ETIKA MORAL DAN HUKUM : SEBUAH TINJAUAN FILOSOFIS


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manusia dan etika merupakan sinergitas komponen kehidupan yang berkaitan satu dengan yang lainnya, manusia dalam realitas aktivitasnya selalu disinonimkan dengan etika yang melekat pada dirinya. Aktivitas perilaku seseorang selalu dibingkai dalam nilai-nilai etika. Sehingga takaran nilai kemanusiaan seseorang diletakkan pada nilai-nilai etika yang dimiliki dan diimplementasikan, etika berfungsi dalam tingkah laku pergaulan hidup manusia, berfungsi dalam pergaulan ilmiah, dan dalam menjalankan suatu profesi.
Kemudian Antara hukum dan moralitas memang tidak terpisahkan, karena sebenarnya hukum itu merupakan bagian tuntutan moral yang dialami manusia dalam hidupnya. Ilustrasi ini mengharuskan orang untuk hidup berkoeksistensi sesuai prinsip-prinsip moral dan karenanya dalam membentuk undang-undang maupun peraturan lainnya secara tertulis dan tidak tertulis serta menjadi hukum positif  harus berlandaskan moral yang sakral dan konstruktif. Jika dalam penyelesaian sengketa hukum mengabaikan moral pasti mendapatkan keadilan yang bersifat semu. Kemurnian eksistensi ilmu hukum menjadi terancam tidak hanya karena diabaikannya penghalang yang memisahkannya dari ilmu alam namun jugakarena ilmu hukum tidak terpisahkan dari etika yakni karena tidak adanya pembedaan yang jelas antara hukum dan moral.
Kenyataannya memang antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat yang tak terpisahkan. Karakter social moral kadang dipertanyakan dengan menunjuk pada norma-norma moral yang menetapkan suatu perilaku bukan kepada individu melainkan pada diri sendiri belum meluas pada kesadaran orang dalam hidup bermasyarakat. Dalam konteks ini perilaku menjadi objek dari norma moral dalam kesadaran masyarakat yang hanya karena konsekuensinya terhadap masyarakat. Sehingga pembahasan mengenai  hukum dan moral menjadi penting karena keduanya menopang kelangsungan hidup manusia.

b. Rumusan Masalah

Pandangan Filsafat tentang Hukum, Moral dan Keadilan ?
Apa yang dimaksud dengan Moral, Moralitas, dan Etika ?
Apa saja Jenis-jenis moral atau etika ?
Apa yang dimaksud Hukum dan moral ?
 Bagaimana Hubungan Antara Hukum dan Moral?
Apa saja Konsep-konsep tentang teori moralitas hukum ?

c. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui dan memahami Pandangan Filsafat tentang Hukum, Moral dan Keadilan
 Untuk mengetahui dan memahami makna Moral, Moralitas, dan Etika
Untuk mengetahui dan memahami Jenis-jenis moral atau etika
Untuk mengetahui dan memahami tentang Hukum dan moral
Untuk mengetahui dan memahami Hubungan Antara Hukum dan Moral
Untuk mengetahui dan memahami Konsep-konsep tentang teori moralitas hukum



BAB II
PEMBAHASAN

Pandangan Filsafat tentang Hukum, Moral dan Keadilan
Pengertian tentang Hukum
Menurut kamus Bahasa Indonesia, hukum adalah keputusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa peraturan resmi yang menjadi pengatur dan dikuatkan oleh pemerintah, undang-undang, patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa alam yang tertentu. Pengertian hukum berdasarkan civil law hanya menganut undang-undang yang sifatnya tertulis saja, sedangkan pada system common law menekan kan pada yurisprudensi atau putusan hakim, kemudian berdasarkan kamus Bahasa Indonesia yang notabene berlaku di Indonesia lebih lengkap lagi, yaitu disamping bertumpu pada peraturan perundang-undangan juga putusan hakim serta kaidah-kaidah yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat. 
Hukum meliputi beberapa unsur:
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
Peraturan itu bersifat memaksa
Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Ciri-ciri hukum:
Adanya perintah dan/atau larangan
Perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati oleh setiap orang.
Pengertian Tentang Moral
Moral berasal dari bahasa latin "mos" (tunggal), "mores" (jamak) dan kata sifat "moralis", jadi bentuk jamak dari mores adalah kebiasaan, kelakuaan, kesusilaan. Kata sifat moralis berarti susila. Moral merupakan objek dari filsafat moral. Istilah lain dari arti yang sama adalah etika yang dalam bahasa Inggris adalah "ethics". 
Kemudian Menurut kamus Bahasa Indonesia, moral adalah “tentang baik buruk yang diterima umum mengenai akhlak dan budi pekerti, kondisi mental yang memengaruhi seseorang menjadi tetap bersemangat, berani, disiplin, dan sebagainya”. Kata moral atau moralis biasa digunakan sebagai sinonim dari kata etika yang merupakan pencabangan utama dari filsafat, kedua kata ini mempunyai etimologi yang sama. Etika berasal dari kata, “ethos” dalam Bahasa yunani berarti kebiasaan (customs), sedangkan moral berasal dari kata “mores” dalam Bahasa latin yang juga berarti kebiasaan. Dalam filsafat moral atau etika kita membedakan perbuatan menjadi dua:
a. Perbuatan insani : (actus humanus) yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang seseorang dalam keadaan sadar, dengan sengaja melakukannya dan sesuai kehendaknya. Perbuatan seperti ini merupakan objek formal filsafat moral atau etika.
b. Perbuatan Manusia (actus hominis) yakni perbuatan-perbuatan manusia yang dilakukan dalam keadaan tidak sadar, contohnya dalam keadaan tidur, terhipniotis, mabuk dan keadaan pingsan. Perbuatan itu diluar perhatian filsafat moral.
Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara sadar pasti mempunyai tujuan, dan setiap relitas mempunyai tujuan untuk melakukan pengembangan tertinggi dalam kodratnya masing-masing. Makhluk lain selain manusia juga mempunyai tujuan juga namun mereka tidak mengetahui dan mengenal tujuannya, lain dengan manusia yang mengejar tujuan dan mengetahui tujuannya. 
Tujuan manusia dalam hidup akan membentuk moral manusia itu sendiri, sebab tujuan yang sangat bernilai bagi manusia jika manusia mampu memperoleh tujuan akhirnya yakni tujuan untuk mencapai kebaikan yang tertinggi. Jika manusia tidak ada tujuan akhir maka manusia akan kesulitan untuk menentukan arah dan jalan hidupnya. Dan pada dasarnya kebaikan tertinggi yang diinginkan manusia adalah kebahagiaan yang sempurna. Hal ini pernah disinggung oleh Aristoteles yang mengatakan bahwasanya manusia mempunyai dalam hatinya suatu keinginan kodrati yang tidak dapat dihilangkan yakni untuk dapat mencapai kebahagiaan yang sejati. Intinya moral itu adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia dimana perbuatan itu untuk mencapai tujuan akhir manusia itu sendiri. Apakah moral manusia itu baik atau buruk tergantung bagaimana manusia mencapai tujuan akhirnya. 
Etika atau moral merupakan sikap etis yang harus dilakukan dalam menjalankan aktivitas manusia sebagai makhluk social, karena perilaku etis itu sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalankan kehidupan manusia sebagai pengemban profesi. Keputusan pada etika atau moral tergantung kepada akhlak yang bersangkutan, oleh karena itu etika atau moral bersifat individu atau subjektif. Namun demikian, dalam hidup diperlukan adanya standar yang ditetapkan dalam pedoman, terutama kaitannya dengan profesi hukum diperlukan pedoman yang disebut kode etik secara tertulis. 
Prinsip-prinsip moral adalah sebagai tingkah laku manusia, biasanya prinsip moral tersebut ditangkap manusia dalam lingkungan hidupnya sendiri dan sejak semula dianggap sebagai suatu keharusan. Prinsip-prinsip moral tidak pernah ada kekosongan, karena dimana ada suatu peradaban manusia, disitu pasti terdapat suatu moral yang menggambarkan tingkah laku manusia dan pada prinsipnya ajaran moral itu erat kaitannya dengan akal budi manusia, namun demikian sifat dan watak manusia yang berbeda, ajaran moral tidak bisa mengendalikan semua manusia, maka moral dan etika itu tergantung dari bagaimana perilaku manusia yang bersangkutan. 

Pengertian tentang Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil, menurut kamus Bahasa indoensia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relative, setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya. Bagi kebanyakan orang keadilan adalah prinsip umum, bahwa individu-individu tersebut seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima. Sebagian menyebutnya dengan istilah legal justice.
Untuk menerima suatu keadilan pada mulanya akan terasa berat dan tidak menerimanya, oleh karena itu untuk menerima keadilan itu kuncinya adalah keikhlasan, sedangkan untuk menerima keikhlasan itu pada mulanya juga begitu berat, tetapi jika dirasakan dan diserahkan kepada Allah Tuhan semesta alam, pastilah akan bisa menerimanya, sehingga untuk menjalankan ikhlas itu harus sabar dan tawakal. 

2. Moral, Moralitas, dan Etika

Moral berasal dari Bahasa latin (Yunani) yaitu moralis, mos, moris yang diartikan sebagai adat, istiadat, kebiasaan, cara tingkah laku, dan kelakuan. Atau dapat diartikan mores yang merupakan gambaran adat istiadat, kelakuan tabiat, watak, akhlaq, dan cara hidup. Istilah ini dikenal moral dalam Bahasa inggris.
Moral pada umumnya diartikan sebagai berikut :
Menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat.
Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima menyangkut apa yang dianggap benar, bijak, adil, dan pantas.
Memiliki kemampuan untuk diarahkan oleh atau dipengaruhi oleh keinsyafan akan benar atau salah, dan kemampuan untuk mengarahkan atau memengaruhi orang lain sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku yang dinilai benar atau salah.
Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
Moralitas, disatu sisi berbeda dengan moral. Dalam hal ini moralitas disebutkan sebagai sikap manusia berkenaan dengan hukum moral yang didasarkan atas keputusan bebasnya. Moralitas dalam hal ini biasa juga disebut ethos. Ethos kadang kala diartikan untuk menunjukan karakter tertentu, misalnya sikap moral dari satu nilai khusus. Suatu tindakan yang baik secara moral digambarkan sebagai tindakan bebas manusia yang mengafirmasikan nilai etis objektif dan yang mengafirmasikan hukum moral. Sementara, suatu tindakan yang buruk secara moral digambarkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai etis dan hukum moral
Etika sendiri dalam beberapa literatur dan pendapat para filsuf disinonimkan dengan moralitas, bukan moral. Menurut shatesbury bahwa ia memandang moralitas sebagai alamiah, dan tidak tergantung dari sanksi-sanksi adikodrati. Kropotkin lebih lanjut mengatakan bahwa moralitas berasal dari suatu factor kerja sama timbal balik. Akan tetapi, menurut Santayana bahwa pada dasarnya etika berbeda dengan moralitas. Etika dianggapnya sebagai suatu disiplin rasional, sedangkan moralitas berkaitan lebih erat dengan adat istiadat atau kebiasaan. Dalam hal ini, moralitas disinonimkan dengan moral.
Jika etika disamakan dan/atau dibedakan dengan moral dan/atau moralitas, maka pada dasarnya etika menjadi wacana yang membicarakan landasan-landasan moralitas. Dalam kedudukannya sebagai landasan moralitas,maka etika dapat dilihat dari sudut pandang sebagai berikut:
1. Sebagai sistem-sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia.
2.Sistem-sistem tersebut diwujudkan sebagai kaidah-kaidah moralitas yang memberi makna tentang kebenaran dan kesalahan.
3. Etika dalam sistem moralitas itu sedniri mengacu pada prinsip-prinsip moral actual.
Tujuan etika dalam hal ini digunakan untuk mendapatkan ideal yang sama bagi seluruh manusia ditempat manapun juga dan dalam waktu kapan pun juga mengenai penilaian baik dan buruk. Etika menentukan ukuran atas perbuatan manusia, oleh karena itu, dalam mengusahakan tujuan etika, manusia pada umumnya menjadikan norma yang ideal untuk mencapai tujuan tersebut.
Ketiga uraian pengistilahan moral, moralitas, dan etika memiliki penekanan-penekanan yang mencoba menghubungkan ketiganya. Terpenting untuk digarisbawahi bahwa pada dasarnya ranah baik/buruk, benar/salah merupakan ruang lingkup yang mencakup ketiganya.
3. Jenis-jenis moral atau etika
Jenis moral berdasarkan segi lingkupnya
Dilihat dari segi lingkupnya, moral atau etika itu dapat dikategorikan sebagai berikut:
Moral universal, 
Moral universal adalah prinsip-prinsip yang mengatur sikap tindak manusia yang berasal dari alasan-alasan kemanusiaan (human reason) yang berlaku dimana pun, di negara mana pun, atau di daerah mana pun di dunia ini. Dikatakan universal karena berlakunya tidak dibatasi oleh dimensi ruang tertentu, moral universal ini dapat dikatakan sebagai prinsip-prinsip hidup tertentu yang ditemukan oleh manusia secara rasional berdasarkan akal pikirannya (human reason) sehingga jika ada ketentuan (hukum positif) yang bertentangan dengan moral seperti ini, hukum tersebut tidak harus diikuti, seperti yang tersimpul dalam ucap-ucap lex iniusta non est lex yang artinya hukum yang tidak adil bukanlah hukum, pendarat tentang moral seperti ini pada umumnya diikuti oleh para pengikut paham Thomas aquinas
Moral situasional,
Moral situasional adalah prinsip-prinsip yang mengatur sikap tindak manusia berasal dari alasan-alasan kemanusiaan (human reason) yang hanya berlaku untuk wilayah tertentu sesuai situasi dan kondisi , sehingga moral situasional dalam arti konkret berbeda-beda dari satu negara ke negara lain, atau dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. 
Kemudian moral yang merupakan suatu ekspresi sikap tindak manusia bisa berbeda-beda dari seorang individu ke individu yang lain maupun dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain dan dari satu massa ke massa yang lain. Dalam pandangan ini suatu moral tidak bersifat universal dan kekal, maka moral dalam pengertian seperti ini tidak selamanya dapat mengesampingkan kaidah hukum positif yang bertentangan dengan moral tersebut.

b. Jenis moral atau etika berdasarkan pendekatannya

Jenis moral atau etika berdasarkan pendekatannya,yaitu sebagai berikut:
Moral transedental, adalah kaidah-kaidah mana yang baik dan mana yang buruk yang ditentukan berdasarkan kriteria hukum-hukum than atau berdasarkan kepada alasan kemanusiaan yang universal dan kekal.
Moral intuitif, adalahmenentukan kaidah tentang baik dan buruk yang diukur dengan perasaan intuisi dari manusia, yaitu etika terhadap hal-hal tertentu dimana proposisi dasarnya bersifat intuitif dan bersifat unik, yang tidak dapat ditelusuri dengan atau disimpulkan dari disiplin lain mana pun.
Moral logis/naturalistic, adalah adalah tentang mana yang baik dan mana yang buruk yang didasari atas pikiran manusia berdasarkan pertimbangan-pertimbangan objek ilmiah.
Moral pragmatis, adalah moral yang didasari atas hal-hal yang logis yang diarahkan oleh nilai-nilai tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan dengan sadar.
Moral non-kognitif, adalah konsep-konsep moral yang tidak mungkin didasari atas prinsip-prinsip rasional logis, yakni ketika etika yang bersifat emotif sehingga tidak dapat dianalisis secara objektif, dan dapat diverifikasi.
Dalam hubungan antara teori moral dengan paham positivism hukum, suatu persoalan yang paling fundamental adalah apakah validitas hukum positif harus didukung oleh kaidah-kaidah moral. Untuk masalah tersebut dikalangan para penganut paham positivism hukum sendiri terdapat dua kubu pendapat sebagai berikut : 
Kubu positivisme hukum yang eksklusif
Kubu positivisme hukum yang eksklusif ini berpendapat bahwa validitas hukum positif disuau negara sama sekali terlepas dari masalah-masalah moral, sehingga factor moral tidak dapat dan tidak perlu digunakan untuk memberikan validitas terhadap hukum positif, karena hukum hanya ada dalam undang-undang (dan peraturan pelaksananya) diluar undang-undang tidak ada hukum. namun kubu positifisme hukum eksklusif yang lebih moderat berpandngan bahwa praktik ke masyarakat kini dan masa lalulah yang menentukan apakah hukum itu (das sein) setelah dirumuskan dalam undang-undang dan setelah aturan tersebut dilaksanakan, factor moral hanya memberikan sumbangan nya kepada apa yang “seharusnya” menjadi hukum yang ideal (das sollen).
Kubu positivism hukum yang inklusif
Kubu positivism hukum yang inklusif berpendapat bahwa factor moral dapat (meskipun tidak selamanya) menjadi factor yang menentukan validitas atau tidaknya suatu hukum positif. Artinya, jika ada kaidah hukum positif yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan factor moral, bisa jadi kaidah hukum positif tersebut menjadi tidak valid.

4. Hukum dan moral

Hukum merupakan kumpulan peraturan yang dibuat oleh penguasa dimana penguasa tersebut adalah manusia yang tidak sempurna. Maka dari itu setiap orang selalu berpendapat bahwa hukum tidak memuaskan karena masih banyak hal-hal baru yang belum diatur atau karna begitu banyaknya peristiwa baru yang terjadi dan belum terakomodir oleh hukum. Hal ini tidak hanya terjadi si negara berkembang namun juga terjadi pada negara yang sudah maju sekalipun, sebab hukum itu dinamis. Jembatan antara hukum yang sekarang dengan hukum baru dicita-citakan adalah hukum alam. Hukum alam itu adalah manusia, yang menjelma sebagai pribagi dan subjek yang mandiri, yang ingin mengembangkan diri menjadi pribadi utuh yang sempurna.
Titik potong antara hukum dan moral itu adalah hukum alam, dalam hukum alam inilah kita menemukan dialektika antara hukum dan moral. Morallah yang mengatur perbuatan manusia dalam segala segi dari hal yang kecil hingga yang besar dari makhluk pribadi hingga makhluk sosial. Seorang pembuat hukum adalah manusia, hukum merupakan suatu alat untuk menciptakan keadilan, ketentraman dan kebahagian bagi masyarakat. Hukum tidak memiliki perasaan, tidak memiliki akal yang memiliki itu adalah manusia. Maka dari itu hukum dapat menjadi otoriter jika dibuat oleh penguasa yang ototiter, hukum akan adil jika dibuat oleh penguasa yang adil, serta ditegakkan oleh penegak hukum yang adil. Moral dan Hukum merupakan hal yang berhubungan satu sama lainnya. Hal ini sejalan dengan teorinya Lawrence Friedman, ia menyatakan bahwasanya hukum yang baik dan hukum akan sukses diterapkan dalam sebuah negara apabila mengandung 3 unsur :
1. Legal Subtance yakni mempunyai Undang-undang yang mencerminkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
2. Legal Structure yakni memiliki penegak hukum yang ideal yakni adil
3. Legal Culture yakni terciptanya budaya hukum yang bagus dan besinergi di dalam masyarakat. Seperti tidak memberikan sogokan atau memberikan pungli kepada aparat penegak hukum.
Kaidah-kaidah moral akan mendapat pengakuan dan operasionalisasi yang kuat manakala dapat diback-up oleh sector hukum. Tentang sejauh mana sector hukum harus dapat menjalankan kaidah moral, bila perlu secara paksa (dengan sanksi-sanksi hukum), terdapat dua aliran mainstream yaitu sebagai berikut :
Aliran ekstrem, aliran ekstrem menyatakan bahwa pelanggaran moral haruslah ditegakkan oleh hukum (diberikan sanksi hukum), karena dengan pelanggaran moral per se sudah berarti jelek, meskipun mungkin dengan pelanggaran moral tersebut tidak ada atau belum ada pihak lain yang dirugikan. Misalnya terhadap pelanggaran moral dalam hubungan dengan masalah seks yang dilakukan oleh orang-orang homoseksual/lesbian dewasa, tanpa merugikan pihak lain mana pun, maka meskipun tidak merugikan pihak lain, pelanggaran seperti itu telah dianggap bersalah sehingga dapat diberikan sanksi-sanksi hukum.
Aliran moderat, aliran moderat mengibaratkan moral sebagai “semen perekat” masyarakat. Dengan demikian apabila pelanggaran terhadap kaidah moral terus dilakukan, masyarakat itu sendiri akan hancurr berkeping-keping. Dan tanpa factor moral, para anggota masyarakat tidak akan bersatu/ menyambung satu sama lain. Dalam konsepsi moral seperti ini kemudian muncul konsep “solidaritas moral” dan moralitas masyarakat, karena itu unsur moral berfungsi sebagai sarang laba-laba dalam masyarakat yang menghubungkan individu yang satu dengan yang lainnya. 
Jadi dalam hal ini, factor hukum berfungsi sebagai instrumental, dan hanya terhadap pelanggaran moral yang berbahaya bagi masyarakat saja yang dapat ditegakkan oleh hukum, pelanggaran terhadap moral tidak dengan sendirinya merupakan pelanggaran hukum.disamping itu, factor moral juga dapat berfungsi sebagai penyebab orang-orang menaati hukum. dalam hal ini orang yang bermoral akan lebih mematuhi hukum dari orang yang kurang kuat moralnya, jadi , tidak mematuhi hukum (yang diyakini baik dan benar) itu juga dianggap tidak baik secara moral.
Dalam metafisika kesusilaan kant (1979), ditemukan perbedaan antara legalitas dan moralitas. Legalitas adalah kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka. Kesesuaian dan ketidaksesuaian belumlah dianggap memiliki nilai-nilai moral, sebab nilai-nilai baru dapat ditemukan dalam moralitas. Sedangkan moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang dipandang sebagai kewajiban kita. Moralitas baru dapat diukur ketika seseorang menaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum.
Legalitas dan moralitas pada dasarnya sangat sulit dipisahkan karena keduanya merupakan gambaran dua kutub positif dan negatif  yang saling membutuhkan. Namun, keduanya tetap dapat dibedakan khususnya dalam konteks bahwa tindakan seseorang yang mematuhi aturan karena sifat legislasinya aturan tersebut dan yang mematuhi aturan itu karena aturan tersebut bersifat moral atau etis
Moralitas  dalam pandangan kant dibedakan menjadi dua (2)yaitu :
moralitas heteronom, adalah sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku. 
moralitas otonom, adalah kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai baik, sehingga seseorang menaati hukum lahiriah karena hal itu dijadikan kewajibannya sendiri berkat nilainya yang baik.

Kewajiban pada dasarnya muncul dalam kesadaran manusia sebagai suatu evidensi yang khas sehingga tidak dapat didedukasikan kepada suatu gejala hidup. Evidensi ini dapat dirumuskan menjadi lakukan yang baik, hindarilah yang jahat. Evidensi seperti ini bernilai etika yang melahirkan kewajiban yang etis yang mana kewajiban etis ini dilakukan dalam ketaatan terhadap norma-norma yang disadari manusia dalam segala bentuk hubungannya baik terhadap dirinya sendiri, sesama, maupun terhadap Allah. Sehingga norma-norma tersebut seperti “alarm” yang selalu akan mengingatkan ketika seorang individu hendak berbuat yang tidak baik.
Pada dasarnya kewajiban dibagi atas dua bagian yaitu :
kewajiban yang bersifat yuridis, sifatnya bersumber pada instansi yang berwenang(eksternal)
kewajiban yang bersifat etika, sifatnya bersumber pada bagian dalam batin (internal) seseorang.
Dalam konteks hukum positif, aturan baik-buruk atau benar salah dapat diukur dengan menempatkannya pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Contohnya, seseorang yang kedapatan mencuri. Dalam aturan hukum positif, mencuri itu dapat diganjar dengan aturan perundang-undangan. Akan tetapi, mencuri dapat pula diganjar dengan hukuman yang bersifat etis yang dalam ukuran moralitas perbuatan mencuri dianggap sebagai suatu perbuatan yang salah dan buruk.
Kemudian terdapat Perbedaan antara Hukum dan Moral, yaitu
 1. Hukum dapat memaksa masyarakat untuk menaatinya dan hukum juga melembaga, dapat dilihat dengan adanya aparat hukum dari tingkat daerah hingga nasional. Sedangkan moral tidak dapat dipaksakan, karena moral menuntut untuk melakukan segala sesuatu tergantung diri kita sendiri. Namun moral tidak bisa di tawar-tawar karena menuntut ketaatan secara mutlak. Tapi moral tidak mengenal aparat hukum yang mana jika kita melanggar akan dihukum, karena moral tidak melembaga.
 2. Hukum hanya menuntut manusia melakukan perbuatan secara lahiriah, dan tidak menghiraukan batiniyah, sejauh tidak menghalangi perbuatan lahiriah pada hukum, sedangkan moral mementingkan lahirah dan batin sekaligur sebab manusia sebagai pribadi dan makhluk sosial tunduk pada norma sosial.
3. Hukum itu heteronomi dimana manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat dan negara, sedangkan moral itu otonomi artinya masyarakat boleh menentukan sendiri standar moral dan nilai apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah.
4. Ketika hukum dilanggar maka akan dikenai sanksi berupa hukuman penjara, denda dan sebagainya. Sedangkan ketika manusia melanggar moral maka ia mendapatkan sanksi sosial, yakni lebih pada sanki batin. Seperti rasa malu, rasa menyesal yang mana merasa telah melanggar norma sosial.
5. Tujuan hukum adalah untuk mencapai ketertiban dan keadilan, dimana agar dalam masyarakat sebagai subjek hukum dapat hidup bersama dengan damai tanpa mengambil hak dan menggerus kepentingan orang lain. Sedangkan moral bertujuan mengatur hidup manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu, tanpa pandang agama dan tanpa pandang keadaan sosial. 
6. Hukum positif terikat waktu dan tempat, jika berada di indonesia maka hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia. Sedangkan moral tidak terikat waktu dan tempat.
Suatu perbedaan utama yang paling nyata diantara hukum dan moral adalah ketika kita melihat asal muasal suatu kewajiban. Jika itu merupakan kewajiban hukum, maka kewajiban itu berasal dari eksternal pelakunya. Karena itu, ketika dianggap adanya kewajiban hukum, maka kewajiban tersebut ada, tanpa perlu memperhitungkan factor internal seperti maksud, motif, dan lain-lain factor internal. Adapun suatu kewajiban moral justru digerakkan oleh factor internal manusia tanpa perlu memperhatikan factor eksternalnya.
Selain itu terdapat Perbedaan mendasar antara hukum dan moral adalah: hukum merupakan tatanan pemaksa, yakni sebuah tatanan norma yang berupaya mewujudkan perilaku tertentu dengan memberikan tindakan paksa yang diorganisir secara social kepada perilaku yang sebaliknya: sedangkan moral merupakan tatanan social yang tidak memiliki sanksi semacam itu. Sanksi dari tatanan moral hanyalah kesetujuan atas perilaku yang sesuai dengan norma dan ketidaksetujuan terhadap perilaku yang bertentangan dengan norma, dan tidak ada tindakan paksa yang diterapkan sebagai saksi.
Pembedaan antara moral dan hukum tidak berkaitan dengan perilaku yang diwajibkan kepada manusia oleh norma dari dua tatanan social ini. Bunuh diri boleh jadi dilarang tidak hanya oleh moral , namun juga oleh hukum; keberanian dan kesederhanaan boleh jadi merupakan kewajiban moral sekaligus kewajiban hukum. pendapat yang sering dikemukakan bahwa hukum menetapkan perilaku eksternal dan moral mengatur perilaku internal juga tidak benar. Norma dari kedua tatanan tersebut menetapkan kedua jenis perilaku itu. Sisi kebaikan moral dari keberanian tidak hanya terdapat dalam kualitas internal dari ketidaktakutan, namun juga dalam perilaku eksternal yang di syaratkan oleh kualitas ini. Sebaliknya jika sebuah tatanan hukum melarang pembunuhan, ia berarti tidak hanya melarang penghilangan nyawa seseorang akibat perilaku eksternal orang lain, namun juga perilaku internal, yakni niat untuk menimbulkan akibat seperti itu. Perilaku “internal” yang secara moral didalilkan menurut sejumlah filosof moral -diandai-kan terkandung dalam perilaku, agar bisa disebut “moral”, harus diarahkan kepada kecondongan seseorang atau terhadap kepentingan egoistik seseorang.
Aristoteles dalam karyanya, Nicomachean Ethics (1999), menempatkan keadilan sebagai keutamaan yang paling penting dalam politik. Alasannya, keadilan merupakan keutamaan yang lengkap dibandingkan dengan keutamaan lain karena pelaksanaannya selalu berkaitan dengan orang lain atau pihak lain. Keadilan, demikian Aristoteles, tentu saja bisa berhubungan dengan diri sendiri. Akan tetapi, lebih dari itu keadilan menjadi penting karna menuntut kewajiban dan tanggung jawab terhadap yang lain, menuntut pentingnya melakukan sesuatu yang memberi manfaat bagi pihak lain. Bagi Aristoteles bertindak adil berarti melakukan sesuatu demi kebaikan tanpa syarat apa pun. 
Ronald Dworkin dalam bukunya, Taking Right Seriously, menegaskan bahwa seorang lawyer atau hakim ketika dihadapan pada kasus hukum konkret tidak saja berurusan dengan masalah teknis hukum, tetapi juga dengan substansi hukum. Adanya kasus yang oleh Dworkin disebut kasus berat dan masuknya yurisprudensi dalam system hukum memperlihatkan bahwa pertimbangan moral selalu relevan diperhatikan kalua yang menjadi tujuan peradilan adalah membela prinsip atau nilai keadilan. 
Overlapping Hukum dan Moralitas
Moral sebagai Isi Minimum Hukum
Masuknya moralitas menjadi isi minimum hukum menurut Hart merupakan hal yang wajar, bahkan relevan. Menurut Hart terdapat berbagai fakta natural dalam manusia yang membuat prinsip moral menjadi penting atau tidak dapat diabaikan dalam pertimbangan hukum. Fakta natural itu antara lain seperti kenyataan bahwa manusia rentan dan mudah terancam bahaya.
Dengan masuknya moralitas sebagai isi minimum hukum, Hart membedakan dirinya dari sebagian penganut positivis tentang hukum. Akan tetapi, tidak berarti Hart dengan sendirinya sama dengan Aquinas, bapak teori hukum kodrat. Bagi Hart, peraturan yang ditetapkan sebagai hukum harus tetap disebut hukum juga kalua ternyata tidak adil. Adanya kemungkinan seperti ini juga tampaknya menjadi alasan bagi Hart untuk memperkenalkan rule of change sebagai bagian penting dalam system hukum. 
Moralitas dan Kompleksitas Kasus Hukum
Hukum mengendalikan paksaan tetapi hukum juga dimaksudkan untuk menyingkirkan penggunaan kekuatan atau paksaan. Dalam konteks ini prinsip keadilan menjadi penting, termasuk lembaga pengadilan. Dengan demikian, pendekatan moral (prinsip keadilan) tidak dapat dihindari. Sekurang-kurangnya terdapat dua alasan untuk itu. Pertama, tidak semua persoalan immoral (tidak bermoral) diatur dengan hukum, dan karenanya juga tidak semua tindakan criminal yang melibatkan persoalan moral dapat diatasi secara hukum. Kasus pemerkosaan misalnya, cukup lama hanya menjadi perdebatan hukum karena sulit membuktikan apakah tindakan asusila yang satu ini benar-benar terjadi atau tidak. Lalu apakah pemerkosaan yang secara riil dialami korban harus dibiarkan hanya karna tidak ada kejelasan legal? Disini perlu keberanian hakim untuk melakukan terobosan hukum supaya kejahatan yang satu ini mendapatkan perlakuan hukum yang memadai. Kedua, terobosan berupa yurisprudensi menjadi penting karna tidak semua kasus hukum dapat secara langsung ditemukan jawabannya dalam hukum yang tersedia.
Positivism hukum memang menyajikan teori untuk menangani kasus berat. Ketika hukum tidak dapat diterapkan secara langsung karena kasus yang dihadapi kompleks dan sulit, hakim dibenarkan melakukan diskresi untuk menentukan manakah cara yang tepat untuk menanganinya. Tugas hakim adalah menemukan hak dari pihak-pihak yang bersengketa dan bukannya menerapkan hukum baru secara retrospektif. Dalam kasus korupsi misalnya, yang melibatkan berbagai pihak dengan kedudukan dan peran yang berbeda, seorang hakim tentu saja tidak dapat begitu saja memainkan peran melulu sebagai penerap hukum. 

5. Hubungan Antara Hukum dan Moral 

Hubungan fungsional antara faktor moral dan hukum antara lain :
Moral diperlukan ketika hukum menjadi sempit dan kaku
Moral merupakan dasar dari otoritas hukum
Moral menyediakan kaidahnya dalam penciptaan hukum
Moral mengisi kekosongan hukum dan membantu penafsiran hukum
Moral mengarahkan hukum ketika hukum mengalami kontradiksi internal, dogmatism, dan irasionalitas
Pemenuhan unsur moral merupakan kriteria bagi suatu kaidah hukum yang bagus.
Factor moral ikut mempengaruhi pembuatan hukum di parlemen maupun ketika hukum tercipta dalam pemutusan kasus-kasus di badan -badan pengadilan, kemudian sampai batas-batas tertentu hukum memang terbuka terhadap kritikan-kritikan moral, yakni dalam hal-hal urgensi dari unsur moral tersebut berada pada derajat tertentu sehingga menjadi unsur yang juga harus diatur dan disediakan sanksinya oleh hukum, terhadap unsur-unsur moral yang sedemikian urgen, maka pelanggaran moral seperti itu dapat disebut juga sebagai pelanggaran hukum, karenanya sanksi hukuman oleh hukum pantas diberlakukan sehingga hukumannya menjadi jauh lebih berat. Dalam hal ini, pelanggaran moralitas public hampir selamanya merupakan pelanggaran hukum. namun tidak semua pelangaran moral dianggap sebuah pelanggaran keadilan/hukum. 
Hukum agama dan moralitas adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, hukum harus melayani dan menegakkan moralitas, hukum bukan saja dikenal sebagai instrument utama dari control social. Hukum dan agama maupun moral jika sudah ditetapkan akan menjadi norma. Bahwa yang disebut norma adalah suatu deskripsi tertulis mengenai suatu rangkaian perbuatan yang konkret dan yang dipandang sebagai suatu hal yang diinginkan. 
Antara hukum dengan moral memang ada perbedaannya, akan tetapi adanya hubungan yang sangat erat antara keduanya akan memperkecil perbedaan tersebut, karena sebenarnya hukum itu merupakan bagian dari tuntutan moral yang dialami manusia dalam hidupnya. Hukum memuat suatu nilai etis, yakni bahwa kriteria pembentukan hukum adalah kebebasan moral. Antara hukum dan moral sangat erat sekali hubungannya, sebab norma-norma yang berbeda-beda secara abstrak, secara konkret tidak usah muncul secara terpisah. Dengan demikian antara hukum dan moral tidak dapat dipisahkan.






6. Konsep-konsep tentang teori moralitas hukum
Antara hukum dan moral ibarat dua sisi mata uang dimana yang satu dapat menjustifikasi yang lain. Moral dapat menjadi basis bagi hukum untuk menetapkan dan menjalankan kaidah-kaidahnya, meskipun terdapat juga di sana sini kaidah-kaidah hukum yang tidak berkaitan atau kaitannya sangat kecil dengan sector moral. Dalam sejarah hukum, juga telah terbukti bahwa usaha untuk membeda-bedakan antara hukum dan moral bukanlah pekerjaan mudah, meskipun harus diakui pula bahwa sudah sangat banyak usaha yang dilakukan untuk itu di sepanjang sejarah hukum. 
Dalam hubungan antara factor moral dan factor hukum tersebut, beberapa istilah muncul dalam implementasinya, yaitu:
Hukum kebebasan (laws of freedom)
Hukum alam
Hukum moral
Hukum reason
Juridical
Ethical
Legalitas
Moralitas
Moral adalah segala penilaian, ukuran, karakter,perilaku,kesadaran, yang berhubungan dengan apa-apa yang baik dan apa apa yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah, berdasarkan kepada prinsip-prinsip umum yang diberlakukan berdasarkan atas kesadaran manusia, yang berasal dari perasaan dan perhitungan probabilitas (bukan berdasarkan kepada kategori pembuktian ilmiah.
Paham yang sangat kuat tentang moral moral adalah paham yang menyatakan bahwa moralitas sosial memiliki karakteristik berupa “nilai” yang suci yang merupakan kebajikan yang abadi, yang bersumber pada akal pikiran manusia (human reason). Sehingga jika dilihat dari segi ini, maka kaidah moral menjadi mirip dengan kaidah hukum alam. Beda antara kaidah moral dan dengan kaidah hukum alam adalah bahwa kaidah hukum alam menempati tempat di”dalam” hukum itu sendiri sedangkan kaidah moral berada di luar hukum.
Kemudian terdapat teori tentang sumber dari moral yang dapat dikategorikan menjadi 4 jenis:
Teori teologis, yang mengajarkan bahwa sebenarnya moral berasal dari ajaran agama (dari tuhan). Karena itu, mana yang dianggap bermoral tinggi (dianjurkan bahkan diharuskan untuk dilakukan), mana yang tidak melanggar moral (sehingga tidak dilarang untuk dilakukan), dan mana yang melanggar moral (sehingga dianjurkan untuk tidak dilakukan, bahkan dilarang untuk dilakukan) kesemuanya tersebut berasal dari tuhan, yang untuk kepastiannya harus disimak dalam kaidah-kaidah yang terdapat dalam kitab-kitab suci dan atau dalam apa apa yang diajarkan nabi utusan tuhan ke dunia ini.
Teori akal budi, yang mengajarkan bahwa tentang apa-apa yang dianggap bermoral dan apa-apa yang dianggap pelanggaran moral, sebenarnya ditentukan oleh akal budi dan rasio manusia (human reason) tanpa perlu intruksi atau intervensi dari tuhan.dengan menggunakan akalnya yang rasional, manusia dianggap cukup mampu untuk mengerti mana yang dianggap bermoral dan mana yang dianggap pelanggaran moral di dunia ini.
Teori sosiologis, yang mengajarkan bahwa apa yang dianggap bermoral dan apa yang dianggap pelanggaran moral bukanlah merupakan hal yang kekal tetapi selalu berubah-ubah dan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu daerah ke daerah yang lain, sesuai dengan perkembangan pemikiran hidup dalam masyarakat tersebut.
Teori historis, yang mengajarkan bahwa perbuatan mana yang dianggap bermoral dan perbuatan bagaimana yang dianggap tidak bermoral dalam suatu kehidupan masyarakat semuanya sudah lama ada dalam masyarakat yang dapat ditelusuri dalam sejarahnya. Perkembangan tentang apa yang bermoral dan apa yang tidak bermoral dan perkembangan tentang kesadaran moral dari masyarakat mengikuti perkembangan historis dari masyarakat tersebut.pada masyarakat disuatu negara yang historisnya matang dalam kaitannya dengan penegakan moral tersebut, maka kesadaran orang-orang disitu , antara lain harus memperhatikan dan melaksanakan kaidah-kaidah moral yang harus tetap dijaga dalam komunitas tersebut, tergantung kepada sebaik apa moralitas masyarakat tersebut yang sudah terbentuk tahap demi tahap dalam perkembangan kesadaran dalam historis bangsa tersebut, yakni kesadaran untuk tidak melanggar prinsip-prinsip moralitas yang ada.



L




BAB III
PENUTUP

Simpulan
Moral adalah segala penilaian, ukuran, karakter,perilaku,kesadaran, yang berhubungan dengan apa-apa yang baik dan apa apa yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah, berdasarkan kepada prinsip-prinsip umum yang diberlakukan berdasarkan atas kesadaran manusia, yang berasal dari perasaan dan perhitungan probabilitas (bukan berdasarkan kepada kategori pembuktian ilmiah. Sedangkan hukum adalah keputusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa peraturan resmi yang menjadi pengatur dan dikuatkan oleh pemerintah, undang-undang, patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa alam yang tertentu.
Berbicara mengenai hukum dan moral, maka Factor moral ikut mempengaruhi pembuatan hukum di parlemen maupun ketika hukum tercipta dalam pemutusan kasus-kasus di badan -badan pengadilan, kemudian sampai batas-batas tertentu hukum memang terbuka terhadap kritikan-kritikan moral. Prinsip-prinsip moral tidak pernah ada kekosongan, karena dimana ada suatu peradaban manusia, disitu pasti terdapat suatu moral yang menggambarkan tingkah laku manusia dan pada prinsipnya ajaran moral itu erat kaitannya dengan akal budi manusia, namun demikian sifat dan watak manusia yang berbeda, ajaran moral tidak bisa mengendalikan semua manusia, maka moral dan etika itu tergantung dari bagaimana perilaku manusia yang bersangkutan










DAFTAR PUSTAKA

Aburaera Sukarno, Muhadar, dan Maskun, 2013, Filsafat hukum teori dan praktik,Jakarta: Prenadamedia

Ata, Andre Ujan, 2009.Filsafat Hukum, Jakarta : Kanisius

Fuady,Munir.2013,Teori-teori besar dalam hukum. Jakarta: prenadamedia grup.

 Kelsen,Hans, 2018,teori hukum murni:dasar-dasar ilmu hukum normatif, Bandung: nusa media

Satiardja, Gunawan.1990,Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Hukum Indonesia, Kanisius: Yogyakarta

Sinamo, Nomensen. 2014. Filsafat hukum.Jakarta:Permata aksara.









Comments

Popular posts from this blog

Pengertian, Asas dan Sumber Hukum Peradilan Agama

Langkah-Langkah Analisis Hukum (Pemecahan Masalah Hukum)

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA PENGAJUAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN