Doktin Modren Dalam Perseroan Terbatas
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perseroan Terbatas (PT) kalau dilihat dari segi jumlahnya merupakan pilihan bentuk usaha yang paling sering diminati oleh masyarakat, sehingga jumlah badan usaha dalam bentuk perseroan terbatas jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah bentuk usaha berbadan hukum lainnya. Selain pertimbangan sekala ekonomi. Pemilihan PT dilatar belakangi oleh beberapa hal, yaitu :
PT memiliki jangka waktu hidup yang tidak terbatas (eternal live).
PT dapat diapakai sebagai sarana untuk membagi resiko terhadap kemungkinan kegagalan usaha dengan menyebar kepemilikan sahamnya kepada beberapa PT.
PT memiliki sistem tanggung gugat terbatas, dimana batas pertanggungjawaban seorang pemegang saham pada dasarnya hanya dibatasi sampai dengan jumlah saham yang dimilikinya, kecuali, memang ada alasan untuk mengubahnya menjadi tanggungjawab pribadi berdasarkan doktrin Piercing the corporate veil.
PT memiliki pemusatan menejemen, yang memungkinkan segala urusan pengelolaan perusahaan diserahkan kepada sekelompok orang yang dinilai professional (direksi) dan pengawasannya juga diserahkan kepada sekelompok orang yang memiliki kompetensi (Dewan Komisaris).
Pemilik saham memiliki fleksibilitas yang tinggi untuk mempertahankan atau mengalihkan saham yang dimilikinya, tanpa mengakibatkan kinerja perusahaan mengalami perubahan yang berarti. Pada saat seorang pemegang saham telah bosan memegang saham, mereka dapat mengalihkan kepada orang lain. (Tri Budiyono, 2011:v).
Perseroan adalah kesatuan hukum (legal entity) yang berbeda dan terpisah dari pemegang saham perseroan terbatas itu. Sebagai suatu kesatuan hukum (legal entity) yang terpisah dari pemegang sahamnya, perseroan dalam melakukan fungsi hukumnya bukan bertindak sebagai kuasa dari para pemegang sahamnya, tetapi bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.
Menurut UUPT, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) bahwa dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab perseroan terbatas tersebut. Hal-hal tertentu dimaksud antara lain apabila terbukti bahwa terjadi pembauran antara kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan terbatas, sehingga perseroan terbatas didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya. Dengan dianutnya prinsip atau asas piercing the corporate veil (penyingkapan tirai perusahaan) dalam hukum perseroan, pertanggungjawaban hukum para pemegang saham yang semula terbatas dapat menjadi tidak terbatas dalam hal-hal tertentu.
Dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia, terdapat sejumlah kasus yang menyangkut doktrin piercing the corporate veil ini. Sejumlah kasus telah diajukan ke pengadilan dan pengadilan telah menyingkap tabir perseroan. Walaupun demikian, prinsip pertanggungjawaban terbatas para pemegang saham tetap kuat tidak tergoyahkan. “Pada umumnya gugatan ditujukan pada Direksi atau pemegang saham pengendali, dan pengadilan merobek cadar perseroan, atas dasar bahwa perseroan tersebut hanya digunakan sebagai topeng atau agen dari pemegang saham”
(Chatamarrasjid Ais, 2004: 1). Dalam menyingkap atau merobek cadar perseroan ini (
piercing the corporate veil) pengadilan memperhatikan substansi atau kenyataan praktis pada bentuk formal dari perseroan terbatas tersebut. Dalam banyak kasus, pengadilan menyingkap tabir perseroan bilamana pemegang saham dengan sengaja atau sebaliknya mempergunakan perseroan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan tertentu atau untuk menghindari kewajiban-kewajiban. Dalam hal terdapat kemungkinan penyalahgunaan bentuk perseroan, pengadilan dapat menganggap perseroan hanya atau semata-mata selubung (cloak) atau kepura-Puraan (sham) dan pengadilan akan menyingkap tabir perseroan (Chatamarrasjid Ais, 2004). maka dengan berdasarkan doktrin penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate veil), pertanggungjawaban terbatas (limited liability) dari suatu perseroan terbatas dapat dibebankan kepada para pengurusnya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :
Doktrin Piercing the Corporate Veil
Doktrin Ultra Vires
Doktrin Fiduciary Duty
BAB II
PEMBAHASAN
Doktrin Piercing the Corporate Veil
Direksi adalah organ kepercayaan perseroan dan wajib menjalankan tugas pengurusan tersebut dengan berpegang teguh pada kepercayaan yang diterimanya (fiduciary duty). Dengan konsep tersebut, maka direksi dalam tugas kepengurusan wajib senantiasa bertindak atas dasar itikad baik, bertindak dengan sungguh-sungguh sesuai keahliannya, mengutakamakan kepentingan perseroan, bukan kepentingan pemegang saham semata-mata dan menjaga diri agar terhindar dari tindakan yang dapat menyebabkan benturan kepentingan antara perseroan dengan direksi. Setiap pelanggaran atau penyimpangan atas tugas dan kewajiban direksi akan menimbulkan pertanggungjawaban direksi sampai kepada harta benda kekayaan pribadi atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan.
Penyingkapan tabir perusahaan atau dalam bahasa inggris disebut piercing the corporate veil. Merupakan suatu teori yang digunakan untuk menembus prinsip tanggung jawab terbatas yang ada pada perusahaan. Dengan berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995, teori tersebut secara sah diakui dalam ranah Hukum Indonesia yang diarahkan kepada pihak pemegang saham, direksi, bahkan dalam hal yang sangat khusus juga terhadap dewan komisaris dari suatu perseroan terbatas. Hanya saja, tentunya untuk bisa menerapkan teori piercing the corporate veil ini, perlu kearifan, kehati-hatian dan pemikiran dalam suatu cakrawala hukum dengan visi yang perspektif dan responsif pada keadilan.
Piercing the Corporate Veil
Sebelum abad XVII dikenal konsep pertanggungjawaban tidak terbatas (tanggung jawab pribadi) dalam perseroan terbatas. Artinya, penanam modal ikut bertanggungjawab sampai kepada harta pribadinya bila perseroan terbatas mengalami kerugian. Namun dengan seiring bertambah besarnya modal yang diperlukan untuk membiayai kegiatan usaha, kebutuhan untuk memperoleh dana dalam jumlah besar pun semakin dirasakan. Di lain pihak tampak para investor mulai enggan melakukan investasi dan peminjaman uang karena risiko terlalu besar, sebagai akibat dari prinsip tanggung jawab pribadi yang mengharuskan pemegang saham menjamin seluruh hutang perseroan terbatas. Beruntung kini para pemegang saham pada sebuah perseroan terbatas tidak lagi bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan terbatas dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan terbatas melebihi nilai saham yang dimilikinya.
Prinsip pertanggungjawaban terbatas ini juga berlaku kepada anggota direksi perseroan terbatas. Ia tidak bertanggungjawab atas perbuatannya, melainkan menjadi tanggung jawab yang diwakilinya, yaitu perseroan terbatas yang bersangkutan.
Namun dalam perkembangannya prinsip ini tidak berlaku mutlak, sejak dikenal doktrin Piercing The Corporate Veil, di mana dalam hal tertentu tertutup kemungkinan dihapusnya tanggung jawab terbatas direksi perseroan terbatas. Doktrin ini mulai berkembang di dalam setiap sistem hukum modern saat ini, sejalan dengan kebutuhan keadilan kepada pihak yang beritikad baik maupun pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dengan perseroan terbatas. Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengesampingkan status badan hukum dari perseroan terbatas tersebut dan membebankan tanggung jawab kepada organ perseroan terbatas tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas yang biasanya dinikmati oleh mereka. Kekebalan (immunity) yang biasa dimiliki oleh pemegang saham, direksi dan komisaris, yaitu tanggung jawabnya terbatas, dibuka dan diterobos menjadi tanggung jawab tidak terbatas hingga kekayaan pribadi apabila terjadi pelanggaran, penyimpangan atau kesalahan dalam melakukan pengurusan perseroan. Dalam melakukan hal tersebut, biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah mengoyak/menyingkap tirai/kerudung perseroan terbatas (to pierce the corporate veil). Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), pengecualian prinsip pertanggungjawaban terbatas dimuat dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 97 ayat (3).
Robert W. Hamilton mendefenisikan doktrin ini sebagai:
A metaphor to describe the cases in which a court refuses to recognize the separate existance of a corporate despite compliance with all formalities for the creation of a de jure corporation. (Sebuah metafora untuk menggambarkan kasus-kasus di mana sebuah pengadilan menolak untuk mengakui keberadaan yang terpisah dari sebuah perusahaan meskipun mematuhi semua formalitas untuk penciptaan sebuah perusahaan sesunghuhnya.)
Sementara itu, Black’s Law Dictionary mendefenisikan doktrin ini sebagai:
Judicial process whereby court disregard usual immunity of corporate officers or entities from liability for wrongful corporate activities; e.g. when incorporation exists for sole purpose or perpetrating fraud. The doctrine will holds that the corporate structure with its attendant limited liability of stockholders, officers and directors in the case of fraud or other wrongful acts done in the name of corporation. The court, however, may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the remedying injutice. (Proses peradilan di mana pengadilan mengabaikan imunitas umum pejabat perusahaan atau entitas dari tanggung jawab atas kegiatan perusahaan yang salah; misalnya ketika inkorporasi ada untuk tujuan tunggal atau melakukan penipuan. Doktrin ini akan menyatakan bahwa struktur perusahaan dengan tanggung jawab terbatasnya pemegang saham, pejabat dan direktur dalam kasus penipuan atau tindakan salah lainnya yang dilakukan atas nama korporasi. Pengadilan, bagaimanapun, mungkin melihat di luar perusahaan hanya karena kekalahan penipuan atau salah atau obat injektif)
Piercing the Corporate Veil Terhadap Direksi PT
Penerapan Teori Piercing The Corporate Veil secara universal dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Perseroan terbatas tidak mengikuti formalitas tertentu;
2. Penerapan PCV terhadap badan hukum yang hanya terpisah secara artifisial;
3. Penerapan PCV berdasarkan hubungan kontraktual; dan
4. Penerapan PCV karena perbuatan melawan hukum atau tindak pidana.
Penerapan Teori Piercing The Corporate Veil dalam UUPT dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Beban tangung jawab dipindahkan ke pihak pemegang saham.
Dalam hal ini, ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku secara mutlak, namun ada beberapa pengecualian yaitu:
1. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUPT, dan
2. Ketentuan Pasal 7 ayat (6) UUPT.
3. Beban tanggung jawab dipindahkan ke pihak direksi.
Direksi memang menikmati pertanggungjawaban terbatas, tetapi juga tidak berlaku mutlak. Jika direksi tidak menjalankan tugasnya mengurus perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab seperti yang dimuat dalam Pasal 97 ayat (2) jo (3) maka pertanggungjawaban bisa sampai ke harta pribadi.
Hal-hal yang bisa membuat direksi dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas kerugian perseroan terbatas antara lain:
1. Direksi tidak melaksanakan Fiduciary Duty kepada perseroan;
2. Laporan keuangan perseroan terbatas yang tidak benar dan/atau menyesatkan;
3. Perseroan terbatas pailit karena kesalahan atau kelalaian direksi;
4. Anggota direksi tidak melaporkan kepemilikan saham oleh anggota direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam perseroan terbatas, sehingga anggota direksi yang bersangkutan bertanggungjawab secara pribadi sesuai Pasal 101 ayat (1) dan (2) UUPT.
Setiap pelanggaran atau penyimpangan atas tugas dan kewajiban direksi, maka direksi harus bertanggung jawab hingga harta pribadinya atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran dan penyimpangan tersebut sebagai berikut:
1. Tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Bentuk-bentuk pelanggaran profesional tersebut, di antaranya:
1. Baik sengaja atau tidak, melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan (breach of duty);
2. Baik sengaja atau tidak, melalaikan tugas yang seharusnya dijalankan (omission of duty)
3. Baik sengaja atau tidak, memberikan pemyataan yang salah (misstatement);
4. Baik sengaja atau tidak, memberikan pernyataan yang menyesatkan (misleading statement)
5. Baik sengaja atau tidak, melakukan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan sebagai direksi;
6. Baik sengaja atau tidak, tidak memenuhi janji yang telah diberikan (breach of warranty or authorithy commitment).
7. Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik.
Kerugian perusahaan akan menjadi tangggung jawab direksi seandainya semua kesalahan atau kelalaian tersebut bisa dibuktikan.
B. Doktrin Ultra Vires
1.Pengertian Ultra Vires
Ultra vires berasal dari bahasa Latin yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “beyond the power” atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan melampaui kewenangan. Pemahaman secara akademis misalnya dituliskan oleh Timothy Endicott, “ultra vires means beyond (the agency) legal powers. Ultra vires, dalam kepustakaan hukum, seringkali disebut juga sebagai extra vires,karena extra vires juga memiliki makna yang sama dengan ultra vires yaitu beyond the power atau melampaui kewenangan.
Transaksi yang dilakukan perusahaan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar perusahaan. Dalam bahasa umumnya dikenal sebagai pelampauan kewenangan dari suatu perseroan terbatas. Terminologi ultra vires dipakai khususnya pada tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan anggaran dasarnya atau oleh peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut.
2. Seputar Doktrin Ultra Vires
Doktrin ultra vires diterapkan pada perusahaan-perusahaan serta organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial dan keagamaan berbadan hukum yang memiliki peranan yang sangat luas terhadap kehidupan masyarakat. Sebuah per-buatan yang dilakukan oleh organ perusahaan, pengurus organisasi sosial berbadan hukum, yang dilakukan melampaui kewenangan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan atau aturan perudangan-undangan terkait yang mengatur eksistensi ba-dan hukum tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan ultra vires atau perbuatan melampaui kewenangan.
Dampak pelanggaran terhadap doktrin ultra vires dapat berupa tuntutan perdata yang diaju-kan oleh pihak-pihak yang dirugikan, sertadapat dimintakan pertanggung jawaban pidana baik terhadap korporasi maupun terhadap organ yang melakukannya.
Sebagai contoh, perusahaan yang didirikan untuk berusaha dalam bidang pertambangan sesuai amanat yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar pendiriannya, ternyata pada saat yang sama berusaha juga dibidang asuransi yang tidak diatur dalam Anggaran Dasarnya, maka perusahaan tersebut telah melakukan perbuatan yang dimaksud dengan ultra vires tersebut. Jika perusahaan tersebut dalam menjalankan usaha asuransinya membuat kontrak dengan pihak lain yang berkaitan dengan bisnis asuransi yang tidak diatur dalam Anggaran Dasarnya, maka penanda tanganan kontrak itu adalah sebuah perbuatan melanggar hukum dengan konsekuensi kontrak itu dianggap tidak ada (void) atau dapat dibatalkan (voidable).
Dalam konstruksi civil law kontrak tersebut dapat berdimensi nietig atau vernietigbaar. Penentuan apakah suatu kontrak dianggap tidak ada (voidnietig) atau dapat dibatalkan (voidable–vernietigbaar), hal itu adalah merupakan kewenangan hakim untuk memutuskan, berdasarkan gugatan yang diajukan oleh salah satu pihak yang dirugikan.
Pembahasan doktrin ultra vires, tidak dapat dilepaskan dari doktrin intra vires, yang memiliki makna yang berlawanan dengan ultra vires. Definisi intra vires menurut Black’s Law Dictionary adalah “An act is said to be intra vi-res (within the power) of a person or corporation when it is within the scope of his or its powers of authority. It is the opposite of the ultra vires”. Berdasarkan hal tersebut, cakupan intra vires adalah semua yang diamanatkan dalam Anggaran Dasar yang memuat maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan serta hal-hal yang menjadi pegangan para direksi perseroan dalam menjalankan kegiatan perseroan.
3. UUPT dan Doktrin Ultra Vires
Pasal 1 ayat (1) ditegaskan “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Pasal 7 ayat (4) UU No. 40/2007 ditegaskan bahwa: “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”.
Diterapkannya doktrin ultra vires dalam Perseroan Terbatas dapat ditemukan dalam norma pengaturan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Misalnya dalam Pasal 2 ditegaskan sebagai berikut: “Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan”. Menurut Fred B.G. Tumbuan, pencantuman maksud dan tujuan Perseroan mempunyai dua segi, disatu pihak merupakan sumber kewenangan bertindak bagi perseroan, dan dilain pihak menjadi pembatasan dari ruang lingkup kewenangan bertindak Perseroan yang bersangkutan (de doelomschrijving van de rechtspersoon geltd als begrenzing van haar bevoegheid)
Norma pengaturan dalam Pasal 15 ayat 1(b) yang menegaskan bahwa Anggaran Dasar Perseroan harus mencantumkan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan, menunjukkan bahwa doktrin ultra vires diterapkan secara ketat dalam hukum positif nasional khususnya terhadap badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas (P.T.). Pengaturan secara ketat penerapan doktrin ultra vires lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 19 dan Pasal 21 UU No. 40 Tahun 2007 yang mengatur bahwa perubahan Anggaran Dasar harus ditetapkan oleh RUPS dan disetujui oleh Menteri dalam hal perubahan Anggaran Dasar antara lain menyangkut maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan.
Pengaturan selanjutnya dalam Pasal 155 menegaskan: “Ketentuan dan tanggung jawab direksi dan/dewan komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang-undang Hukum Pidana”.Dalam hubungan ini Erman Rajagukguk menegaskan bahwa tindakan-tindakan yang digolongkan sebagai ultra vires atau yang dianggap tidak berguna, tidak akan mendapat perlindungan hukum. Sedangkan Eddie Supriyadi menegaskan bahwa bila direksi melakukan tindakan-tindakan diluar tugas dan kewenangannya (ultra vires), maka tanggung jawab direksi adalah pribadi (penuh).
Pembahasan penerapan doktrin ultra vires secara ketat dalam hukum perseroan, menunjukan bahwa Indonesia mengambil sikap yang berbeda dalam pengaturan hukum perseroan, misalnya dibandingkan dengan Belanda, Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Hal ini dapat dipahami karena pertimbangan bahwa pembangunan perekonomian nasional harus memiliki landasan yang kokoh yang perlu didukung oleh suatu undang-undang yang meng-atur tentang perseroan terbatas guna menjamin terselenggaranya iklim usaha yang kondusif.
4. Ultra Vires Doktrin yang integral
Selain tugas-tugas atau kewajiban yang telah ditentukan oleh UU yang disebut statutory duties, paara anggota direksi juga harus melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban yang disebut dengan fiduciary duties, dimana salah satu dari fiduciary duties tersebut direksi tidak boleh melakukan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban yang berada diluar kewenangannya, yang demikian telah melanggar prinsip yang diatur dalam doktrin ultra vires.
Bussines jugment principle terbagi dua, pertama bussines jugment rule yakni direksi harus bertindak berdasarkan itikad baik dengan mengacu pada informasi yang cukup dan diolah secara cakap berdasarkan ilmu dan kemampuannya. Sedangkan bussines jugment doctrine yakni berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh direksi adalah sah dan mengikat perseroan selama hal itu memang merupakan kewajiban direksi ataupun tidak bersifat ultra vi8res, sehingga tidak bisa dihentikan atau ditolak balik oleh pemegang saham melalui RUPS maupun pihak-pihak lainnya.
Doktrin ultra vires juga ternyata diterapkan secara ketat dalam UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 4 ayat (3) undang-undang tersebut diatur sebagai berikut:
“Korporasi tidak dapat diminta per-tanggung jawaban pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”.
Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hanya perbuatan-perbuatan yang intra vires yang dilakukan oleh pengurus saja yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yang bersangkutan, selain kepada pengurus yang melakukan perbuatan itu. Perbuatan ultra viresmenjadi tanggung jawab pribadi pengurus dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Pengaturan yang ketat terhadap perbuatan ultra vires terhadap badan hukum perseroan, maka dapat dipastikan bahwa pengaruh penerapan aturan tersebut terhadap badan hukum selain perseroan akan sangat kuat, mengingat aturan-aturan yang baru tersebut dapat dijadikan dasar dalam penegakan hukum jika muncul masalah-masalah berkaitan dengan pelanggaran doktrin ultra vires yang dilakukan oleh direksi ataupun pengurus badan hukum yang bersangkutan.
5.Bentuk-Bentuk Umum Penyimpangan Doktrin Ultra Vires
Masyarakat Indonesia maupun kalangan bisnis internasional perlu kiranya untuk mengetahui bahwa sebagian besar perusahaan-perusahaan raksasa di Indonesia berdiri dalam bentuk perusahaan keluarga, dimana para pemegang saham memiliki hubungan keluarga dengan direksi dan/atau komisaris atau dengan orang-orang yang memegang posisi kunci dalam anak perusahaan dan/atau perusahaan terafiliasi. Tidak jarang dijumpai adanya pemilik suatu perusahaan yang tidak menghendaki status kepemilikannya atas suatu perusahaan diketahui oleh pemerintah atau umum. Oleh karenanya dikenal suatu sebutan special purpose vehicle (SPV) yang kadang dipergunakan oleh beberapa pengusaha, yaitu dengan mendirikan suatu perusahaan di negara yang dikenal sebagai tax haven countries, yang oleh karenanya pemerintah sekalipun tidak dapat melakukan infiltrasi terhadap kerahasiaan manajemen dalam perusahaan. Selanjutnya juga tidak jarang dijumpai adanya pemegang saham yang tidak terdaftar, yang terkadang bertindak sebagai bayangan dari eksekutif dalam menyokong setiap keputusan manajerial dari suatu perusahaan. Situasi semacam ini mengakibatkan pemerosotan moral dikalangan para pelaku bisnis, menambah resiko perusahaan dan menurunkan nilai perusahaan.
Jelas bahwa melalui latar belakang perseroan semacam yang telah diuraikan di atas telah terjadi bentuk-bentuk penyimpangan terhadap doktrin maupun prinsip hukum perusahaan. Bagi masyarakat Indonesia khususnya kondisi semacam ini merupakan suatu hal yang pelik, dimana sudah barang tentu bilamana direksi adalah merangkap sebagai pemegang saham, maka jelas dalam melaksanakannya terdapat suatu vested interest, yang tidak tertutup kemungkinan dikarenakan terjadi penghalalan cara dalam pencapaian maksud dan tujuan dari perseroan.
Bentuk pelanggaran lain adalah terkait dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak-anak perusahaan yang dilakukan demi kepentingan dari perusahaan induk, terkait dalam pencapaian maksud dan tujuan. Sementara itu dapat diperdebatkan tentang bank-bank yang telah menerima fasilitas bantuan likuiditas Bank Indonesia, dimana jelas bahwa pemberian dana bantuan tersebut adalah hanya dapat dipergunakan untuk mengatasi rush penarikan dana pihak ketiga dan sama sekali tidak diperkenankan untuk ekspansi kredit, kecuali KUK; tambahan kredit kepada group (yang sudah melanggar BMPK); peningkatan aktiva netto valas, kecuali kenaikan yang terjadi karena pengurangan atau pelunasan hutang luar negeri; pembangunan atau pembelian gedung baru; pembagian deviden.
Dengan kata lain meskipun diatur dalam maksud dan tujuan suatu perseroan tetapi dengan memperhatikan kondisi kesehatan keuangan bank, maka semestinya direksi lebih berhati-hati dalam memanfaatkan fasilitas BLBI dimaksud. Tetapi justru pada prakteknya yang terjadi adalah penyimpangan terhadap wewenang yang telah diamanatkan kepada perseroan. Terhadap kasus-kasus semacam ini kerap kali diajukan ke meja persidangan atas dasar telah terjadinya tindak pidana korupsi. Sementara itu prinsip-prinsip maupun doktrin-doktrin atau bahkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perusahaan tidak dijadikan sebagai dasar tuntutan atau pertimbangan, atau perkara diajukan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perseroan dimaksud, meskipun dalam pasal-pasalnya telah direservasi sanksi baik perdata maupun pidana.
Tinjauan Terhadap Ratifikasi dan Pemulihan
Konsep tradisional tentang ultra vires tersebut dalam perjalanan sejarah banyak mengalami modifikasi seirama dengan perkembangan dan kebutuhan keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat. Dalam hal mana beberapa bagian dari modifikasi tersebut justru memberikan kelonggaran terhadap terjadinya suatu tindakan yang ultra vires, guna kepentingan dan kelangsungan daripada transaksi.
Modifikasi tersebut dapat terlihat dalam contoh-contoh sebagai berikut:
Hak untuk meratifikasi, terdapatnya kasus yang memungkinkan diberikannya hak untuk meratifikasi oleh pemegang saham terhadap tindakan yang tergolong ultra vires tersebut. Meskipun secara tradisional, hak untuk meratifikasi tersebut tidak dibenarkan.
Transaksi yang telah dieksekusi, terhadap transaksi yang telah dieksekusi dengan sempurna oleh kedua belah pihak tidak dapat lagi dibatalkan dengan alasan ultra vires.
Transaksi yang baru dieksekusi sebagian, terhadap transaksi yang baru dieksekusi sebagian dapat diajukan keberatan berdasarkan alasan ultra vires, tetapi dibatasi oleh doktrin-doktrin yang lain, seperti doktrin estoppel, unjust enrichment, dan pure fairness, bagi negara-negara yang berlaku doktrin tersebut.
Peranan jaksa, di negara-negara tertentu jaksa dapat memerintahkan perseroan untuk menghentikan tindakan yang bersifat ultra vires atau bahkan meminta agar perusahaan dibubarkan.
Perbuatan melawan hukum perdata atau pidana, terhadap perbuatan melawan hukum perdata atau pidana, tidak dapat diajukan keberatan dengan dengan jalan ultra vires. Dalam hal ini yang berlaku adalah doktrin hukum tentang keagenan atau respondeat superior (tanggung jawab majikan).
Tanggung jawab pribadi, tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan tanggung jawab pribadi dari direksi atau petugas yang melakukan tindakan ultra vires tersebut. Memang umumnya tindaka ultra vires menyebabkan timbulnya tanggung jawab pribadi direksi atau petugas yang bertanggung jawab atas tindakan ultra vires tersebut, antara lain berdasarkan doktrin piercing the corporate veil.
Berikut adalah perbandingan dan menambah wawasan tentang lingkup ratifikasi yang dikenal oleh sistem hukum common law, yaitu:
If an act of a company’s agent is outside the agent’s actual authority then it is possiblefor the actto beratified bythe company : ratification supplies the lacking authority and adopts the act as an act of a company.
The general rule is that if the board of directors of a company have acted on behalf of the companyoutside their actual authority then the act may be ratified by the members in the general meeting by ordinary resolution.
If some person other than the board of directors has acted outside actual authority then the boards of directors may ratifiy the act if it is within the board’s actual authority. Similarly, the acts of an agent appointed, under delegated authotrity, by any person other than the board of directors may be ratified by that person if within that person’s actual authority.
The exception to the general rule is that if an unauthorised act of any agent of the company would have been beyond the company’s capacity, but under which a company’s capacity is not limited by its memorandum, then ratification must be by by a special resolution of the members. A special resolution ratifying an act which would have been beyond the company’s capacity, but for a company’s capacity is not limited by its memorandum it does not affect any liability incurred by the directors or any other person; relief from any such liability must be agreed to separately by aspecial resolution.
Upaya Penegakkan Hukum
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pada masa silam mengatur tentang perserotan terbatas, terdapat pasal 45 yang menyatakan:
Apabila pengurus melanggar sesuatu ketentuan dalam akta, atau tentang perubahan yang kemudian diadakannya mengenai syarat-syarat pendiriannya, maka atas kerugian yang karenanya telah diderita oleh pihak ketiga, mereka itupun masing-masing dengan sendirinya bertanggung jawab untuk seluruhnya.
Tanggung jawab para pengurus adalah tidaklah lebih daripada untuk menunaikan tugasnya secara patut merekapun karena perikatan dari perseroan dengan sendirinya tidak terikat pada pihak ketiga.
UUPT didalamnya mengatur secara tegas bagaimana jika ternyata pengurus melakukan tindakan yang melampaui dan atau bertentangan dengan anggaran dasar. Sekalipun tidak disebutkan secara eksplisit bahwa ketentuan tersebut menunjuk pada doktrin ultra vires. Walaupun demikian jika memang tidak diatur dalam undang-undang di negara kita sudahlah menjadi ajaran, manakala ternyata pengurus melakukan tindakan melampaui dan atau bertentangan dengan anggaran dasar, maka menjadilah perbuatan tersebut harus dipandang sebagai perbuatan pribadi dari pengurus, dan bukan perbuatan dari perseroan. Lebih lanjut, konsekuensinya semata-mata menjadi tanggung jawab pribadi seluruhnya dari pengurus. Dalam hubungan itulah merupakan kewajiban pihak ketiga yang berhubungan dengan perseroan terbatas untuk selalu waspada dan memperhatikan anggaran dasar suatu perseroan terbatas, jangan sampai pengurus terhadap siapa pihak ketiga mengadakan hubungan hukum melanggar anggaran dasar perseroan terbatas yang berakibat pihak ketiga tidak dapat menuntut perseroan terbatas melainkan sekedar pribadi pengurus Sejalan dengan pendapat di atas Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M., juga menegaskan pendapat yang sama, bahwa dahulu Undang-Undang No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas tidak menyebutkan dengan tegas apa akibat hukumnya jika anggaran dasar disimpangi, apakah perbuatan menyimpang tersebut akan batal demi hukum, apakan direktur bertanggung jawab secara renteng, dan apakah berlaku prinsip ratifikasi oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
Ditambahkan pula oleh Prof., Dr., Rudhy Prasetya, S.H., sebagai catatan terhadap Undang-Undang No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas, bahwa di negara Belanda telah terjadi perubahan pendirian (baca perseroan terbatas), sehubungan dengan pengesahan anggaran dasar oleh Menteri Kehakiman dan kemudian didaftarkan menurut ketentuan undang-undang wajib daftar perusahaan, dan selanjutnya diumumkan dalam Berita Negara. Menurut paham negara Belanda, masalah pelanggaran anggaran dasar oleh pengurus, semata-mata merupakan masalah intern perseroan. Menjadilah tanggung jawab perseroan melalui organ pengontrolnya untuk mengawasi pengurus agar tidak terjadi pelanggaran anggaran dasar oleh pengurus, oleh sebab itu jika terjadi pelanggaran maka akibatnya tidak boleh dibebankan kepada pihak ketiga, melainkan silakan perseroan sendiri memajukan tuntutan kepada pengurus. Menurut paham mereka, dalam perdagangan internasional antar negara yang modern, akan sulit bagi pihak ketiga yang berada di negara asing untuk disuruh selalu waspada dan memperhatikan anggaran dasar perseroan terhadap siapa ia melakukan relasi dagang.
Oleh karenanya terlepas dari berbagai macam peluang pemulihan terhadap tindakan ultra vires yang senyata-nyatanya dilakukan oleh direksi suatu perseroan terbatas, sudah semestinya apabila didapati dan terbukti telah melakukan pelampauan wewenang yang telah diamanatkan kepadanya, maka seketika dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara pribadi.
Adalah tergantung kepada hakim yang akan memberikan keputusan terhadap sengketa yang timbul berkaitan dengan rangkaian transaksi yang dilakukan oleh suatu perseroan terbatas dengan melanggar ketentuan pasal 2 UUPT, apakah hakim akan berpendirian bahwa transaksi tersebut batal demi hukum (tidak sah sejak semula) atau dibatalkan (menjadi tidak mengikat).
Oleh karenanya direksi harus memastikan bahwa baik dirinya dalam kapasitas yang diamanatkan oleh perusahaan bersama-sama dengan perusahaan telah sepenuhnya menjalankan seluruh ketentuan yang diatur dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Direksi bertanggung jawab terhadap pemegang saham sehubungan dengan adanya Rapat Umum Pemegang Saham. Penolakan terhadap laporan kegiatan usaha yang telah diajukannya dan kewajibannya akan menjadikan mereka bertanggungjawab secara individual. Selanjutnya direksi harus dan diwajibkan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Direksi juga harus dapat memastikan bahwa perusahaannya yang dipimpinnya telah melakukan fungsi sosial (antara lain dengan memberikan sumbangan/dana sosial untuk kepentingan publik) dan selalu memprioritaskan kepentingan para stakeholder. Dalam rangka melaksanakan hal-hal yang telah diuraikan tersebut direksi dilarang keras untuk melakukan transaksi yang mengandung adanya unsur benturan kepentingan atau mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi dengan menggunakan perusahaan sebagai kendaraannya di luar dari gaji dan fasilitas yang telah diberikan oleh perusahaan kepadanya.
C. Doktrin Fiduciary Duty
1. Pengertian
Berdasarkan arti dari kata “fiduciary” yang berarti kepercayaan dan penarikan benang merah dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut Fiduciary duty merupakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada dari direksi oleh perseroan dan dasar bertindak dari kegiatan direksi dalam mengambil keputusan berkenaan dengan tugasnya menjalankan kegiatan (bisnis) perseroan. maka direksi memegang kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh perusahaan. Dengan amanah fiduciary, direksi wajib dengan itikad baik menjalankan tugasnya dan fungsinya yaitu dalam fungsi manajemen dan fungsi representasi.
2. Jenis-jenis
a. Duty of Loyalty
Untuk memenuhi duty of loyalty seorang direktur harus bertindak dengan itikad baik untuk berada dalam kepentingan terbaik perusahaan dan para stakeholder. Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan.
b. Duty of Care
Seorang direktur harus melakukan tanggung jawabnya dengan bijaksana. Direktur harus jeli dan teliti dalam menilai informasi yang disajikan kepadanya. Kewajiban utama dari direktur adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok. Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya.
3. Tuntutan Terhadap Pelanggaran Fiduciary Duty
Pelanggaran terhadap Fiduciary Duty dapat menyebabkan direktur untuk dimintai pertanggung jawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya. baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.
Dalam konteks direktur, sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilakuuntuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.
Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau pengurus korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam menjalan korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty.
Kesalahan yang dilakukan oleh anggota direksi atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat dibebankan pada korporasi jika memenuhi syarat seperti berikut :
a. Tindakan yang dilakukan oleh mereka berada dalam batas tugas atau instruksi yang diberikan kepada mereka.
b. Bukan merupakan penipuan yang dilakukan untuk perusahaan
c. Dimaksudkan untuk menghasilkan atau mendatangkan keuntungan bagi korporasi
Dengan kata lain jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh korporasi, namun harus dipikul secara pribadi oleh organ korporasi yang melakukan tindakan tersebut.
Salah satu tolak ukut untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgement) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah :
a. Memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut itu benar.
b. Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik
c. Memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah terbaik bagi perusahaan
Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi pengurus (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyality.
Putusan Perkara Perdata Nomor 305/Pdt.G/1998/Pn.Jak Sel adalah sebagai contoh kasus, dimana seorang direksi bagian investasi melakukan Self Dealing Transaction secara langsung dengan merekayasa pembelian Promissory Note yang telah default atau gagal bayar yang dibuat dengan menerbitkan Promissory Note baru sehingga seolah-olah tidak ada kesalahan dalam transaksi itu. Dalam transaksi tersebut dengan jelas terlihat sebuah tindakan kecurangan (fraud) yang direksi lakukan serta tidak ada itikad baik karena mengorbankan PT Sigma Batara sebagai perusahaan yang dipimpinnya untuk membeli Promissory Note yang default milik PT.CBE dari tangan Indover Bank.Dengan tindakan self dealing tersebut mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban pribadi dikarenakan kegagalan melaksanakan duty of care dan dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty .Sejalan dengan hal itu PN.Jaksel memutuskan Direksi yang bersangkutan bersalah dan dibebankan pertanggungjawaban secara pribadi
4. Penerapan Doktrin Fiduciary Duty terhadap tanggung jawab direksi saat Perseroan mengalami Pailit:
Doktrin fiduciary duty berasal dari sistem hukum common Law yang berasal di Inggris dan hingga kini mempengaruhi sistem hukum negara-negara bekas jajahannya dan juga dianut di Amerika Serikat. Karena hubungan hukum antara perseroan dan direksi didasarkan pada doktrin fiduciary duty, maka berdasarkan doktrin ini maka dalam menjalankan kepengurusan mempunyai duty of care dan duty of loyality terhadap perseroan. Doktrin duty of care, mewajibkan direktur dan management untuk berperilaku hati-hati sebagaimana orang-orang berperilaku dalam situasi yang sama. Jika direktur melanggar duty of care dan mengakibatkan perusahaan menderita kerugian financial, maka pengadilan akan memutuskan bahwa direktur dan manajement bertanggung jawab secara pribadi untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan. Sebaliknya, jika direksi dan management menyetujui suatu transaksi dengan mengabaikanduty of care dan transaksi tersebut belum dilakukan maka pengadilan akan memberlakukan injuction untuk mencegah transaksi tersebut.
Kriteria atau standar kehati-hatian dapat dibagi dalam beberapa macam, yaitu :
1) Standar dasar, bahwa direksi harus bertindak seperti orang biasa yang berhati-hati dalam situasi yang sama :
a) Jika seseorang sudah duduk sebagai seorang direksi maka dia dikenai duty of care.
b) Tanggung jawab atas pelanggaran duty of care hanya diberlakukan jika direktur melakukan tindakan yang sangat ceroboh.
2) Standar objektif, artinya direksi yang mempunyai kemampuan dibawah rata-rata orang biasa dalam posisi direksi harus memenuhi standar rata-rata orang biasa. Sebaliknya, direksi yang mempunyai keahlian khusus, harus mempergunakan keahlian khusus tersebut.
3) Menguntungkan keputusan kepada nasihat ahli dan komite. Direksi berhak mengambil keputusan berdasarkan nasihat ahli dan komite, akan tetapi hal tersebut harus masuk akal dalam situasi tertentu.
4) Kelalaian yang pasif, direksi tidak bertanggung jawab atas kelalaiannya karena tidak mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh management dan pegawai. Akan tetapi jika dia mengetahui fakta yang mengarah kedugaan adanya perbuatan menyimpang, maka dia tidak dapat menutup mata atas fakta itu. Dalam suatu perusahaan besar, direksi yang tidak melakukan mekanisme untuk memonitor suatu perbuatan menyimpang, seperti internal accounting control atau komite audit, mungkin akan dianggap melanggar duty of care.
5) Sekalipun direksi melanggar duty of care, akan tetapi dia hanya bertanggung jawab atas kerugian jika perbuatanya merupakan proximate cause atau sebab terdekat dari timbulnya kerugian.
Dalam hukum perseroan, fiduciary duty mengandung arti dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mengurus perseroan, direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan wewenang yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip. Kedua prinsip itu adalah kepercayaan yang diberikan perseroan dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan dan kehati-hatian dari tindakan direksi.
Untuk dimengerti, dalam konsep fiduciary duty, seorang direksi bertanggung jawab terhadap perseroan, bukan organ perseroan lainnya, baik rapat umum pemegang saham ataupun dewan komisaris, apalagi pemegang saham. Hal ini diperkuat dengan bunyi Pasal 1 angka 5 UUPT yang berbunyi: direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan ketentuan anggaran dasar.
Prinsip utama doktrin fiduciary duty diberlakukan dalam UUPT No.40/2007 Pasal 97 ayat (2), yang berbunyi “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.”
Terkait dengan apa yang kami bahas mengenai aplikasi dari prinsip fiduciary duty pada direksi atas perseroan yang pailit, maka kami mengambil jawaban atas masalah ini dengan dasar hukum pertanggung jawaban direksi dari UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan. Berikut merupakan penjabaran serta penjelasan dari pasal-pasal terkait:
1. Pasal 97 ayat (3) merupakan petunjuk duty of loyalty, “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”
2. Pasal 97 ayat (4) merupakan petunjuk duty of care tanggungjawab menjadi tanggung renteng, “Dalarn hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi .”
3. Pasal 99 ayat (1) butir a dan b yang berbunyi, “ Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:
a. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan
b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Teori badan hukum yang menitikberatkan pada kehendak untuk mempersonifikasikan suatu badan hukum seolah-olah sepertimanusia,belum memberikan perlindungan pada sharehoder maupun pada stakeholder. Untuk melengkapi dan sekaligus sebagai perkembangan dari teori badan hukum dimaksud doktrin hukumkorporasi yaitu Piercing the Corporrate Veil,Doktrin Fuduciary Duty, Doktrin Self Dealing Transaction, Doctrine Corporate Opportunity,Doctrine Businnes Judgment Rule, dan Ultra Virusdan Intra.Doktrin hukum sebagaimana tersebut di atas, pada intinya adalah memberikan landasan teoritis dan filsafati kepada orang-orang yang berada di balik suatu badan usaha atau perseroan, yaitu para pemegang saham, Direksi dan Dewan Komisaris, agar mereka tidak melanggar prinsip-prinsip keadilan dalam mengelola perseroan, termasuk kepada stakeholder,yaitu pihak yang berhubungan dengan perseroan, termasuk para pegawai dan relasi perseroan.Oleh karena itu dalam penyusunan perundang-undangan yang terkait dengan suatu perseroan, maka doktrin hukum tersebut wajib untuk di-resptie.
Doktrin-doktrin hukum tersebut di atas, pada umumnya telah di- esptie ke dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dalam klausula-klausula yang telah dikemukakan, walaupun terkadang masih bersifat umum dan belum mendasar. Perkembangan Teori Hukum dan Doktrin Hukum Piercing the Corporrate Veil dalam UUPT dan Realitasnya serta Prospektif Kedepannya Sekalipun doktrin hukum tersebut telah menjadi landasan dan telah di-resptie dalam UUPT, namun demikian dalam realitanya para pemegang saham, telah memanfaatkan kekuasaannya melalui kepemilikan saham dalam perseroan untuk mempengaruhi kemandirian para anggota Direksi dan Dewan Komisaris, melalui pengendalian non formal untuk mempengaruhi dan mencederai sikap profesionalisme dan integritas para anggota Direksi dan Dewan Komisaris, sehingga menyimpang dari prinsip-prinsip doktrin hukum tersebut di atas. Termasuk dalam pelanggaran doktrin hukum tersebut adalah pembuatan perjanjian nominee saham yang dilakukan oleh pemegang saham. Tujuan akhir dari penerapan doktrin hukum perseroan tersebut di atas adalah adanya Good Corporate Governance yaitu tata pengelolaan perseroan yang baik. Oleh karena itu, tindak lanjut dari reseptie doktrin hukum perseroan tersebut adalah implementasinya dalam Good Corporate Governance yaitu suatu tata pengelolaan yang baik dan benar.Dalam perkembangan hukum perseroan terdapat suatu holding company yaitu gabungan atau susunan perusahaan-perusahaan yang secara yuridis mandiri yang dipandang sebagai induk dan anak perusahaan yang terkait satu sama lain begitu erat sehingga membentuk suatu kesatuan ekonomi yang tunduk pada suatu pimpinan suatu perusahaan induk sebagai pimpinan sentral (ultimate share holder), dimana sampai saat ini mengenai holding companyserta tugas dan wewenang seerta tanggung jawab dari ultimate share holdertersebut belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal dimaksud, sehingga dapat memberikan peluang kepada para ultimate share holderuntuk melakukan perbuatan yang tidak baik bahkan melakukan kejahatan korporasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asikin, Zainal. Pria, Wira. 2016. Pengantar Hukum Perusahaan. Indonesia:Prenadamedia group.
Campbell Black, Henry. 1990. Black’s Law Dictionary.St. Paul Minn: West Publishing Co.
Dine, Janet. 1998. Company Law. Macmillan Press Ltd.
P. Friedman, Jack. 1987. Dictionary of Business Terms. New York: Baron’s Educational Services, Inc.
Prasetya, Rudhi. 1995. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Muhammad, Abdulkadir. 2002. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Philip Lipton dan Abraham Herzberg. 1992. Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd.
W. Hamilton, Robert. 1992. Corporations. St. Paul Minn: West Publishing Co.
Jurnal
Chatamarrasjid Ais, Pengaruh Doktrin Piercing The Corporate Veil dalam Hukum Perseroan Indonesia, (Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 6, 2003)
Doktrin Fiduciary Duty dan Peran Direksi, , 7 April 2009.
Indonesia, UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas, LN No.106 Tahun 2007, TLN No. 4756, Pasal 69 ayat (4).
Jhonny Ibrahim, Dokrin Ultrq Vires dan Konsekuensi Penerapannya Terhadap Hukum Privat, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 11, No.2, Mei 2011.
Website
http://www.businessdictionary.com/definition/fiduciary-duty.html#ixzz2RICUYKpq
Comments
Post a Comment