbanisasi yang menjadi momok perkotaan serta di terbitnkannya UU Desa dan menjadi malapetaka bagi kelangsungan daerah Sumbar
3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan. Pada tahap ini, peneliti menarik kesimpulan dari data yang telah disimpulkan sebelumnya, kemudian mencocokan catatan dan pengematan yang dilakukan peneliti pada saat penelitian.







BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penyesuaian Diri Bagi Perantau Minangkabau di Perantauan Khususnya Daerah Ciputat
Sebagai pendatang, masyarakat Minangkabau cenderung mengikuti budaya yang dianut di daerah tempat  mereka merantau. Hal ini menjadi salah satu proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh masyarakat etnis Minangkabau di tanah rantau. Penyesuaian diri tersebut dipicu atas kesadaran dari masyarakat perantau Minangkabau bahwa mereka merupakan pendatang di negeri orang.
Budaya merantau sudah  sejak lama di praktekkan  oleh masyarakat  Minangkabau, khususnya perantau yang sekarang berdomisili di daerah Ciputat dan saat ini menjadi informan dalam penelitian yang tengah penulis garap.  Merantau adalah sebuah  tindakan yang dihasilkan atas dasar  sistem nilai sosial budaya masyarakat etnis Minangkabau. Menurut Idyusman, salah satu informan penelitian ini mengatakan bahwa, “Budaya merupakan sesuatu  ciri khas daerah yang selalu dipupuk  dan dilestarikan oleh masyarakatnya sendiri. Dalam adat budaya etnis  Minangkabau merantau merupakan suatu tradisi yang telah lama dilakukan oleh masyarakat Minangkabau.” (Hermansyah,  2011)
 Budaya  merantau bagi  informan sendiri,  selain untuk menjalankan tradisi leluhur,  pun juga sekaligus untuk  memperbaiki kondisi perekonomian keluarga  . Selain itu, dalam budaya merantau, ada istilah gengsi (prestise) yang timbul ketika salah satu sanak (anggota) keluarga mereka pergi merantau dan berhasil. Maka dari itu saudara serta kerabat lainnya merasa harus menguti jejak sanak saudara yang telah sukses dirantau tersebut.  Karena informan sendiri mengalami hal yang serupa, ketika kakak kandungnya menjadi dosen di IAIAN JAKARTA serta diselangi dengan aktivitas berdagang, pun kemudian hal itu memotivasi informan  untuk merantau dan membuka toko di daerah pesanggerahan dimana toko tersebut bukanlah punya beliau melainkan punya saudara perempuannya.
Budaya merantau dan  berdagang menjadi identitas bagi  masyarakat Minangkabau ketika anggotanya masuk ke lingkungan sosial yang komposisi masyarakatnya cenderung heterogen seperti contohnya di kota kota besar yang sekaligus menjadi tempat tujuan perantauan. Di daerah perantauan, masyarakat Minang cenderung terlebih dahulu mencari bos untuk menumpang hidup. Bos dijadikan sebagai tempat mereka bekerja ketika awal mereka datang ke tempat perantauan. Bos ini dalam istilah Minang disebut Induk Semang. Dalam budaya  Minangkabau "Kalau anak pai  marantau, induak cari, dunsanak cari, induak samang cari dahulu.” Ketika merantau, hendaklah mencari Induk Semang, dan saudara dari Minangkabau. Nilai-nilai sosial seperti ini yang menjadi bekal ketika para perantau merantau ke negeri orang.
Menurut Dayat, salah seorang perantau yang juga merupakan saudara sepupu penulis, mengatakan bahwasanya Induk Semang berperan sebagai pembimbing di tempat kerja sebagai awal di perantauan. Walaupun pada awalnya mendapat gaji yang terbilang kecil, Namun jika sudah cakap dalam berdagang maka Induk Semang akan mempercayai sebuah  toko untuk dijalankannya. Pun kebanyakan dari mereka pada akhirnya mengalami kesuksesan. Oleh karena itulah merantau menjadi magnet yang kuat bagi pengubah nasib, yang menurut peribahasa Minang yaitu "Mambangkik Batang Tarandam" yang berarti dapat mengubah nasib dari yang susah menjadi sukses.

B. Nilai Sosial Budaya Masyarakat Minangkabau yang Dipertahankan di Tanah Rantau

Nilai-nilai sosial budaya dibentuk dan dikaryakan oleh masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai sosial budaya yang dibentuk selanjutnya dilestarikan dan diyakini sebagai nilai leluhur yang sudah ada sejak lama dan dianggap sebagai warisan leluhur. Oleh karena itu, tidak bisa disanggah bahwa nilai-nilai sosial budaya menjadi sebuah alat penyatu, serta pemicu solidaritas antara anggota masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.
Lebih jauh lagi, fungsi yang dapat dihasilkan dari sistem sosial budaya seperti yang dikatakan bahwa “Sistem nilai tersebut tidak saja merupakan sumber yang menyebabkanintegrasi sosial, tetapi sekaligus juga merupakan unsur yang enstabilisasi sistem sosial budaya itu sendiri."  Hal tersebut dapat diupayakan dengan pelestarian yang dilakukan oleh setiap anggota dari suatu masyarakat yang meyakini sistem nilai sosial budaya tersebut. Salah satunya dengan mewariskan kembali nilai-nilai leluhur kepada generasi berikutnya.
Menurut informan bahwasanya cara mempertahankan nilai-nilai budaya dan tradisi etnis Minangkabau di Ciputat yaitu dengan ikut dalam perkumpulan masyarakat Minangkabau. Informan berasal dari daerah Balai Labuah, Kecamatan Lima Kaum, dan nama perkumpulannya adalah Perkumpulan Lima Kaum
. Mereka sering mengadakan acara di TMII atau di Puncak Bogor hingga ke Pantai Anyer untuk bersilaturahmi satu sama lain. Salah satu acara yang paling menarik adalah Permainan KIM. Permainan ini kurang lebih sama dengan Bingo dengan berbagai macam doorprize. Penyanyi akan menyanyikan lagu dan pantun Miang sambil membacakan angka-angka yang diambilnya kemudian dicocokkan dengan kertas KIM yang telah dibagikan. Permainan ini sangat terkenal di kalangan etnis Minangkabau pun penulis juga pernah memainkan permainan ini di acara resepsi pernikahan orang Minang. Jika angka-angka yang dibacakan cocok dengan kertas yang kita punya, maka kita mendapat hadiah. Informan juga menjelaskan bahwasanya ketika beliau merantau ke Jawa Tengah etnis Minangkabau di sana juga memiliki perkumpulan dan sering melakukan arisan. Dalam bahasa Minang arisan disebut ‘julo-julo’. Semua itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat Minangkabau di Tanah Rantau.

C. Korelasi Merantau Sebagai Tradisi Masyarakat Minangkabau dan Terbitnya UU Desa Dimana Diharapkan Mampu Menekan Angka Urbanisasi.

Masyarakat dalam penerapan budaya mengupayakan untuk mewarisi nilai-nilai adat-istiadat Minangkabau sebagai sebuah identitas bagi diri mereka sendiri di masyarakat luas. Menurut Sumaatmadja (2012, hlm. 47) “....kebudayaan itu sangat luas konotasinya. Maknanya tidak hanya terbatas pada unsur-unsur yang berkaitan dengan perilaku manusia dengan segala kebiasaa dan tradisinya, melainkan juga unsur material yang dihasilkan oleh pemikiran dan karya manusia...”. Budaya berarti akal, serta pikiran manusia untuk menciptakan sesuatu. Hasil penciptaan manusia tersebut tidak hanya sebatas gagasan. Namun juga bersifat material yang dimaknai oleh masyarakat sebagai penciptanya. Proses akal dan pikiran ini hanya dapat dilakukan oleh manusia, karena makhluk hidup non-manusia tidak dapat mengeksplorasi sesuatu menjadi sebuah karya yang baru.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumaatmadja (2012, hlm.47) bahwa “kebudayaan itu hak paten manusia dalam konteks masyarakat atau kelompok, yang tumbuh melalui proses belajar sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri”. Sebagai bagian dari anggota masyarakat Minangkabau, setiap diri orang Minang menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari satu kesatuan dari sebuah identitas budaya Minangkabau. Atas kesadaran diri tersebut, mereka tergerak untuk dapat menjaga identitas diri dalam konteks sosial demi sebuah eksistensi di masyarakat. Salah satu caranya yaitu menjaga dan melaksanaan secara kontinuitas adat istiadat serta nilai sosial budaya masyarakat etnis Minangkabau tersebut, diantaranya merantau ke daerah lain. Ketika penulis bertanya, kenapa merantau ? jawaban informan adalah karena orang Minang itu perantau dan merantau adalah budaya orang Minang.
Namun dengan adanya budaya merantau, terciptalah sebuah bentuk migrasi yakni urbanisasi yang berarti sebuah fenomena perpindahan penduduk dari desa ke kota. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Muchtar Naim, pada tahun 1961 terdapat 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatra Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44%. Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatra Barat berjumlah 3,7 juta jiwa, dengan 7 juta perkiraan orang Minang di seluruh dunia berarti lebih dari separuh orang Minang berada di perantauan.
Menurut data tersebut maka dapat dilihat saat ini orang Minanglah yang memiliki etos merantau yang cukup besar dari pada suku lain di Indonesia, sebab pada sensus tahun 1930 perantau Minangkabau hanya (10,5%) dibawah orang Bawean (35,9%) Batak (14,3%)dan Banjar (14,2%). Data sebelumnya menunjukkan bahwasanya separuh orang Minangkabau berada di perantauan yang mana Tanah Perantauan bagi orang Minangkabau tentunya adalah kota-kota besar salah satunya Jakarta. Kesenjangan pembangunan dan Tradisi yang dianut menyebabkan arus urbanisasi tak dapat di elakkan.
Untuk mengatasi urbanisasi maka pemerintah mengeluarkan UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Terdapat tujuan  adanya Pengaturan desa pada Pasal 4:
 h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Tujuan ini secara tidak langsung menjelaskan bahwasanya memajukan perekonomiam desa dapat mengatasi kesenjangan pembangunan nasional yang kemudian dapat menekan arus urbanisasi. Karena salah satu alasan terjadinya urbanisasi adalah adanya kesenjangan pembangunan yang tidak merata di Indonesia. Sehingga membuat kota menjadi sasaran empuk bagi perantau dalam rangka mengubah nasib dan mengangkat harkat martabat keluarga.
Pun menurut informan, memang benar bahwasanya budaya merantau menimbulkan arus urbanisasi yang tinggi setiap tahunnya. Kebanyakan perantau akan pulang ketika Hari Raya Idul Fitri yang kemudian akan mengajak keluarganya yang lain untuk juga ikut merantau ke kota. Dengan banyaknya usia produktif yang melakukan tradisi merantau pun berimbas buruk terhadap kampung halaman. Karena informan berasal dari Nagari Balai Labuah dimana disana mayoritas penduduk aslinya adalah perantau sehingga Nagari tersebut seperti tidak terurus karena para pemuda dan pemudinya telah berada di Tanah Rantau.
Maka dari itu pemerintah mengucurkan Dana Desa sebanyak 1,4 milyar pertahun dalam rangka membangun perekonomian, kelengkapan sarana dan prasarana desa, serta mendirikan BUMDes. Hal itu dilakukan semata-mata salah satunya untuk menekan arus urbanisasi. Namun keefektifan Dana Desa juga dipertanyakan, karena dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab seperti halnya Raskin yang anggarannya selalu menguap entah kemana.
Dalam masyarakat Minangkabau terdapat pepatah yang mengatakan bahwa ketika bujang dan sudah tamat atau berhenti sekolah kemudian bujang tersebut hanya diam dirumah, maka hal itu dinilai sebagai hal yang negatif, dengan kata lain hal tersebut disebut pamali. Bujang yang tidak melakukan apa-apa setelah selesai sekolah dianggap sebagai sebuah pemalasan yang tidak memiliki manfaat apapun. Oleh karena itu dalam budaya masyarakat Minangkabau bujang secara tidak langsung dipaksa untuk merantau walaupun tidak ada pemaksaan secara nyata.
Bagi orang Minang atau bagi masyarakat pada umumnya merantau dapat memberikan pelajaran kemandirian dan berfikir cepat sebab mereka dituntut untuk dapat menghidupkan diri kita sendiri di rantau orang.Nilai-nilai sosial budaya dibentuk dan dikaryakan oleh masyarakat itu sendiri, nilai-nilai sosial budaya yang dibentuk selanjutnya dilestarikan dan diyakini sebagai nilai leluhur yang sudah ada sejak lama dan dianggap sebagai warisan leluhurnya terdahulu. Maka, tidak bisa disanggah bahwa nilai-nilai sosial budaya menjadi sebuah alat penyatu, atau pemicu solidaritas antara anggota masyarakasatu dengan masyarakat lainnya.
Maka dari itu merantau bagi orang Minangkabau bukan hanya sekedar mencari penghidupan yang layak di kota-kota besar namun juga mempertahankan nilai-nilai sosial budaya yang diyakini sebagai warisan leluhur terdahulu.

























BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan

Merantau diartikan sebagai tradisi yang meninggalkan kampung halaman untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Menurut Mochtar Naim istilah merantau setidaknya mengandung enam pokok unsur yaitu: (1) Meninggalkan kampung halaman; (2) dengan kemauan sendiri; (3) untuk jangka waktu lama atau tidak; (4) dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman; (5) biasanya dengan maksud kembali pulang, dan; (6) merantau ialah lembaga sosial yang membudaya. Secara ringkas merantau diartikan sebagai suatu jenis migrasi yang dibatasi oleh keenam kriteria yang disebutkan diatas.
Merantau sendiri merupakan sebuah anjuran yang terdapat di pepatah-petitih orang Minang, dimana anak muda yang hanya berdiam di rumah merupakan hal yang dinilai negatif. Selain itu, keselarasan antara kehidupan sosial dengan kehidupan berbudaya masyarakat Minangkabau ditunjang oleh tingkat solidaritas yang tinggi diantara sesama masyarakat Minangkabau.
Maka dari itu merantau bagi orang Minangkabau bukan hanya sekedar mencari penghidupan yang layak di kota-kota besar namun juga mempertahankan nilai-nilai sosial budaya yang diyakini sebagai warisan leluhur terdahulu. 

B. Saran dan Rekomendasi
Saran dan rekomendasi dari penulis yaitu sebagai masyarakat etnis Minangkabau merantau adalah tradisi yang turun temurun dari leluhur yang sampai saat ini masih eksis dan terus bertahan. Salah satu tujuan merantau adalah  kembali ke kampung halaman dan membangunnya menjadi lebih baik. Namun para perantau saat ini sangatlah jarang pulang ke kampung halaman dan membangun kampung. Hal tersebut dikarenakan budaya individualisme yang semakin menggerogoti masyarakat Minangkabau. Maka dari itu para sumando-sumando dan orang yang di tuakan di perantauan haruslah membuat suatu program yang bertujuan secara konsisten untuk membangun kampung halaman yang menurut informan bahwa kampung halaman sudah tidak terurus lagi karena setengah populasi etnis Minangkabau berada di perantaun.

C. Dokumentasi
Ini adalah informan penulis, yang bernama bapak ityusman, berasal dari Balai Labuah, Kecamatan Lima Kaum, Kab. Tanah Data, Prov. Sumatra Barat. Beliau berprofesi sebagai pedagang di samping Univ. UIN JAKARTA.

























DAFTAR PUSTAKA
Naim, Mocthar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta : Gadjah Mada University University Press

Kato, Tsuyoshi. 2005. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif  Sejarah, Jakarta : Balai Pustaka

Nasroen, M. 1957. Dasar Falsafat Adat Minangkabau, Jakarta. Penerbit Pasaman

Sumaatmadja, Nursid. 2012. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya , dan Lingkungan Hidup, Bandung: Alfabeta

Hermansyah. 2011. Analisis Antropologi Terhadap Perdagangan Lintas Batas Di Kalimantan Barat (Upaya Model Pencarian Model Dan Pola Perlindungan Hukum). Jurnal Dinamika Hukum . Vol. 11 No.1 Januari 2011

.





Comments

Popular posts from this blog

Pengertian, Asas dan Sumber Hukum Peradilan Agama

Langkah-Langkah Analisis Hukum (Pemecahan Masalah Hukum)

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA PENGAJUAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN