TUGAS AKHIR ANTROPOLOGI HUKUM. BUDAYA MERANTAU BAGI MASYARAKAT MINANGKABAU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat
etnis Minangkabau dikenal sebagai salah satu masyarakat yang melakukan tradisi
merantau dan hal tersebut menjadikan sebuah ciri khas dari masyarakat
Minangkabau sendiri. Merantau diartikan sebagai tradisi yang meninggalkan
kampung halaman untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Menurut Mochtar Naim
istilah merantau setidaknya mengandung enam pokok unsur yaitu: (1) Meninggalkan
kampung halaman; (2) dengan kemauan sendiri; (3) untuk jangka waktu lama atau tidak;
(4) dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman;
(5) biasanya dengan maksud kembali pulang, dan; (6) merantau ialah lembaga
sosial yang membudaya. Secara ringkas merantau diartikan sebagai suatu jenis
migrasi yang dibatasi oleh keenam kriteria yang disebutkan diatas.
Merantau
juga menunjukan bahwa masyarakat Minang merupakan masyarakat mandiri dan mudah
menempatkan diri di dalam masyarakat hal ini ditunjukan dengan bagaimana mereka
hidup di masyarakat yang mereka datangi. Ini karena ajaran adat dan budayanya
yang mengatakan “dimano bumi dipijak disinan langit dijunjuang” (dimana bumi
dipijak disana langit dijunjung). Anggapan ini dibuktikan dengan kondisi para
perantau yang hidup dengan tidak berkelompok dan dapat berbaur dengan baik
dimana pun mereka berada, contohnya di Ciputat. Masyarakat Minangkabau dikota
ini cukup banyak, keberadaan mereka pun tersebar kesetiap penjuru kota ini.
Yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang.
Terdapat
kaitan yang erat antara merantau dengan Budaya Manggaleh atau yang dikenal
dengan Berdagang, walaupun banyak orang Minang memiliki profes diluar berdagang
tetapi orang Minang terlanjur menonjol sebagaipedagang yang dapat menyaingi
orang Cina. Dibekali kemampuan dagang yang baik sampai-sampai banyak orang
berseloroh, kalau ada migrasi kebulan pada saat itu juga rumah makan padang
akan berdiri disana. Ini menunjukan bahwa orang Minang dapat menjangkau
berbagai tempat. Namun didalam bukunya Mochtar Naim mengatakan bukanlah suatu
keharusan bahwa tujuan merantau adalah untuk pindah secara permanen atau
meninggalkan kampunga asal untuk selamanya. Mungkin sebaiknya, dengan
menggunakan kata-kata dari Mabogunje, maksud merantau ialah “membuat kampung
halaman yang semula, sebagai tempat yang baik untuk kembali" Mochtar Naim
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Proses Penyesuaian Diri Bagi Perantau Minangkabau Agar Dapat Bertahan di
Perantauan?
2.
Bagaimana Perantau Minangkabau Mempertahakan Tradisi Sosial Budaya di Tanah
Perantauan?
3. Bagaimana
Budaya Merantau Yang Merupakan Bentuk Urbanisasi yang Tidak Selaras Dengan
Keinginan Pemerintah Untuk Menekan Angka Urbanisasi?
4. Apa Solusi dan Rekomendasi Penulis Untuk Menyikapi
Masalah ini?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis adalah untuk mengetahui budaya merantau
masyarakat minangkabau secara lebih mendalam dan bagaimana aspek antropologi
hukum memandang akan tradisi merantau.
D. Manfaat
Penulis berharap makalah ini dapat memberi manfaat bagi
pembaca yang mencari referensi atau rujukan untuk mengetahui dan memahami
budaya merantau bagi masyrakat minangkabau
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sejarah Suku Minangkabau
Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu
Minang dan Kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat
yang mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti
kerbau. Jadi kata Minangkabau berarti “kerbau yang menang”. Menurut lagenda,
nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau
dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu,
untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan
pertandingan adu kerbau diantara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan
mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Rakyat setempat hanya
mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan diberikan pisau pada
tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja
menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena ingin mencari puting
susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang ganas itu mati, dan
rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut dengan cara yang
aman.
Masyarakat Minangkabau sendiri merupakan suatu kelompok
etnik atau suku yang mendiami wilayah Propinsi Sumatera Barat. Sebagaimana
halnya dengan masyarakat Indonesia lainnya di wilayah nusantara ini, masyarakat
Minangkabau memiliki sistem nilai budaya yang telah diwarisi secara turun -temurun
dari nenek moyang mereka. Masyarakat dan kebudayaan Minangkabau memiliki
filsafat dan pandangan hidup yang terekspresikan dalam pepatah petitih adat
yang menjadi acuan hidup mereka. Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa
nilai-nilai kehidupan yang mereka yakini itu adalah prinsip hidup yang abadi
dan langgeng, yang terkenal dengan ungkapan "tak lekang dek paneh dan tak
lapuak dek hujan". Melalui pepatah- petitih dan pantun-peribahasa itu,
akan ditemukan prinsip-prinsip dasar kehidupan yang dijadikan dasar dalam
kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.Minangkabau lebih dikenal sebagai bentuk
kebudayaan daripada bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah.
Prinsip-prinsip
Kebudayaan Minangkabau itu dapat ditemukan dalam“Tambo” yang secara
turun-temurun diwariskan melalui penuturan (lisan).Tambo adalah suatu karya
sastra sejarah, suatu karya sastra yang menceritakan sejarah (asal usul) suku
bangsa, asal usul negeri dan adat istiadatnya, yaitu Minangkabau. Karya sastra
sejarah ini dapat juga disebuthistoriografi tradisional, penulisan sejarah
suatu negeri berdasarkankepercayaan masyarakat turun temurun
Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di
Minangkabau yang diciptakan oleh leluhurnya, yaitu Datuak Perpatieh Nan
Sabatang dan Datuk Katumanggungan. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam
antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang
didasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia
dan dalam lingkungannya. Artinya adat itu mengatur tata kehidupan masyarakat, baik
secara perseorangan maupun secara bersama dalam setiap tingkah laku dan
perbuatan dalam pergaulan, yang berdasarkan budi pekerti yang baik dan mulia,
sehingga setiap pribadi mampu merasakan ke dalam dirinya apa yang dirasakan
oleh orang lain. (Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai kelompok masyarakat
yang mencontoh harmoni sistem hukum alam. Artinya, mereka dapat diibaratkan dengan
semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya. Unsur-unsur itu saling
berhubungan, tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan, tetapi tidak
saling melenyapkan, dan saling mengelompok tetapi, tidak saling meleburkan
(Navis, 1986:59).
Menambahkan bahwa manusia menurut pandangan pepatah adat Minangkabau
haruslah memiliki status dan kedudukan yang sama di depan sejarah, sekalipun
memiliki fungsi yang berbeda, seperti berbedanya fungsi matahari dan bumi, air,
dan udara. Manusia dalam pandangan filsafat alam Minangkabau memiliki fungsi
dan peran yang sesuai dengan kemampuan dan tugasnya masing-masing. Pepatah adat
Minangkabau mengukuhkan sikap hidup ini dengan ungkapan “Yang buta penghembus
lesung, yang pekak pelepas bedil, yang lumpuh penghuni rumah, yang kuat pemikul
beban, yang bodoh untuk disuruh-suruh, dan yangpintar lawan berunding”
Selain itu masyarakat Minangkabau dikenal juga sebagai
masyarakat yang sangat terbuka dalam menerima perubahan. Suku bangsa
Minangkabau terkenal kepeloporannya dalam menyeruak ke alam pemikiran modern
tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya yang telah berurat berakar dalamkebudayaan
mereka. Memahami kebudayaan harus dimulai dengan mendefinisikan ulang kebudayaan
itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan genetik (yang merupakan pedoman yang
diturunkan), tetapi sebagai kebudayaan diferensial (yang dinegosiasikan dalam
keseluruhan interaksi sosial). Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang secara
turun temurun dibagi bersama atau dipraktekkan secara kolektif, tetapi menjadi
kebudayaan yang lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada
karakter kekuasaan dan hubungan- hubungan yang berubah dari waktu ke waktu.
Salah satu bentuk perubahan yang esensial ialah perkenalan
yang lebih mendalam dengan agama Islam yang telah menimbulkan kesadaran pada orang
Minangkabau untuk lebih mementingkan keislamannya daripada keMinangkabauannya
dan menimbulkan kesadaran tentang keganjilan adat Minangkabau (Umar Yunus,
2007; 249).
Maksudnya disini adalah setelah masuknya agama islam di
Minangkabau mereka merasa agama islam sangat sesuai dengan kehidupan mereka dan
dapat dijadikan pedoman hidup yang baik sehingga mereka lebih mementingkan
keislamannya dibandingkan budaya ke Minangkabauanyang mereka anut sebelumnya
serta mereka baru memahami sebenarnya didalam Suatu kebudayaan itu sendiri
terdapat kekurangan dan keganjilan dalam ajarannya serta penerapannya.
B. Migrasi dan Merantau
a. Migrasi
Migrasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan
untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melalui batas politik/negara
ataupun batas administrasi/batas bagian dari suatu negara. Perserikatan
bangsa-bangsa merumuskan : migrasi penduduk sebagai suatu perpindahan tempat
tinggal dari suatu unit administrasi satu ke unit administrasi lain.
Secara sederhana migrasi didefinisikan sebagai aktivitas
perpindahan. Bila melampaui batas negara maka disebut dengan migrasi
internasional. Sedangkan migrasi dalam negeri merupakan perpindahan penduduk
yang terjadi dalam batas wilayah suatu negara, baik antar daerah ataupun antar propinsi.
Pindahnya penduduk ke suatu daerah tujuan disebut dengan migrasi masuk.
Sedangkan perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah disebut dengan migrasi
keluar.
Menurut BPS (terdapat tiga jenis migran antar propinsi,
yaitu :
1.Migran semasa hidup (life time migrant) adalah mereka yang
pindah dari tempat lahir ke tempat tinggal sekarang, atau mereka yang tempat
tinggalnya sekarang bukan di wilayah propinsi tempat kelahirannya.
2.Migran risen (recent migrant) adalah mereka yang pindah
melewati batas Provinsi dalan kurun waktu lima tahun terakhir sebelum
pencacahan.
3.Migran total adalah orang yang pernah bertempat tinggal di
tempat yang berbeda dengan tempat tinggal pada waktu pengumpulan data.
Gould dan Prothero (1975, 41) juga menekankan unsur
perpindahan tempat tinggal. Namun menurut mereka berdua, walaupun seseorang
telah secara resmi pindah tempat, tetapi bila ada niat sebelumnya untuk kembali
ketempat semula, maka harus dianggap sebagai mobilitas sirkuler, bukan sebagai migrasi.
Hampir semua migrasi berkaitan dengan ruang dan waktu,
mengenai keterkaitan antara ruang dan waktu ini, para ahli dihadapkan pada
suatu kesulitan untuk menetapkannya. Berangkat dari masalah tersebut, beberapa penulis
mengusulkan agar migrasi dianggap bagian dari suatu rangkaian kesatuan yang
meliputi semua jenis perpindahan penduduk, yaitu mulai dari penglaju sampai
pindah tempat untuk jangka panjang yang digambarkan sebagai mobilitas penduduk.
Mobilitas penduduk dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu
mobilitas permanen atau migrasi dan migrasi non permanen atau mobilitas
sirkuler. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah lain dengan
maksud untuk menetap didaerah tujuan dan mobilitas non permanen ialah gerakan
penduduk dari suatu tempat ke tampat yang lain dengan tidak ada niat untuk
menetap didaerah tujuan.
Migrasi merupakan suatu proses yang sangat selektif
mempengeruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan dan
demografi tertentu, maka pengeruhnya terhadap faktor-faktor ekonomi dan non
ekonomi dari masing-masing individu juga bervariasi. Variasi tersebut tidak
hanya terdapat pada arus migrasi antar wilayah pada negara yang sama, tetapi
juga pada migrasi antara negara.
Beberapa faktor non ekonomis yang mempengaruhi keinginan
seseorang melakukan migrasi adalah:
1. Faktor sosial, termasuk keinginan para migrasi untuk
melepaskan dari kendala-kendala tradisional yang terkandung dalam
organisasi-organisasi sosial yang sebelumnya mengekang mereka.
2. Faktor-faktor fisik, termasuk pengeruh iklim dan bencana
meteorologis, seperti banjir dan kekeringan.
3. Faktor demogarfis, termasuk penurunan tingkat kematian
yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk suatu tempat.
4. Faktor-faktor kultural, termasuk pembinaan kelestarian
hubungan keluarga besar yang berada pada tempat tujuan migrasi
5. Faktor-faktor komunikasi,
termasuk kualitas seluruh sarana transportasi, sistem pendidikan yang cenderung
berorientasi pada kehidupan kota dan dampak-dampak modernisasi yang ditimbulkan
oleh media massa atau media elektronik. Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa, faktor yang mempengaruhi semakin meningkatnya migrasi yang
di lakukan oleh masyarakat tidak hanya didasari oleh faktor ekonomi saja tetapi
faktor non ekonomi pengaruhnya juga sangat besar. Misalnya, migrasi untuk
mencari penghidupan yang lebih baik di daerah lain Sehingga menimbulkan
gelombang kenaikan penduduk di beberapa daerah besar dan menyebabkan daerah
yang ditinggalkan menjadi semakin tertinggal karena penduduk yang semula
menempatinya memilih hijrah kedaerah yang dianggap layak untuk di huni, namun
beda halnya jika daerah yang didatangi merupakan daerah yang kurang penduduknya
seperti provinsi Lampung dahulu yang penduduknya berjumlah terbatas tetapi sekarang
akhirnya penduduk asli tergeser oleh para pendatang yang didominasi oleh
penduduk dari daerah Jawa. Pergeseran ini yang menimbulkan kebudayaan asli
semakin terkikis.
Menggambarkan perpindahan yang melibatkan perubahan yang
komplit dan penyelarasan kembali afiliasi masyarakat dari individu-individunya.
Ini artinya terdapat perubahan perilaku masyarakat karena penyesuaian-
penyesuaian yang terjadi ditempat tujuan migrasi berada. Menyimpulkan secara
umum bahwa migrasi merupakan suatu kejadian penting dalam budaya. Proses
perubahan yang terjadi tersebut dalam ilmu sosiologi disebut sebagai asimilasi kebudayaan.
Perpindahan penduduk dalam bentuk merantau ada hubungannya dengan siklus
kehidupan, dan setiap perpindahan tidak berarti merupakan komitmen untuk
berdiam seterusnya didaerah rantau tertentu.
Kato menamakan perpindahan jenis ini sebagai “perpindahan
beredar” (circulatory migration).
a.
Urbanisasi (urbanization)
Definisi urbanisasi berbeda beda antara suatu negara dengan
negara lainnya tetapi biasanya pengertianya berhubungan dengan kota atau daerah
pemukiman lain yang padat.
b.
Transmigrasi ( Transmigration )
Adalah salah satu bagian dari migrasi. Transmigrasi adalah
pemindahan dan kepindahan penduduk dari suatu tempat untuk menetap di tempat
lain yang tetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan
negara atau karena alasan alasan yang di pandang berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam undang Undang No. 3 Tahun 1972.
b. Konsep
Merantau
Menurut Tambo Minangkabau Pusako, asal usul keturunan etnis Minangkabau
adalah perantau, dari Iskandar Zulkarnain yang memerintahkan ketiga putranya
pergi untuk merantau dengan tujuan menambah ilmu dan pengalaman. Ketiga putranya
tersebut yaitu Sutan Maharajo Alif, Sutan Maharajo Depang, dan Sutan Maharajo
Dirajo. Mereka mengarungi lautan luas dari tanah Arab, kemudian Sutan
MaharajoAlif memerintah di Banuruhum, Sutan Maharajo Depang memerintah di
negeri Cina, dan Sutan Maharajo Dirajo terus ke pulau Perca (Sumatra),
memerintah disekitar Gunung Merapi, di negeri yang belum bernama Minangkabau.
Beratus-ratus
tahun kemudian, setelah Sri Maharajo Dirajo wafat, bertebaranlah anak cucunya
ke mana-mana, dari tanah asalnya disekitar Gunung Merapi, merantau berombongan
mencari tanah- tanah baru dibuka, untuk keberlangsungan hidup mereka
(Sjarifudin, Amir. 2014).
Menurut istilah sendiri “merantau” berarti “migrasi”, tetapi
Merantau adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang
tidak mudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris atau bahasa barat manapun.
“Merantau” adalah istilah Melayu, Indonesia, dan Minangkabau yang sama arti dan
pemakaiannya denagn akar kata “ rantau”. “Rantau” menurut Winstedt, Iskandar,
dan Purwadarminta, ialah kata benda yang berarti dataran rendah atau daerah
aliran sungai, jadi biasanya terletak dekat ke- atau bagian daerah pesisir. “
Merantau” ialah kata kerja yang berawalan “me-“ yang berarti “pergi ke rantau”.
Terkadang ada yang menyalah artikan merantau dengan migrasi. Merantau dianggap
sama saja dengan migrasi. Secara pragmatis, merantau dan migrasi mamang hampir
sama, namun sebenarnya terdapat perbedaan antara keduanya. Apakah perbadaan
itu? Migrasi dari segi sosial ekonomi berarti perpindahan orang atau golongan
bangsa secara besar- besaran menuju daerah-daerah baru. Penyebabnya
bermacam-macam, yakni karena kepadatan penduduk, bencana alam dan perubahan
ilmiah tekanan ekonomi, politik, atau keagamaan .
Menurut Mochtar Naim (1978) merantau merupakan perpindahan
tradisional, institusional, dan normatif. Perpindahan ini memiliki hubungan
dengan siklus kehidupan kerena setiap perpindahan tidak harus berkomitmen untuk
terus berdiam diri di tempat rantauan.
Menurut Mochtar Naim (1978) Dipandang dari sudut sosiologi,
istilahini mengandung enam unsur pokok yaitu:
1. Meninggalkan kampung halaman
2. Dengan kemaun sendiri
3. Untuk jangka waktu yang lama
4. Dengan tujuan mencaru penghidupan, menuntut ilmu atau
mencari pengalaman
5. Biasanya dengan maksud kembali pulang, dan
6. Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya
Rantau, secara bahasa berarti daerah pesisir. Kato
mendefinisikan kata kerja ‘rantau’ yakni meninggalkan kampung halaman (Kato,
2005: 4). Maka Merantau berarti pergi ke daerah rantau atau daerah pesisir,
meninggalkan kampung halaman. Dalam bukunya, Mochtar Naim (1979: 3) juga menjelaskan
perubahan makna merantau. Ia menjelaskan:
“Di masa dahulu ketika tanah air orang Minangkabau masih terbatas
kepada Luhak yang Tiga, pergi kepantai Timur atau pantai Barat sudah dipandang
merantau [...] Tetapi dewasa ini, karena Sumatra Barat dari sudut pandang
politik dan budaya telah menjadi suatu wilayah[...] mereka menjadi terbiasa
mengunakan kata merantau hanya untuk bepergian keluar Sumatra Barat.”
Kriteria pertama (yakni “meninggalkan kampung halaman pergi
merantau”) memberi rauang bergerak untuk menafsirkan pengertian “jarak” menurut
perkembangan waktu, kendati pun konotasi pergi kerantu pabila tetap saja ada.
Jadi, masyarakat minang menganggap dirinya merantau walaupun hanya pergi kedesa
lain atau daerah lain atau daearah yang masih terjangkau dari daerahnya.
Merantau memiliki dimensi kultural, terkait dengan kewajiban budaya, khususnya
bagi laki-laki. Tradisi merantau merupakan perwujudan dari nilai budaya
Minangkabau yang menganut falsafat alam terkembang jadi guru. Melalui Merantau,
Masyarakat Minangkabau tidak hanya pergi keluar daerah akan tetapi juga
menjalankan misi budaya. Merantau merupakan perpindahan tardisional,
institusional, dan normative
Bisa dilihat pula pentingnya merantau pada masyarakat Minang
dipengaruhisebuah pantun Minang yang berbunyi:
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau Bujang dahulu
Di rumah baguno balun
(Keratau madang di hulu
Berbuah berbunga belum
Merantau Bujang dahulu
Di rumah berguna belum)
Pantun ini menyarankan pemuda-pemudi
Minangkabau untuk merantau karena mereka dianggap belum bisa memberi manfaat
besar di kampung halaman. Pengertian merantau di sini bukan mengusir warganya
pergi dari tanah kelahiran, tetapi betujuan untuk memperluas wawasan seseorang dengan
pergi ketempat yang berlainan. Pergi sementara ini diharapkan dapat memperkuat
pemahaman terhadap nilai dan adat Minangkabau denganperbandingan nilai yang
berlaku diluar adatnya, sehingga penghargaan dan kecintaanya pada adat dan
budaya sendiri semakin dalam dan berakar. Jika dikaitkan dengan konsep merantau
Minangkabau yang menganjurkan perantau untuk sama-sama membangun nagari (Ranah
Minang) setelah merantau, maka tujuan merantau yang terkait dengan berdagang
atau pun bekerja memang cocok dilakukan. Karena merantau untuk berdagang atau pun
bekerja memang memiliki harapan utama untuk perbaikan ekonomi. Dengan perbaikan
ekonomi, seseorang dapat membangun nagari dengan materi yang mereka punya.
Untuk itu, tujuan merantau yang terkait dengan berdagang ataupun bekerja memang
cocok untuk dilakukan. bagaimana dengan tujuan merantau yang terkait dengan
mencari ilmu (belajar)? Seperti apa mahasiswa perantau mengambil perannya
sebagai perantau? Apa yang mereka pikirkan tentang budaya merantau? Merantau
dengan tujuan mencari ilmu (belajar) memang banyak dilakoni oleh anak bujang
dan anak gadih Minangkabau saat ini. Mereka memutuskan untuk menuntut ilmu di luardaerah
asalnya
Adapun
dapat dilihat merantau dari segi waktu, aktivitas Merantau dibagi
menjadi
tiga macam (Kato, 2005; 13) yakni:
1.
Merantau untuk pemekaran nagari (sejak masa legenda hingga awal abadke-19)
2.
Merantau Keliling (sejak akhir abad ke-19 sampai 1930-an)
3.
Merantau Cino (sejak 1950-an hingga sekarang)
Jadi
apabila seseorang pergi keluar daerah budayanya dengan kemauan sendiri dapat
dipandang sebagai perbuatan merantau tersebut bukan lagi berkomunikasi dan
berinteraksi hanya dengan kaum kerabatnya atau anggota kelompok ekniknya,
melainkan juga dengan orang yang latar belakang etnik dan kulturnya
berbeda-beda.
C. Konsep Matrilinial
Konsep
Matrilinial Masyarakat Indonesia telah diberikan pengetahuan mengenai sistem
garis keturunan matrilineal dan patrilineal sejak duduk di Sekolah Dasar.
Secara singkat, sistem matrilineal diartikan sebagai susunan kekerabatan garis keturunan
ditentukan berdasarkan garis ibu.
Sistem
matrilineal tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara
lainnya seperti Cina atau Jepang. Meski begitu, satu-satunya masyarakat yang
menganut sistem ini di Indonesia adalah masyarakat Minangkabau. Diperkirakan
sistem matrilineal di berbagai tempat memiliki ciri khasnya sendiri, tergantung
kepada sejarahnya. Masyarakat Minangkabau sendiri terdiri dari berbagai suku
yang berdomisili di daerah Sumatera Barat.
Bagaimanakah
sistem matrilineal sendiri dalam adat Minangkabau? Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, sistem matrilineal ini masih tidak diketahui secara
pasti kapan mulai diterapkan di Sumatera Barat, namun pada saat masa
pemerintahan Kerajaan Pagarruyung, sistem ini sudah lama diterapkan di
dataran-dataran tinggi, daerah pedalaman di Sumatera Barat. Hal-hal yang
termasuk dalam sistem matrilineal dalam adat Minangkabau adalah warisan harta
pusaka dan marga atau suku yang dianut sang anak. Harta pusaka yang dimaksud
yakni rumah –yang dikenal dengan sebutan Rumah Gadang –perhiasan, baju adat,
dan sawah.
a. Matrilinial Dan Merantau : Sesuai
Korelasi
Salah satu adat yang berpangkal dari
sistem matrilinial yakni Rumah Gadang hanya boleh dihuni oleh anak perempuan.
Ketika menginjak usia dewasa, anak laki-laki tidak lagi tidur di Rumah Gadang
melainkan di surau-surau. Apabila si anak lelaki sudah menikah, maka ia akan
tinggal di rumah istrinya.
Anak
laki-laki yang tertua (Mamak) memang memiliki kewajiban untuk menjaga harta
pusaka, namun secara ekonomi, masyarakat Minangkabau tidak terlalu mengandalkan
laki-laki sebagai tulang punggung. Artinya, laki- laki tidak memiliki peran
yang terlalu penting dalam perekonomian keluarga. Seperti perkataan Kato,
“selama tanah pusaka dapat diperluas sesuai dengan perkembangan anggota-anggota
paruik, si suami tetap tidak penting bagi istri dan anak-anaknya, paling tidak
dalam arti ekomonis.” (Kato, Tsuyoshi, 2005). Disinilah korelasi antara sistem
matrilinial dan merantau terlibat. Lekkerkerker barpendapat bahwa “penyakit
merantau” berhubungan erat dengan kedudukan laki-laki dalam masyarakat
Minangkabau (Kato, Tsuyoshi, 2005:113).
Agar
menjadi berguna, laki-laki diwajibkan untuk keluar agar bisa merubah penghidupan
keluarga. Hal ini dimulai sejak Perang
Paderi dan agama islam masuk, dalam agama diwajibkan bahwa seorang laki-laki
mencari nafkah dan bertanggung jawab penuh terhadap keluarga.
b. Adat Matrilinial Yang Agamis
Islami
Sesuatu
yang membuat adat dan budaya Minangkabau menjadi khas dan merupakan
satu-satunya dijagad ini adalah kaitannya dengan landasan adat basandi syaraq,
syaraq basandi kitabullah (adat yang bersendikan agama Islam) pada etnis
Minangkabau dua unsur tersebut yakni, adat dan agama itu benar dipersatukan
sehingga menyatu dalam tata kehidupan orang Minang. Karena kedua unsur
tersebuat amat berbeda, yang sifatnya universal dan yang lain sangat spesifik
sehingga mempunyai suatu konsekuensi yang luas. Dapat dilihat etnis lainnya
seperti etnis Cina, Jepang dan di dalam negeri sendiri, etnis Jawa, Batak dan
lainnya. Mereka bisa saja berbeda agama namun meraka tetap mengakui dan
melestarikan diri adat dan budayanya. Mereka tidak pernah mempersalahkan dan tidak
mengadakan penyatuan ini. Dalam mengutarakan latar belakang sejarah lahirnya
kesepakatan Adat Basandi Syaraq, Syaraq Basandi Kitabullah pada suatu perbedaan
hangat antara golongan adat dan golongan agama Islam di Zaman Parang Paderi,
yang berlangsung di Bukit Marapalam. Sebagaimana yang juga kita temui dalam
sejarah umat manusia dimana-mana di jagad ini, pertentangan yang timbul dengan
datangnya agama baru pada suatu komunitas menimbulkan pertentangan yang hebat.
Dalam mencari titik temu antara golongan adat dan golongan agama, orang Minang
mencari pemecahan tidak dengan mengemukakan perbedaan, tetapi memulai dengan persamaan.
Diutarakan bahwa landasan adat Minangkabau yang selama ini mendasarkan pada
alur dan patut tidak bertentangan dengan agama Islam. Yang menarik untuk
dicermati untuk genderasi muda kita sekarang yang makin kritis ini, terutama
sekali dalam menghadapi arus gelombang perubahan tata-kehidupan modern orang
Minang, adalah bagaimana caranya orang Minang dalam perkembangan sejarah telah
mengadakan penyesuaian- penyesuaian dalam menghadapi perubahan-perubahan
mendasar yang telah terjadi, bagaimana mencari suatu pemecahan atau solusi yang
bijak dalam suatu situasi dan kondisi yang amat rumit.
Menurut
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, dengan masuknya agama Islam ke Ranah
Minang, dan diterimanya agama Islam sebagai agama orang Minang, telah terjadi
suatu penyesuaian yang mulus sampai sekarang ini. Kita tahu sebelumnya orang
Minang juga memeluk agama Hindu, agama Animisme dan lain-lain. Agama bukanlah
masalah sepele. Agama bisa menimbulkan saling bunuh, bahkan menimbulkan perang
berkelanjutan. Ini terjadi sepanjang sejarah dimuka bumi ini. Hal yang perlu
dipelajari dan cermati adalah bagaimana orang Minang danbagaimana nenek moyang mengadakan
upaya-upaya jalan keluar disuatu permasalahan yang pelik, dengan cara
merumuskan persamaan-persamaan antara beberapa prinsip yang ada dalam ajaran
agama Islam dan adat Minangkabau, sehingga dapat diterima oleh anak keturunan
orang Minang sampai sekarang.
D. Konsep Antropologi Hukum
Antropologi
Hukum sebagai ilmu dipengaruhi oleh Antropologi dan Ilmu Hukum, sehingga sebagai
“anak”, ia memiliki “bapak”Antropologi dan “ibu” Ilmu Hukum, maka memahami
Antropologi dan Ilmu Hukum adalah prasayrat untuk dapat mengerti Antropologi
Hukum. Antropologi Hukum sebagai Ilmu mempelajari perilaku manusia dengan
segala aspeknya yang terkait dengan norma-norma hukum tertulis dan tidka
tertulis secara empiris. Interaksi empirik dalam masyarakat itu tidak hanya
menyangkut masyarakat yang budayanya masih sederhana (primitif), tetapi juga
masyarakatyang budayanya modern. Dalam hal ini, budaya yang dimaksud adalah
budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang mempengaruhi
atau yang berkaitan dengan masalah hukum.
Antropologi
hukum mempelajari hukum dari konteks kultur masyarakat tertentu, baik pada
masyarakat modern, maupun masyarakat sederhana. Dengan kata lain, Antropologi
Hukum adalah Antropologi yang mempelajari Hukum sebagai salah satu aspek dari
kebudayaan Itulah sebabnya penelitian antropologis terhadap hukum sebagai salah
satu aspek budaya dibedakan menjadi dua kelompok tujuan, yaitu: penelitian
untuk kepentingan pengembangan Antropologi, dan penelitian untuk pengembangan Ilmu
Hukum. Antropologi Hukum menekankan pada penelitian untuk pengembangan Ilmu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami
bila perkembangan Antropologi Hukum di Indonesia berkorelasi positif dengan perkembangan
Ilmu Hukum Adat, sehingga antara keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
oleh karena itulah, tulisan ini, penulis beri judul, "Budaya Merantau Bagi
Orang Minangkabau" yang mana penulis mengaitkannya dengan kebiasaan orang Minangkabau
yakni merantau serta Urbanisasi yang menjadi momok bagi perkotaan, sebagaimana
kita tau saat ini pemerintah melakukan upaya-upaya untuk menekan angka
urbanisasi dengan cara mengeluarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. UU Desa
ini bertujuan supaya desa dapat berkembang dan maju, sehingga para pelaku
urbanisasi yang mana notabene adalah anak muda dan usia produktif tidak lagi
pergi ke kota untuk mencari pekerjaan guna mengubah nasib karena Dana Desa
dapat digunakan untuk membuat seperti BUMDes dan pembangunan di desa guna meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian Apakah
Undang- Undang ini efektif berlaku atau tidak di lingkungan masyarakat.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Metode Deskriptif
Penelitian yang bersifat deskriptif (melukiskan) merupakan
studi perilaku yang menjauhi perumusan-perumusan aturan yang dikatakan
eksplisit berlaku. Penelitian ini tidak mengutamakan perhatiannya pada apa yang
tertulis sebagai norma hukum, atau yang dikatakan norma hukum oleh para pemuka
masyarakat. Jadi yang menjadi masalah bukanlah mempelajari bagaimana kehidupan
manusia itu tunduk pada aturan-aturan hukumnya bukanlah demikiam, tetapi masalahnya
bagaimana dalam kenyataannya aturan-aturan hukum itu dapat diterima dalam
masyarakat itu.
B. Fokus
Penelitian
Tujuan penggunaan fokus penelitian yaitu untuk membatasi
studi yang akan diteliti. Tanpa penggunaan fokus penelitian, maka nantinya
penulis akan terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh pada saat
dilapangan.
Untuk mengetahui bagaimana budaya merantau bagi masyarakat minangkabau,
maka hal-hal yang menjadi fokus penulis antara lain:
a. Proses beradaptasi bagi para perantau di perantauan
khususnya daerah ciputat
b. Cara mempertahankan nilai sosial dan budaya bagi perantau
di tanah rantau
c. Korelasi tradisi merantau dengan urbanisasi yang menjadi
momok perkotaan serta di terbitnkannya UU Desa dan menjadi malapetaka bagi
kelangsungan daerah Sumbar
C.
Penentuan Informan
Dalam penelitian ini informan
atau orang yang telah memberikan informasi adalah seorang pedagang yang
merupakan perantau dari Batusangkar dan kebetulan berasal dari daerah yang aa
dengan penulis, dia memiliki toko kelontong di daerah pesanggrahan disamping
kampus satu UIN JAKARTA.
D. Lokasi
Penelitian
Lokasi Penelitian berada di Provinsi Banten, Kota Tangerang
Selatan, Kec. Ciputat Timur. Di pesanggrahan samping kampus satu UIN JAKARTA. Guna
mendapat data penulis mewawanvarai seorang perantau yang berprofesi sebagai pedagang kelontong.
E. Teknik
Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dan informasi pada penelitian ini
menggunakan teknik, antara lain :
Wawancara mendalam atau metode interview adalah proses tanya
jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih
bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan. Pada metode ini, peneliti mendapatkan informasi yang
mendalam dari para informan mengenai proses orang Minang merantau maupun
kehidupan mereka dirantau serta mengenai hubungan mereka dengan sesama orang padang
di rantau serta kampung halaman. Peneliti melakaukan wawancara dengan informan
pada hari rabu 30 Mei 2018. Dan penulis mendapatkan cukup banyak data dari
wawancara tersebut.
F. Teknik
Analisis Data
Terdapat tiga teknik analisis data kualitatif yaitu reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Proses ini berlangsung
terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar
terkumpul.
- Reduksi Data
Reduksi data merupakan salah satu dari teknik analisis data
kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data sedemikian rupa
sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai
kuantifikasi data. Pada penelitian ini, peneliti melakukan pemilihan data yang
diperoleh pada saat penelitian mengenai proses orang Minang melakukan tradisi
merantau sampai hubungan mereka terhadap lingkungan ditempat mereka merantau,
kemudian data tersebut diklasifikasikan dan dipilih secara sederhana.
2. Tahap
penyajian data (Display)
Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis
data kualitatif. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi
disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan. Bentuk
penyajian data kulitatif berupa teks naratif (berbentuk catatan lapangan),
matriks, grafik, jaringan dan bagan. Adapun data yang akan disajikan dalam
penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Proses beradaptasi bagi para perantau di perantauan khususnya
daerah ciputat
b. Cara mempertahankan nilai sosial dan budaya bagi perantau
di tanah rantau
c. Korelasi tradisi merantau dengan urbanisasi yang menjadi momok
perkotaan serta di terbitnkannya UU Desa dan menjadi malapetaka bagi kelangsungan
daerah Sumbar
3.
Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat
digunakan untuk mengambil tindakan. Pada tahap ini, peneliti menarik kesimpulan
dari data yang telah disimpulkan sebelumnya, kemudian mencocokan catatan dan pengematan
yang dilakukan peneliti pada saat penelitian.
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A. Proses Penyesuaian Diri Bagi
Perantau Minangkabau di Perantauan Khususnya Daerah Ciputat
Sebagai
pendatang, masyarakat Minangkabau cenderung mengikuti budaya yang dianut di
daerah tempat
mereka merantau. Hal ini menjadi salah satu
proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh masyarakat etnis Minangkabau di
tanah rantau. Penyesuaian diri tersebut dipicu atas kesadaran dari masyarakat
perantau Minangkabau bahwa mereka merupakan pendatang di negeri orang.
Budaya merantau sudah sejak lama di praktekkan oleh masyarakat Minangkabau, khususnya perantau yang sekarang berdomisili
di daerah Ciputat dan saat ini menjadi informan dalam
penelitian yang
tengah penulis garap. Merantau adalah sebuah tindakan yang dihasilkan atas dasar sistem nilai sosial budaya masyarakat etnis
Minangkabau. Menurut Idyusman, salah
satu informan penelitian ini mengatakan bahwa, “Budaya merupakan sesuatu ciri khas daerah yang selalu dipupuk dan dilestarikan oleh masyarakatnya sendiri.
Dalam adat budaya etnis Minangkabau
merantau merupakan suatu tradisi yang telah lama dilakukan oleh masyarakat
Minangkabau.” (Hermansyah,
2011)
Budaya
merantau bagi informan
sendiri, selain untuk menjalankan
tradisi leluhur, pun juga sekaligus
untuk memperbaiki kondisi perekonomian
keluarga . Selain itu, dalam budaya
merantau, ada istilah gengsi (prestise) yang timbul ketika salah satu sanak
(anggota) keluarga mereka pergi merantau dan berhasil. Maka dari itu saudara
serta kerabat lainnya merasa harus menguti jejak sanak saudara yang telah
sukses dirantau tersebut. Karena
informan sendiri mengalami hal yang serupa, ketika kakak kandungnya menjadi
dosen di IAIAN JAKARTA serta diselangi dengan aktivitas berdagang, pun kemudian
hal itu memotivasi informan untuk merantau
dan membuka toko di daerah pesanggerahan dimana toko tersebut bukanlah punya
beliau melainkan punya saudara perempuannya.
Budaya merantau dan berdagang menjadi identitas bagi masyarakat Minangkabau ketika anggotanya
masuk ke lingkungan sosial yang komposisi masyarakatnya cenderung heterogen
seperti contohnya di kota kota besar yang sekaligus menjadi tempat tujuan
perantauan. Di daerah perantauan, masyarakat Minang cenderung terlebih dahulu
mencari bos untuk menumpang hidup. Bos dijadikan sebagai tempat mereka
bekerja ketika awal mereka datang ke tempat perantauan. Bos ini dalam
istilah Minang disebut Induk Semang. Dalam budaya Minangkabau "Kalau anak pai marantau, induak cari, dunsanak cari, induak
samang cari dahulu.” Ketika merantau, hendaklah mencari Induk Semang, dan
saudara dari Minangkabau. Nilai-nilai sosial seperti ini yang menjadi bekal
ketika para perantau merantau ke negeri orang.
Menurut Dayat, salah seorang
perantau yang juga merupakan saudara sepupu penulis, mengatakan bahwasanya
Induk Semang berperan sebagai pembimbing di tempat kerja sebagai awal di
perantauan. Walaupun pada awalnya mendapat gaji yang terbilang kecil, Namun
jika sudah cakap dalam berdagang maka Induk Semang akan mempercayai sebuah toko untuk dijalankannya. Pun kebanyakan dari
mereka pada akhirnya mengalami kesuksesan. Oleh karena itulah merantau menjadi
magnet yang kuat bagi pengubah nasib, yang menurut peribahasa Minang yaitu
"Mambangkik Batang Tarandam" yang berarti dapat mengubah nasib
dari yang susah menjadi sukses.
B.
Nilai Sosial Budaya Masyarakat Minangkabau yang Dipertahankan di Tanah Rantau
Nilai-nilai sosial budaya dibentuk
dan dikaryakan oleh masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai sosial budaya yang
dibentuk selanjutnya dilestarikan dan diyakini sebagai nilai leluhur yang sudah
ada sejak lama dan dianggap sebagai warisan leluhur. Oleh karena itu, tidak
bisa disanggah bahwa nilai-nilai sosial budaya menjadi sebuah alat penyatu,
serta pemicu solidaritas antara anggota masyarakat yang satu dengan masyarakat
lainnya.
Lebih jauh lagi, fungsi yang dapat
dihasilkan dari sistem sosial budaya seperti yang dikatakan bahwa “Sistem nilai
tersebut tidak saja merupakan sumber yang menyebabkanintegrasi sosial, tetapi
sekaligus juga merupakan unsur yang enstabilisasi sistem sosial budaya itu
sendiri." Hal tersebut dapat
diupayakan dengan pelestarian yang dilakukan oleh setiap anggota dari suatu
masyarakat yang meyakini sistem nilai sosial budaya tersebut. Salah satunya dengan mewariskan kembali nilai-nilai
leluhur kepada generasi berikutnya.
Menurut
informan bahwasanya cara mempertahankan nilai-nilai budaya dan tradisi etnis
Minangkabau di Ciputat yaitu dengan ikut dalam perkumpulan masyarakat
Minangkabau. Informan berasal dari daerah Balai Labuah, Kecamatan Lima Kaum,
dan nama perkumpulannya adalah Perkumpulan Lima Kaum
. Mereka sering mengadakan
acara di TMII atau di Puncak Bogor hingga ke Pantai Anyer untuk bersilaturahmi
satu sama lain. Salah satu acara yang paling menarik adalah Permainan KIM.
Permainan ini kurang lebih sama dengan Bingo dengan berbagai macam doorprize.
Penyanyi akan menyanyikan lagu dan pantun Miang sambil membacakan angka-angka
yang diambilnya kemudian dicocokkan dengan kertas KIM yang telah dibagikan. Permainan
ini sangat terkenal di kalangan etnis Minangkabau pun penulis juga pernah
memainkan permainan ini di acara resepsi pernikahan orang Minang. Jika
angka-angka yang dibacakan cocok dengan kertas yang kita punya, maka kita
mendapat hadiah. Informan juga menjelaskan bahwasanya ketika beliau merantau ke
Jawa Tengah etnis Minangkabau di sana juga memiliki perkumpulan dan sering
melakukan arisan. Dalam bahasa Minang arisan disebut ‘julo-julo’. Semua
itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dan tradisi
masyarakat Minangkabau di Tanah Rantau.
C.
Korelasi Merantau Sebagai Tradisi Masyarakat Minangkabau dan Terbitnya UU Desa
Dimana Diharapkan Mampu Menekan Angka Urbanisasi.
Masyarakat dalam penerapan budaya
mengupayakan untuk mewarisi nilai-nilai adat-istiadat Minangkabau sebagai
sebuah identitas bagi diri mereka sendiri di masyarakat luas. Menurut
Sumaatmadja (2012, hlm. 47) “....kebudayaan itu sangat luas konotasinya.
Maknanya tidak hanya terbatas pada unsur-unsur yang berkaitan dengan perilaku
manusia dengan segala kebiasaa dan tradisinya, melainkan juga unsur material
yang dihasilkan oleh pemikiran dan karya manusia...”. Budaya berarti akal,
serta pikiran manusia untuk menciptakan sesuatu. Hasil penciptaan manusia
tersebut tidak hanya sebatas gagasan. Namun juga bersifat material yang dimaknai oleh masyarakat sebagai
penciptanya. Proses akal dan pikiran ini hanya dapat dilakukan oleh manusia,
karena makhluk hidup non-manusia tidak dapat mengeksplorasi sesuatu menjadi
sebuah karya yang baru.
Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sumaatmadja (2012, hlm.47) bahwa “kebudayaan itu hak paten manusia dalam
konteks masyarakat atau kelompok, yang tumbuh melalui proses belajar sesuai
dengan kemampuan manusia itu sendiri”. Sebagai bagian dari anggota masyarakat
Minangkabau, setiap diri orang Minang menyadari bahwa dirinya merupakan bagian
dari satu kesatuan dari sebuah identitas budaya Minangkabau. Atas kesadaran
diri tersebut, mereka tergerak untuk dapat menjaga identitas diri dalam konteks
sosial demi sebuah eksistensi di masyarakat. Salah satu caranya yaitu menjaga
dan melaksanaan secara kontinuitas adat istiadat serta nilai sosial budaya
masyarakat etnis Minangkabau tersebut, diantaranya merantau ke daerah lain.
Ketika penulis bertanya, kenapa merantau ? jawaban informan adalah karena orang
Minang itu perantau dan merantau adalah budaya orang Minang.
Namun dengan adanya budaya
merantau, terciptalah sebuah bentuk migrasi yakni urbanisasi yang berarti
sebuah fenomena perpindahan penduduk dari desa ke kota. Dari hasil studi yang
pernah dilakukan oleh Muchtar Naim, pada tahun 1961 terdapat 32% orang Minang
yang berdomisili di luar Sumatra Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu
meningkat menjadi 44%. Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di
Sumatra Barat berjumlah 3,7 juta jiwa, dengan 7 juta perkiraan orang Minang di
seluruh dunia berarti lebih dari separuh orang Minang berada di perantauan.
Menurut data tersebut maka dapat
dilihat saat ini orang Minanglah yang memiliki etos merantau yang cukup besar
dari pada suku lain di Indonesia, sebab pada sensus tahun 1930 perantau
Minangkabau hanya (10,5%) dibawah orang Bawean (35,9%) Batak (14,3%)dan Banjar
(14,2%). Data sebelumnya menunjukkan bahwasanya separuh orang Minangkabau
berada di perantauan yang mana Tanah Perantauan bagi orang Minangkabau tentunya
adalah kota-kota besar salah satunya Jakarta. Kesenjangan pembangunan dan
Tradisi yang dianut menyebabkan arus urbanisasi tak dapat di elakkan.
Untuk mengatasi urbanisasi maka pemerintah mengeluarkan
UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Terdapat tujuan adanya Pengaturan desa pada Pasal 4:
h. memajukan
perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional;
dan
i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek
pembangunan.
Tujuan ini secara tidak langsung
menjelaskan bahwasanya memajukan perekonomiam desa dapat mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional yang kemudian dapat menekan arus urbanisasi. Karena salah
satu alasan terjadinya urbanisasi adalah adanya kesenjangan pembangunan yang
tidak merata di Indonesia. Sehingga membuat kota menjadi sasaran empuk bagi
perantau dalam rangka mengubah nasib dan mengangkat harkat martabat keluarga.
Pun menurut informan, memang benar
bahwasanya budaya merantau menimbulkan arus urbanisasi yang tinggi setiap
tahunnya. Kebanyakan perantau akan pulang ketika Hari Raya Idul Fitri yang
kemudian akan mengajak keluarganya yang lain untuk juga ikut merantau ke kota.
Dengan banyaknya usia produktif yang melakukan tradisi merantau pun berimbas
buruk terhadap kampung halaman. Karena informan berasal dari Nagari Balai
Labuah dimana disana mayoritas penduduk aslinya adalah perantau sehingga Nagari
tersebut seperti tidak terurus karena para pemuda dan
pemudinya telah berada di Tanah Rantau.
Maka dari itu pemerintah
mengucurkan Dana Desa sebanyak 1,4 milyar pertahun dalam rangka membangun
perekonomian, kelengkapan sarana dan prasarana desa, serta mendirikan BUMDes.
Hal itu dilakukan semata-mata salah satunya untuk menekan arus urbanisasi.
Namun keefektifan Dana Desa juga dipertanyakan, karena dikhawatirkan akan
disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab seperti halnya Raskin
yang anggarannya selalu menguap entah kemana.
Dalam masyarakat Minangkabau
terdapat pepatah yang mengatakan bahwa ketika bujang dan sudah tamat atau
berhenti sekolah kemudian bujang tersebut hanya diam dirumah, maka hal itu
dinilai sebagai hal yang negatif, dengan kata lain hal tersebut disebut pamali.
Bujang yang tidak melakukan apa-apa setelah selesai sekolah dianggap sebagai sebuah
pemalasan yang tidak memiliki manfaat apapun. Oleh karena itu dalam budaya
masyarakat Minangkabau bujang secara tidak langsung dipaksa untuk merantau
walaupun tidak ada pemaksaan secara nyata.
Bagi orang Minang atau bagi
masyarakat pada umumnya merantau dapat memberikan pelajaran kemandirian dan
berfikir cepat sebab mereka dituntut untuk dapat menghidupkan diri kita sendiri
di rantau orang.Nilai-nilai sosial budaya dibentuk dan dikaryakan oleh
masyarakat itu sendiri, nilai-nilai sosial budaya yang dibentuk selanjutnya
dilestarikan dan diyakini sebagai nilai leluhur yang sudah ada sejak lama dan
dianggap sebagai warisan leluhurnya terdahulu. Maka, tidak bisa disanggah bahwa
nilai-nilai sosial budaya menjadi sebuah alat penyatu, atau pemicu solidaritas
antara anggota masyarakasatu dengan masyarakat lainnya.
Maka dari itu merantau bagi orang Minangkabau bukan
hanya sekedar mencari penghidupan yang layak di kota-kota besar namun juga
mempertahankan nilai-nilai sosial budaya yang diyakini sebagai warisan leluhur
terdahulu.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Merantau diartikan sebagai tradisi yang meninggalkan kampung
halaman untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Menurut Mochtar Naim istilah
merantau setidaknya mengandung enam pokok unsur yaitu: (1) Meninggalkan kampung
halaman; (2) dengan kemauan sendiri; (3) untuk jangka waktu lama atau tidak; (4)
dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman; (5) biasanya
dengan maksud kembali pulang, dan; (6) merantau ialah lembaga sosial yang membudaya.
Secara ringkas merantau diartikan sebagai suatu jenis migrasi yang dibatasi oleh
keenam kriteria yang disebutkan diatas.
Merantau sendiri merupakan sebuah anjuran yang terdapat di
pepatah-petitih orang Minang, dimana anak muda yang hanya berdiam di rumah merupakan
hal yang dinilai negatif. Selain itu, keselarasan antara kehidupan sosial
dengan kehidupan berbudaya masyarakat Minangkabau ditunjang oleh tingkat
solidaritas yang tinggi diantara sesama masyarakat Minangkabau.
Maka dari itu merantau bagi orang Minangkabau bukan hanya sekedar
mencari penghidupan yang layak di kota-kota besar namun juga mempertahankan nilai-nilai
sosial budaya yang diyakini sebagai warisan leluhur terdahulu.
B. Saran dan Rekomendasi
Saran dan rekomendasi dari penulis yaitu sebagai masyarakat
etnis Minangkabau merantau adalah tradisi yang turun temurun dari leluhur yang
sampai saat ini masih eksis dan terus bertahan. Salah satu tujuan merantau adalah
kembali ke kampung halaman dan
membangunnya menjadi lebih baik. Namun para perantau saat ini sangatlah jarang
pulang ke kampung halaman dan membangun kampung. Hal tersebut dikarenakan
budaya individualisme yang semakin menggerogoti masyarakat Minangkabau. Maka
dari itu para sumando-sumando dan orang yang di tuakan di perantauan haruslah
membuat suatu program yang bertujuan secara konsisten untuk membangun kampung
halaman yang menurut informan bahwa kampung halaman sudah tidak terurus lagi
karena setengah populasi etnis Minangkabau berada di perantaun.
C. Dokumentasi
Ini adalah informan penulis, yang bernama bapak ityusman, berasal
dari Balai Labuah, Kecamatan Lima Kaum, Kab. Tanah Data, Prov. Sumatra Barat.
Beliau berprofesi sebagai pedagang di samping Univ. UIN JAKARTA.
DAFTAR PUSTAKA
Naim, Mocthar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta : Gadjah Mada
University University Press
Kato,
Tsuyoshi. 2005. Adat Minangkabau dan
Merantau dalam Perspektif Sejarah,
Jakarta : Balai Pustaka
Nasroen,
M. 1957. Dasar Falsafat Adat Minangkabau,
Jakarta. Penerbit Pasaman
Sumaatmadja,
Nursid. 2012. Manusia dalam Konteks
Sosial, Budaya , dan Lingkungan
Hidup, Bandung: Alfabeta
Hermansyah. 2011.
Analisis Antropologi Terhadap Perdagangan Lintas Batas Di Kalimantan Barat
(Upaya Model Pencarian Model Dan Pola Perlindungan Hukum). Jurnal Dinamika
Hukum . Vol. 11 No.1 Januari 2011
.
Comments
Post a Comment