ASPEK POLITIK DAN KELEMBAGAAN DALAM ISLAM



BAB I 
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Politik bukanlah kata yang asing bagi kita, kata politik hampir selalu kita dengar dimana pun kita berada. Masyarakat tidak bisa lepas dari sistem politik karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan. Namun, apa itu masyarakat politik? Dan apa politik itu? Suatu masyarakat dikatakan sebagai masyarakat politik jika ia mempunyai lembaga kekuasaan yang khusus, yang dapat menetapkan hukum dan undang-undang, yang ia buat atau di adopsi untuk mengatur perilaku masyarakat.
Pada masa sekarang perkembangan ilmu politik sudah semakin maju, di tandai dengan banyaknya muncul partai politik yang dianggap sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Jika ilmu politik mengkaji realitas kekuasaan dan kedudukannya di tengah masyarakat, serta hubungan keorganisasian antar lembaga-lembaga negara, atau hubungan nonorganisatoris antara partai dan pemerintah serta lembaga-lembaga masyarakat maka kajian ini hanya memfokuskan diri sedapat mungkin untuk mengkaji pokok-pokok yang menghasilkan masalah-masalah ini.
Citra politik ditengah masyaraka Indonsiat saat ini dipenuhi dengan kekotoran dan kemunafikan, hal ini yang membuat masyarakat menganggap dunia perpolitikan yang dianggap dapat menodai kesucian agama (Islam). Pandangan masyarakat tersebut semakin mendarah daging dengan munculnya jargon Gusdur (alm), dengan lantangnya menyatakan bahwa “politik itu najis”, meski dia sendiri terjun kedunia politik.
Apakah benar Islam tidak mengenal politik? Kebanyakan umat islam sangat alergi apabila berhubungan dengan politik padahal al-Qaradawi menyatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara islam dengan politik sebagai suatu yang tidak dapat terpisahkan dari pada hakikat islam itu sendiri. Pemisahan politik dari pada islam, menurut beliau merupakan suatu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat islam.

Rumusan Masalah
Apa pengertian politik dan pemerintahan ?
Bagaimana awal mulanya terbentuk sistem politik dalam pemerintahan islam?
Apa saja macam-macam sistem politik islam?
Bagaimana tanggapan pakar-pakar Muslim menanggapi politik dan pemerintahanan dalam islam?

Tujuan Penulisan
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang nantinya dapat digunakan untuk mengambil keputusan.
Untuk menambah ilmu pengetahuan, pengalaman dan pemahaman tentang politik dan pemerintahan islam.  
Untuk menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh Dosen yang bersangkutan
Manfaat Penulisan
Dapat mengidentifikasi suatu masalah atau fakta secara sistematik.
Menambah keyakinan dalam pemecahan suatu masalah.
Menambah wawasan tentang politik dan pemerintahan islam.
Meningkatkan hubungan kerja sama team
Melatih dalam bertanggung jawab.


BAB II
 PEMBAHASAN

Pengertian Sistem Politik dan Pemerintahan Islam.

Kata politik pertama kali dikenal sebagai istilah, melalui buku Plato, yang berjudul Politeia yang dikenal dengan republik. Kemudian muncul karya Aristoteles yang berjudul sama, politeia kedua karya ini dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari karya tersebut, dapat diketahui bahwa”Politik”  merupakan istilah yang dipergunakan untuk konsep pengaturan masyarakat sebab yang dibahas dalam kedua kitab tersebut adalah soal soal yang berhubungan dengan masalah bagai mana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah masyarakat politik atau negara yang paling baik.Sistem politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara ; siapa pelaksanaan kekuasaan tersebut ; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu di berikan ; kepada siapa pelaksanaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawab nya.

Dalam bahasa Arab  diwakili oleh kata al-siyasab dan daulab. Kata siyasab di jumpai dalam kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah imamab, sehingga dalam fiqih di kenal adanya bahasa tentang fiqih siyasab, daulab pada mulanya dalam Alquran di gunakan untuk kasus penguasaan harta di kalangan orang orang kaya, yaitu  bahwa dengan zakat di harapkan  harta  tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan orang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus bergilir atau berputar dan tidak hanya di kuasai oleh orang-orang kaya , kata daulab tersebut di gunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari suatu tangan ketangan lainnya. Demikian juga keadilan banyak di gunakan dalam memutuskan perkara dalam kehidupan ; dan kata musyawarah pada mulanya di gunakan pada kasus  suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk di susui oleh perempuan lain yang dalam hal ini perlu di musyawarahkan
Namun dalam perkembangan selanjutnya, sejarah menggunakan kata siyasab dan kata-kata lai  n yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya yang terkait dengannya. Sejarah politik adalah jenis sejarah yang paling tua, karena itu Kartodirjo menyebutkan sejarah konvensional, karena sejarah ini paling dominan dalam historiografi sejak zaman Yunani hingga sekarang. Bahkan Azyumardi Azra menilai telah terjadi identifikasi sejarah dengan sejarah politik. Tegasnya, sejarah yang direkontruksi dan di sosialiasasikan pada masyarakat pada intinya adalah sejarah politik, bukan sejarah tentang aspek-aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat atau perjalanan sejarah.

Kata Al-khilafah secara etimologi ,sebagaimana yang dikemukakan Ibnu manzhur Al-Mishr adalah, “ Apabila seseorang mengatakan “Khalafahu , Yakhlufuhu “,maka artinya orang tersebut berada di belakangnya. Al-khalifah adalah orang yang di angkat oleh pendahulunya. Sedangkan, Al-khilafah mengandung pengertian Al-Imarah , yang berarti pemerintahan “
Akan tetapi Az-Zubaidi yang mengutip pendapat Ibnu Atsir mengatakan, “ Kata Al-Khalaf maupun Al-Khalf berarti semua orang yang datang setelah pendahulunya, hanya saja yang perlu di perhatikan adalah bahwasanya kata Al-Khalaf dimaksudkan dalam kebaikan, sedangkan Al-Khalf dalam kejahatan”
Al-Qur’an mempergunakan kata Al-Khalifah dalam bentuk jamak untuk menunjukkan beberapa kelompok, akan tetapi tidak mempunyai hubungan dengan lembaga-lembaga perpolitikan sama sekali.Al-Imarah atau pemerintahan merupakan jabatan politik yang lahir setelah pemerintahan Islam mengalami perluasan dan perkembangan pesat, dan memiliki banyak wilayah kekuasaan.

Pemerintahan umum juga terbagi dua sistem, yaitu :
Pertama: Al-Imarah Al-istikfa’ atau pelimpahan, yaitu apabila seorang pemimpin negara melimpahkan kekuasaan kepada seseorang untuk memimpin suatu wilayah atau daerah administratif dan dan mengangkat untuk mengurus wilayah tersebut dengan seluruh warganya dan berbagai kepentingannya.
Kedua: Al-Imarah Al-istila’ atau penguasaan, yaitu pemerintahan yang tidak terbentuk kecuali ketika seseorang merebut kekuasaan dan bersikap otoriter dalam pemerintahannya, sedangkan pemimpin negara khawatir akan terjadi tragedi yang lebih tragis apabila tidak mengabulkannya. 

Awal Mulanya Terbentuk Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam.
Persoalan yang pertama muncul dalam islam bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan politik. Asal mula islam sebagai gerakan politik telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad Pada 622M yang terkenal dengan Piagam Medinah. Pada saat Muhammad menyiarkan agama Islam di Mekkah, beliau dapat membentuk suatu kelompok masyarakat yang berdiri sendiri. Umat islam pada saat itu masih belum punya kekuatan yang kuat untuk melawan dominasi kaum Quraisy yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi Bersama sahabat memutuskan untuk meninggalkan Mekkah dan berhijrah ke Medinah, yatitu Kota Nabi.

Di kota Medinah keadaan Nabi dan umat islam berubah drastis karena mereka mempunyai kedudukan yang baik, kuat dan dapat berdiri sendiri. Kelompok yang dibentuk tersebaut lama kelamaan menjadi sebuah negara dan Muhammad sendiri dan Nabi bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah tapi juga mempunyai sifat sebagai kepala negara. Daerah kekuasaanya meliputi seluruh Semenanjung Arabia.

Sebelum wafat Nabi tidak pernah berwasiat siapa yang akan menggantikannya sebagai kepala negara, tapi pemerintahan harus tetap berjalan dan sebagai di ketahui dalam sejarah pengganti pertama beliau adalah Abu Bakr. Abu Bakr menjadi kepala negara saat itu dengan memakai gelar khalifah, yang lafzinya adalah pengganti. Setelah beliau wafat kemudian digantikan oleh Umar Ibn Khattab menggantikan beliau menjadi khalifah kedua.Usman Ibn Affan selanjutnya menjadi khalifah yang ketiga. Selama kepemimpinannya timbulah persoalan-persoalan politik, Usman yang lemah dan tak kuat untuk menantang keluarganya yang kaya akhirnya mengangkat mereka menjadi gubernur. Gubernur yang diangkat oleh Umar, khalifah yang di kenal sebagai orang kuat yang tidak mementingkan kepentingan sendiri atau keluarganya, dijatuhkan oleh Usman. Politik Nepotisme ini membuat sahabat Nabi berpaling dan di daerah-daerah muncul perasaan tidak senang. Akhirnya Usman terbunuh oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir.

Setelah Usman wafat, Ali Ibn Abi Talib, sebagai calon terkuat menjadi khalifah yang keempat. Baru saja menjabat Ali sudah mendapat tantangan dari berbagai pihak. Salah satu tantangan dari Mu’awiah yang menuduh Ali turut ikut campur dala pembunuhan Usman karena salah satu pemberontaknya adalah anak angkat Ali yaitu Muhammad. Peristiwa ini berbuntu panjang hingga terjadi peperangan yang di menangkan oleh Ali tapi Amr dari pihak Mu’awiah memohon berdamai. Kelicikan Amr membuat Abu Musa dari perwakilan Ali bekerja sama dengan untuk menjatuhkan Ali. Pada akhirnya Ali pun jatuh karena tentara Ali terlalu lemah untuk meneruskan peperangan dengan Mu’awiah. Mu’awiah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah wafatnya Ali ia dengan mudah memperkuat kedudukannya sebgai khalifah pada tahun 661M.
Dari sejarah di atas dapat dilihat pada waktu itu timbul tiga golongan politik :
Golongan Ali yang kemudian dikenal dengan nama Syi’ah.
Golongan Khawarij adalah golongan yang keluar dari barisan Ali.
Golongan Mu’awiah yang kemudian membentuk Dinasti Bani Umayah dan membawa sistem kerajaan dalam Islam.
Politik Demokarasi sudah ada semenjak masa Nabi Muhammad yang pergantian kekuasaanya bukanlah berdasarkan garis keturunanan artinya keempat khalifah tidak memiliki hubungan darah sama sekali melainkan adalah hubungan persahabatan. Abu Bakar diangkat bukan karena permintaan Muhammad. Abu Bakar diangkat atas dasar permufakatan pemuka-pemuka Ansar dan Muhajirin dalam Rapat Saqifah di Medinah. Pengangkatan itu kemudian mendapatkan persetujuan pengakuan umat, yang dalam istulah Arabnya disebut bay’ah. Umar, Usman juga segera mendapat bay’ah dari umat, kecual Ali yang mendapat tantangan dari Mu’awiah di Damaskus, Talhah, Zubeir, dan Aisyah di Mekkah.
 Macam Sistem Politik Islam
Berkedaulatan Tuhan
Yaitu kekuasaan tertinggi dimiliki oleh Tuhan atau ada pada Tuhan. 
Berkedaulatan Raja. 
Yaitu kekuasaan tertinggi ada pada raja.



Kedaulatan Negara.
Kekuasaan tertinggi ada pada negara, negara dianggap sebagai kebutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum. Jadi adaynya hukum itu karena adanya negara dan tiada satupun hukum yang berlaku bila tidak dikehendaki negara.
Kedaulatan Hukum
Hukumlah yang menjadi kekuasaan tertinggi dalam negara. Hukum merupakan penjekmaan dari kemauan negara, akan tetapi dalam keanggotaannya negara sendiri tunduk pada hukum yang dibuatnya.
Kedaulatan Rakyat.
Negara memperoleh kekuasaan tertinggi dari rakyatnya dan bukan dari tuhan atau raja (Demokrasi).
Pakar Politik Islam

Pada Masa Klasik.
Al-Farabi 
  Abu Nashr ibn  Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Utrar (Farab) pada tahun 257 H/870 M dan meninggal dunia di Damaskus pada tahun 339 H/950M dalam usia 80 tahun. Al- Farabi filsuf Islam yang banyak membicarakan masalah kemasyarakatan, meskipun dia sebenarnya bukan orang yang berkecimpung langsung dalam urusan kemasyarakatan. Dari kecendrungan hidup bermasyarakat inilah lahirlah berbagai kelompok sosial sehingga muncul kota dan negara. Masalah masyarakatan banyak di bicarakan dalam karya-karyanya, antara lain : al-Siyasah al-Madaniah (Politik perkotaan, politik kenegaraan) dan Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhila (Pikiran-pikran penduduk kota).
Buku Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhila mirip dengan buku Republik karya Plato, dan banyak memuat pikiran-pikiran aliran Platonisme, disamping itu memuat aliran Neoplatonisme. Memang dalam soal kemasyarakatan, diantara filsuf-filsuf Yunani, hanya Platolah yang berpengaruh dalam Filsuf Islam. Dalam buku tersebut, beliau membagi negara dalam dua kelompok, yaitu, Negara Utama ( al-Madinah al-Fadhila) dan lawan negara utama (Mudaddah al-Madinah al-Fadhila)

 Al-Ghazali

Al-Ghazali berpendapat bahwa mendirikan imamah adalah wajib. Pemikiran Al-Ghazali tentang hall ini dapat dilihat dalam karyanya Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Sikap lurus dalam Iqtiqad. Al-Ghazali melukiskan antara agama dan kekuasaan politik dengan ungkapan :   “Sultan (disini berarti kekuasaan politik) adalah wajoib untuk ketertiban dunia, ketertiban dunia bagi kepentingan agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan diakhirat. Inilah tujuan sebenarnya para Rasul. Jadi, wajid adanya imam merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya.

Ibn Taimiyah
Ia berpendapat bahwa mengatur urusan umat memamng merupakan bagian dari kewajiban agama yang terpenting, tetaoi hal ini tidak berarti pula bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Karenanya, Ibn Taimiyah menolak Ijma’ sebagai landasan kewajiban tersebut. Menurutnya kesejahteraan manusia tidak dapat tercipta kecuali hanyab dalam satu tatanan sosial dimana setiap orang saling bergantung pada lainnya. Oleh karena itu, dibutuhkan seorang pemimpinyang akan mengatur kehidupan sosial tersebut.

Jadi bagi Ibn Taimiyah, penegakkan Imamah bukanlah merupakan salah satu asas atau dasar agama, melainkan hanaya kebutuhan praktis saja. Namun demikian Ibn  Taimiyah juga menekankan fungsi negara untuk membantu agama. Berdasarkan pandangannya, Ibn Taimiyah menolak kekuasaan Bani Umayyahdan Bani Abbas sebagai dasar Filsafat Politik Islam. Ia tidak membenarkan Khalifah-khalifah Bani Abbas yang dijadikan boneka oleh sekelompok elit.

Al-Marwardi
Ia berpendapat bahwa pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu ahl al-Ikhtiar atau orang yang berwenang untuk memilih kepala negara dan Ahl al-Imamah atau orang yang berhak menduduki jabatan kepala negara. Unsur pertama haruslah memenuhi klasifikasi adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara dan memiliki wawasan yang luas serta kebijakan sehingga dapat mempertimbangan hal-hal terbaik untuk negara. Kemudian calon kepala negara harus memenuhi 7 persyaratan, yaitu : adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berIjtihad, sehat panca inderanya punya kemampuan menjalankan pemerintahan demi kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah kekuasaan islam, berjihad untuk memerangi musuh, serta keturunan suku Quraisy.

Ibn Khaldun 
Ibn Khaldun merupakan salah satu tokoh yang paling banyak berkecimpung dalan dunia politik praktis. Erwin IJ Rosenthal, penulis Barat yang menerjemahkan bukunya Muqaddimah, menegaskan keseluruhan teori politik Ibn Khaldun berbasis pada perbedaan yang fundamental antara kehidupan badawa ( kehidupan nomaden) dan hadhara (kehidupan kota yang secara bertahap mengalami perkembangan menuju bentuk yang mapan dalam peradaban). Teorinya ini bersandar pada bacaannya tentang dinasti Murabithun dan Muwahiddun di Afrika Utara yang mengalami dari transisi pedesaan menjadi kehidupan perkotaanyang didirikan secara bertahap melalui pengembangan kekuasaan politik. 
Ibn Khaldun memberi kualifikasi orang yang akan menjabat sebagai Imam (Khalifah).
Memiliki pengetahuan. Bagi Ibn Khaldun, seorang khalifah harus memenuhi kualifikasi mujtahid.
Adil, seorang khalifah harus bersikap adil, karena ini merupakan tuntutan abadi dan semangat syariat.
Memiliki skill. Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan manajerial mengelola pemerintahan. Ilmu saja belum cukup tanpa dibarengi kemampuan mengelola pemerintahan.
Sehat pancaindra, berbeda dengan Al-Mawardi yang masih menoleransi cacat fisik selama tidak mengganggu tugas-tugas kenegaraan. Ibn khaldun menganggap bahwa cacat fisik yang dapat mengganggu pemandangan saja, seperti cacat kaki tidak dapat menjadi khalifah.

Pada Masa Modren
Sayyid Jamaluddin Al-Afghani.
Jamaluddin mulai mencurahkan perhatian dan pemikirannya pada pembebasan dunia Islam dari penjajahan Barat. Menurut Jamaluddin, dunia Islam mengahadapi menyakit kronis yang menggerogoti masyarakatnya. Penyakit itu adalah absolutisme dan depotisme penguasa muslim, sikap keras kepala dan keterbelakangan umat islam dalam sains dan peradaban, menyebarkan pemikiran-pemikiran yang korup dan merusak cara berpikir umat islam seperti :takhayull, bid’ah dan khufarat, serta kolonialisme dan imperalisme Barat.
Jamaluddin melihat penguasa Islam menjalakan pemerintahan sebagaimana di kehendakinya saja, tanpa terikat pada konstitusi. Mereka juga tidak mau membuka diri melakukan musyawarah dalam pemerintahan. Karena itu untuk membangun pemerintahan yang kuat jiwa masyarakatnya harus terlebih dahulu dibangun dan dibenahi, baru lah dibicarakan bagaimana bentuk dan sistem pemerintahan. Rakyat harus melakukan perubahan pemikiran dari keterpakuan serta sikap menerima saja terhadap pemerintahan yang ada menuju upaya perubahan terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai islam.




BAB III PENUTUP

Kesimpulan
 Semua orang mengakui bahwa semua tata aturan yang Rasulullah saw tegakkan bersama-sama di Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingan dengan ukuran-ukuran politik pada masa modren ini dapatlah kita katakan bahwa, tata aturan itu adalah tata aturan politik. Dalam pada itu tidak hubungan untuk kita menyatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan, yaitu apabila kita lihat kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknnya.
Kalau demikian, dapatlah kita mengatakan, bahwa tata aturan islam itu adalah tata aturan yang bersifat politikdan bersifat agama. Hal itu adalah karena hakikat islam meliputi segi-segi kebendaan (maddiyah) dan segi-segi kejiwaan (ruhiyah) dan ia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah. Sebenarnya filsafah Islam adalah falsafah yang mencapurkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat yang saling menjalin yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kedua segi itu menyusun satu kesatuan yang harmonis. Inilah hakikat tabiat Islam yang dikuatkan dengan bukti-bukti sejarah dan inilahyang menjadikan akidah bagi umat islam. 

Saran
Sebagai umat Islam yang baru belajar memahami politik Islam, penulis ingin memberikan sedikit saran untuk pembaca. Sebagaimana kita tahu bahwa politik tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia karena dimana ada kekuasaan dan pemerintahan disana pasti ada politik. Satu hal yang harus pembaca tau islam sama sekalin tidak melarang politik, jadi jangan pernah merasa alergi dengan namanya politik. Al-Qaradawi menyatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara islam dengan politik sebagai suatu yang tidak dapat terpisahkan dari pada hakikat islam itu sendiri. Pemisahan politik dari pada islam, menurut beliau merupakan suatu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat islam.





DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 2015. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-PRESS 
 Iqbal, Muhammad, dan Amin Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta : Kencana
Amaruddin, Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta: UII-PRESS
As-Sirjani, Raghib. 2011. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian, Asas dan Sumber Hukum Peradilan Agama

Langkah-Langkah Analisis Hukum (Pemecahan Masalah Hukum)

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA PENGAJUAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN