Hubungan Keterkaitan Antara Logika dan Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkataan logika diutarakan dari kata logike bahasa Yunani, yang berhubungan dengan kata benda logos berarti pikiran atau perkataan sebagai pernyataan dari pikiran. Hal ini mengingatkan bahwa ternyata ada hubungan yang erat antara pikiran dan perkataan yang merupakan pernyataan dalam bahasa. Sedangkan Penalaran atau reasoning merupakan suatu konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpuan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui. Dalam pernyataan-pernyataan itu terdiri dari pengertia-pengertian sebagai unsurnya yang antara pengertian satu dengan yang lain ada batas-batas tertentu untuk menghindarkan kekabutan arti.
Unsur-unsur di sini bukan merupakan bagian-bagian yang menyusun suatu penalaran tetapi merupakan hal-hal sebagai prinsip yang harus diketahui terlebih dahulu, karena penalaran adalah suatu proses yang sifatnya dinamis tergantung pada pangkal pikirnya. Unsur-unsur penalaran yang dimaksudkan adalah tentang pengertian, karena pengertian ini merupakan dasar dari semua bentuk penalaran. Untuk mendapatkan pengertian sesuatu dengan baik sering juga dibutuhkan suatu analisa dalam bentuk pemecah-belahan sesuatu pengertian umum ke pengertian yang menyusunnya, hal ini secara teknis disebut dengan istilah pembagian. Dan selanjutnya diadakan pembatasan arti atau definisi.
Rumusan Masalah
Apa pengertian dari ilmu hukum ?
Apa yang dimaksud logika dan penalaran ?
Bagaimana keterkaitan antara logika dan lmu hukum ?
Apa pengertian dari Argumentasi Hukum ?
Tujuan
Mengetahui dan memahami ilmu hukum
Mengetahui dan memahami logika dan penalaran
Mengetahui dan memahami keterkaitan antara logika dan ilmu hukum
Mengetahui dan memahami Argumentasi Hukum
Manfaat
Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman yang berkaitan tentang Logika dan Penalaran Hukum dan sebagai sumber referensi.
BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu Hukum
Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Sui Generis
Ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, artinya ilmu hukum merupakan ilmu jenis sendiri. Dikatakan ilmu jenis sendiri karena ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Menelaah sifat khas ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu hukum.
Karakter Normatif Ilmu Hukum
Ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif. Dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris. Di sisi lain yuris Indonnesia yang ingin mengangkat derajat keilmuan hukum berusaha mengempiriskan ilmu hukum melalui kajian-kajian sosiologik.
Kajian hukum diempiriskan antara lain dengan merumuskan format-format penelitian hukum yang dilatarbelakangi oleh metode penelitian ilmu sosial yang notaene adalah penelitian empiris dengan demikian kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan antara lain memaksakan format penelitian ilmu sosial dalam penelitian hukum normatif seperti:
Rumusan masalah dalam kalimat Tanya
Kejanggalan pertama yaitu adanya keharusan rumusan masalah dalam kalimat tanya. Kata-kata bagaimana, seberapa jauh, dan lain-lain, dipaksakan dalam rumusan masalah penelitian hukum normatif.
Sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data.
Tanpa disadari bahwa data bermakna empiris, sedangkan penelitian hukum normatif tidak mengumpulkan data.
Populasi dan sampling
Seorang peneliti hukum normatif tidak boleh membatasi kajiannya hanya pada satu undang-undang. Dia harus melihat keterkaitan undang-undang tersebut dengan perundang- undangan lainnya. Dengan demikian populasi dan sampling tidak dikenal dalam penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif seringkali juga diklasifikasikan sebagai penelitian kualitatif karena penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kuantitatif (statistik). Dengan predikat itu penelitian hukum dianggap kurang ilmiah karena tidak kuantitatif, tidak menggunakan statistik. Penelitian hukum normatif semestinya tidaklah diidentifikasikan dengan penelitian kualitatif.
Ada dua pendekatan dalam menetapkan metode penelitian hukum yaitu:
Pendekatan dari sudut falsafah ilmu
Falsafah ilmu membedakan ilmu dari dua sudut pandangan, yaitu pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan normatif yang melahirkan ilmu normatif. Pada satu sisi ilmu hukum dengan karakter aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lain ilmu hukum memiliki segi-segi empiris. Sisi empiris itulah yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurisprudence, dan socio legal jurisprudence.
Pendekatan dari sudut pandang teori hukum
Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum. Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukugan pada praktik hukum. Ketiga lapisan tersebut dan juga praktik hukum masing-masing mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki metode yang khas.
Terminologi Ilmu Hukum
Apabila kita berbicara mengenai terminologi ilmu hukum maka kita akan menelursuri kembali asal kata dasi suatu istilah. Dalam bahasa Belanda, Jerman dan bahasa Inggris digunakan istilah berikut :
Rechtswetenschap (Belanda)
Rechtstheorie (Belanda)
Jurisprudence (Inggris)
Legal science (Inggris)
Jurisprudenz (Jerman)
Kepustakaan bahasa Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum tampaknya begitu saja disejajarkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing seperti dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris.
Jenis Ilmu Hukum
Ditinjau dari segi obyeknya, ilmu hukum dibedakan atas :
Ilmu Hukum Normatif
Ilmu Hukum Empiris
J.J.H. Bruggink menggambarkan perbedaan antara ilmu hukum empiris dengan ilmu hukum normatif sebagai berikut.
Pandangan positivistik:
Ilmu hukum empirik
Pandangan normatif:
Ilmu hukum normatif
Hubungan dasar
Subyek-obyek
Subyek-subyek
Sikap ilmuwan
Penonton (toeschouwer)
Partisipan (doelnemer)
Perspektif
Ekstern
Intern
Teori kebenaran
Korespondensi
Pragmatik
Proposisi
Hanya informatif atau empiris
Normatif dan evaluative
Metode
Hanya metode yang bias diamati pancaindra
Juga metode lain
Moral
Non kognitif
Kognitif
Hubungan antar moral dan hukum
Pemisahan tegas
Tidak ada pemisahan
Ilmu
Hanya sosiologi hukum empiris dan teori hukum empiris
Ilmu hukum dalam arti luas
(J.J.H. Bruggink: 127}.
Lapisan Ilmu Hukum
J. Gijssels dan Marck van Hoecke mengemukakan lapisan ilmu hukum sebagai berikut.
Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah bagian dari filsafat yang mengarahkan refleksinya pada hukum. Dalam posisinya ini, filsafat hukum tidak lagi mempersoalkan hukum positif tertentu, melainkan merefleksi hukum dalam gejalanya yang umum.
Teori Hukum
Medan kajian ilmiah teori hukum adalah analisis bahan hukum, metode, dan kritik ideologikal terhadap hukum.
Dogmatik Hukum
Fungsi dogmatik hukum menurut Meuwissen adalah memaparkan, menganalisis, menyistematisasi, dan menginterpretasikan hukum yang berlaku.
Praktik Hukum
Ketiga lapisan ilmu hukum yang telah dibahas sebelumnya pada akhirnya harus diarahkan pada praktik hukum yang menyangkut dua aspek utama yakni pembentukan hukum dan penerapan hukum. Permasalahan dari segi aspek penerapan hukum antara lain meliputi interpretasi hukum(menafsirkan makna hukum positif), kekosongan hukum atau sering juga disebut rechtsvacuum, kekosongan undang-undang (wet vacuum), antinomi (konflik norma hukum) dan norma yang kabur (vage normen).
Dogmatik hukum (ilmu hukum positif) adalah ilmu hukum praktis. Fungsi ilmu praktis adalah problem solving. Dengan demikian, dogmatik hukum sebagai ilmu hukum praktis tujuannya adalah legal problem solving. Untuk tujuan tersebut dibutuhkan ars, yang merupakan ketrampilan ilmiah. Ars itu dibutuhkan para yuris untuk menyusun legal opinion sebagai output dari langkah legal problem solving. Ars yang dimaksud adalah legal reasoning atau legal argumentation, yang hakekatnya adalah giving reason.
Logika dan Penalaran Hukum
Pertanyaan pokok yang perlu dijawab terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh adalah apakah logika dan penalaran hukum itu? Secara etimologis, logika berasal dari kata Yunani logikos yang berarti “berhubungan dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. Kata Latin logos (logia) berarti perkataan atau sabda. David Stewart dan H. Gene Blocker dalam buku Fundamentals of Philosophy merumuskan logika sebagai thinking about thinking. Patterson merumuskan logika sebagai “aturan tentang cara berpikir lurus” (the rules of straight thinking).
Irving M. Copi dalam buku Introduction to Logic merumuskan logika sebagai ‘ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.
Sementara penalaran adalah kegiatan akal budi dalam memahami makna setiap term dalam suatu proposisi, menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi lain dan menarik kesimpulan atas dasar proposisi-proposisi tersebut. Dengan demikian jelas bahwa penalaran merupakan sebuah bentuk pemikiran. Bentuk pemikiran yang lain adalah pengertian atau konsep dan proposisi atau pernyataan. Pengertian, proposisi, dan penalaran memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Karena penalaran mensyaratkan proposisi dan proposisi mengandaikan pengertian. ‘Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa proposisi’’.
Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) dalam memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum. Dalam penalaran hukum, logika dipahami secara lebih sempit yakni sebagai ilmu tentang penarikan kesimpulan secara valid dari berbagai data, fakta, persoalan, dan proposisi hukum yang ada. Maka istilah ‘penalaran hukum’ (‘legal reasoning’) sejatinya tidak menunjukkan bentuk penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam bidang hukum itu sendiri. Dalam arti ini tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu tentang kaidah berpikir yang tepat dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar logika. Penalaran hukum dengan demikian harus dipahami dalam pengertian ‘penalaran (logika) dalam hukum’.
Prinsip-perinsip penalaran
Perinsip-perinsip penalaran ada empat macam yang terdiri atas tiga perinsip dari Aristoteles dan satu prinsip dari George Leibniz. Perinsip penalaran Aristoteles adalah sebagai berikut :
Prinsip Identitas, prinsip ini dalam atin adalah principum identitas. Prinsip identitas berbunyi “Suatu hal adalah sama dengan halnya sendiri”, dengan kata lain “Sesuatu yang disebut P maka sama dengan P yang dinyatakan itu sendiri, bukan yang lain”
Prinsip Kontradiksi (principum contradiction)
Prinsip kontradiksi berbunyi “sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itudan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama”.
Dengan kata lain “Sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan p dan non-p”.
Prinsip eksekusi tertii (Principum exclusi tertii), yakni perinsip penyisihan jalan tengah atau perinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip eksekusi tertii berbunyi “Sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah”. Dengan kata lain “sesuatu X mustahil P atau non-P tidak ada kemungkinan ketiga”. Arti dari perinsip ini adalah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda. Meskilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya, sifat p atau non-p.
Perinsip cukup alasan (principium rationalis sufficientis) yang berbunyi “suatu perubahan yang terjadi pada suatu haltertentu mestilah berdasarkan lasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubahtanpa sebab yang mencukupi”, dengan kata lai, “ Adanya sesuatu itu harusnya mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu.
Menggunakan Logika Dalam Penalaran Hukum
Ada dua cara berpikir yang dapat kita gunakan untuk mendapatkan kebenaran yaitu melalui metode induksi dan deduksi.
Induksi
Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Penalaran ini dimulai dari kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus dan terbatas dan diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “Proses berpikir induksi adalah berdasarkan proposisi khusus ke proposisi umum”.
Contoh :
Besi dipanaskan memuai.
Seng dipanaskan memuai.
Emas dipanaskan memuai. --- Simpulan : Jadi, semua logam jika dipanaskan memuai.
Contoh lain :
Si A karena kealpaannya sehingga menyebabkan orang lain mati, diancam dengan hukuman penjara (kurungan) paling lama lima tahun.
-Si B karena kealpaannya sehingga menyebabkan orang lain mati, diancam dengan hukuman penjara (kurungan) paling lama lima tahun.
-Si C karena kealpaannya sehingga menyebabkan orang lain mati, diancam dengan hukuman penjara (kurungan) paling lama lima tahun.
Simpulan : Jadi, setiap orang (semua orang) karena kealpaannya sehingga menyebabkan orang lain mati, diancam dengan hukuman penjara (kurungan) paling lama satu tahun.
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik kesimpulan umum dari berbagai kasus yang bersifat individual, selain itu metode induksi ialah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu dengn jalan menarik kesimpulan yang bersifat umum atau bersifat lebih umum berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus. Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi.
Kehidupan yang beranekaragam dengan berbagai corak dan segi dapat direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta melainkan esensi dan fakta-fakta tersebut. Demikian juga dalam pernyataan mengenai fakta yang dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan kepada struktur dasar yang menyangga wujud fakta tersebut. pernyataan bagaimanapun lengkap dan cermatnya tidak bisa mereproduksikan betapa manisnya semangkuk kopi atau pahitnya sebutir pil kina. Pengetahuan cukup puas dengan pernyataan elementer yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan pil kina itu pahit. Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoritis.
Keuntungan yang kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah dimungkinkan proses penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun deduktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat lebih umum lagi. Melihat dari contoh bahwa semua binatang mempunyai mata dan semua manusia mata, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua makhluk mempunyai mata. Penalaran ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fudamental.
Deduksi
Deduksi adalah kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari penalaran induksi. Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus atau dengan kata lain “Proses berpikir deduksi adalah berdasarkan proposisi umum ke proposisi khusus”.
Logika deduksi merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat umum. Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuk saja.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir yang dinamakan silogismus. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis tersebut. Logika deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini di antara suatu kelompok barang sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pertnyaan-pertanyaan yang lebih dahulu diajukan. Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang menarik.
Keterkaitan Logika dan Ilmu Hukum
Berkaitan dengan hukum dan logika, teori hukum membahas ragam kegunaan logika dalam memecahkan permasalahan hukum. Logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berfikir lurus. Berfikir adalah objek materil dari logika, dengan berfikir manusia mengolah segala pengetahuan dan pengalamanya dan dengan mengolah pengetahuan seperti itu, manusia akhirnya memperoleh kebenaran. Dengan demikian secara singkat dapat dipahami bahwa logika adalah cara berpikir untuk membangun penalaran. Dalam konteks teori hukum adalah cara berfikir lurus dalam hukum untuk membangun penalaran hukum.
Kegunaan logika dalam ilmu hukum adalah untuk mengupayakan pernyataan-pernyataan yang intersubjektif dari para sejawat hukum menjadi pernyataan yang objektif (setidaknya mendekati objektif) yakni pernyataan yang dapat diterima oleh akal sehat. Tindakan untuk mengobjektifkan kebenaran hukum lazimnya disebut dengan memahami hukum dengan daya nalar “Atau penalaran hukum”.
Logika hukum adalah logika yang diterapkan dalam hukum. Hans Kelsen bahwa logika hukum adalah logika biasa yang diterapkan pada proposisi-proposisi deskriftif dari ilmu hukum. Persis sama ia diterapkan sejauh logika memeang aplikabel disini ada norma-norma persfektif dari hukum. Pada sisi lain J.W. Harris membenarkan apa yang telah dikemukakan oleh Kant menurut Harris ada empat perinsip yang dimaksudkan Hrris yang merupakan logika yang digunakan dalam Ilmu Hukum.
Eksklusi, yaitu asas yang digunakan Ilmu Hukum mengandaikan sejumlah suber legislatif tertentu bagi sisitem, yang dengan itu mengidentifikasi sisitem hukum tersebut.
Subsumsi, adalah asas yang dengan ilmu hukum menetapkan hubungan herarkis diantara aturan-aturan hukum berdasarkan sumber legislatif yang lebih tinggi dan lebih rendah.
Derogasi, yaitu asas yang berdasarkan ilmu hukum menolak sebuah aturan, atau sebagian dari sebuah aturan, karena konflik dengan aturan lain yang bersumber dari sumber legislatif yang lebih tinggi
Non-Kontradiksi adalah asas yang berdasarkan ilmu hukum menolak kemungkinan pemaparan sisitem hukum yang didalamnya orang dapat mengafirmasi eksistensi sebuah kewajiban dan pada saat yang sama non eksistensi terhadap kewajiban yang meliputi situasi tindakan yang sama pada kejadian yang sama.
Empat asas ini adalah logika standar dalam ilmu hukum, yang merupakan suatu kegiatan disiplin akal budi yang sangat diperlukan dalam praktik hukum. Dalam disiplin ilmu hukum asas Derogasi yang diuraikan haris tersebut diatas sebenarnya mengacu pada asas yang dinamakan “Lex Superior Deragot Legi Inferiori”. Dengan demikian dikatakan bahwa logika adalah suatu sarana yang diperlukan guna membangun struktur logikal dalam memasuki wilayah atura perundang-undangan yang jumlahnya semakin bertambah dari hari ke hari.
Suatu pandangan yang cukup banyak penganutnya di kalangan para yuris adalah bahwa terdapat suatu relasi yang istimewa dan erat antara hukum dan logika. Bahwa “Sifat logis” adalah suatu sifat khusus dari hukum, yang berartidari relasi-relasi timbal balik mereka norma-norma dari hukum seseuai dengan asas-asas dari logika ini mengandaikan bahwa asas-asas itu khususnya hukum non kontradiksidan aturan infrensi adalah dapat diterapkan pada norma-norma pada umunya dan norma-norma hukum pada khususnya.
Oleh yuris hal ini dianggap sudah jelas dengan sendirinya (self evident). Suatu konflik antar norma, yakni suatu situasi dimana dua norma adalah sah (valid), dimana yang satu memerintahkan serangkaian tingkah laku tertentu, dan yang lain serangkaian tingkah laku tertentu, dan yang lain serangkaian tingkah laku bertentangan (inkompatibel) dengan yang diperintahkan oleh yang disebut pertama tadi, dipandang sebagai kontradiksi logikal.
Argumentasi Hukum
Secara harfiah, argumentasi hukum berasal dari istilah argumenteren (Belanda), atau argumentation (Inggris), yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam argumentasi hukum atau nalar hukum. Argumentasi hukum bukan merupakan bagian dari logika, namun merupakan bagian dari teori hukum. Hal ini karena ilmu hukum adalah ilmu yang memiliki kepribadian khas (suigeneris). Argumentasi hukum yang disebut juga dengan legal reasoning merupakan suatu proses berpikir yang terikat dengan jenis hukum, sumber hukum, dan jenjang hukum.
Astri Wijayanti, berpendangan bahwa argumentasi hukum adalah suatu hasil proses berpikir yang dibutuhkan oleh setiap ahli hukum, calon ahli hukum, atau penegak hukum. Mereka secara umum dapat dibedakan dalam kelompok akademisi dan praktisi. Pada kelompok akademisi meliputi dosen, mahasiswa, dan peneliti. Adapun kelompok praktisi meliputi hakim, jaksa, polisi, notaris, dan advokat.
Pemahaman dan penguasaan argumentasi hukum juga tidak bisa dielakkan oleh kalangan praktisi hukum yang meliputi hakim, jaksa, polisi, notaris, dan advokat, yang sering juga disebut penegak hukum. Misalnya, polisi sebagai penyidik. Pemahaman argumentasi sangat dibutuhkan. Apabila sejak dini polisi (yang di antaranya masih terdapat yang belum Sarjana Hukum) sudah dibekali pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang ilmu hukum dan argumentasi hukum, maka kedepannya dapat diharapkan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat akan lebih efisien dan efektif di dalam proses penegakan hukum, oleh karena akan mengurangi tingkat kesalahan isi dari sebuah BAP.
Kesalahpahaman Terhadap Peran Logika
Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis, merumuskan suatu argumentasi secara cepat. Teori argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional. Isu utama adalah adakah kriteria universal dan kriteria yuridis yang spesifik yang menjadikan dasar rasionalitas argumentasi hukum? Suatu tradisi yang sudah sangat lama dengan argumentasi hukum adalah pendekatan formal logis. Untuk analisa rasionalitas proposisi dikembangkan tiga model logika yaitu: 1. Logika silogistis, 2. Logika proposisi, 3. Logika predikat. Untuk analisa penalaran dokembangkan logika dionistis. Diantara para penulis memang terdapat perbedaan pendapat mengenai peran logika formal dalam argumentasi hukum, seperti contoh MacCormick, logika hanya mempunyai peran terbatas, bahkan ada yang berpendapat logika tidak penting, seperti Perelman dan Toulmin.
Kesalahpahaman terhadap peran logika terutama berkaitan dengan keberatan terhadap penggunaan logika silogistik (sylogistische logica). Terjadinya kesalah pahaman karena pendekatan tradisional dalam argumentasi hukum yang mengandalkan model sillogisme.
Kesalahpahaman yang kedua berkaitan dengan peran logika dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim dan pertimbangan-pertimbanga yang melandasi putusan.
Kesalahpahaman yang ketiga berkaitan dengan alur logika yang formal dalam menarik suatu kesimpulan.
Kesalahpahaman yang keempat, logika tidak berkaitan dengan aspek substansi dalam argumentasi hukum.
Kesalahpahaman yang kelima, menyagkut tidak adanya kriteria formal yang jelas tentang rasionalitas nilai didalam hukum.
Hal yang sama juga dipaparkan oleh R.G Soekadijo tentang logika. Kata “logika” sebagai istilah, berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketetapan penalaran. Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang jelas mengenai penalaran. Penalaran adalah suatu jenis kegiatan(atau keadaan kesadaran) yang dapat dibedakan dengan jenis lainnya, seperti mimpi, imajinasi, ingatan, intuisi, membayangkan, mengamati, menginderai, menekan perasaan, melarang, mengontrol, menyeleksi, menipu. Secara sederhana penalaran dalam penelitian ini lebih diartikan sebagai proses atau kegiatan berfikir. Produk dari penalaran ini disebut keputusan (kesimpulan, konklusi, argument). Adapun bentuk-bentuk pemikiran lain, mulai yang paling sederhana ialah: pengertian atau konsep (concept), proposisi atau pernyataan (statement) dan penalaran (reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian konsep dan tidak ada pengertian tanpa proposisi. Maka untuk memahami bentuk penalaran ketida pemikiran tersebut harus dipahami bersama-sama.
Kesesatan (Fallacy)
Kesesatan dalam penalaran bisa terjadi karena yang sesat itu, karena sesuatu hal, kelihatan tidak masuk akal. Kalau orang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan ia sendiri tidak terlihat kesesatannya, penalaran itu disebut paralogis. Kalau penalaransesat itu dengan sengaja digunakan untuk menyesatkan orang lain, maka ini disebut sofisme. Penalaran dapat sesat karena bentuknya tidak sahih (tidak valid), hal itu terjadi karena pelanggaran, terhadap kaidah-kaidah logika.
Penalaran juga dapat sesat karena tidak ada hubungan logisantara premis dan konklusi. Kesesatan demikian ini adalah kesesatan relevansi mengenai materi penalaran. Model kesesatan yang lain adalah kesesatan karena bahasa. Selanjutnya untuk menggambarkan kesesatan dalam penalaran hukum R.G. Soekadijo memaparkan lima model kesesatan hukum, yaitu:
Argumentum ad ignorantium
Kesesatan ini terjadi apabila orang mengargumentasi suatu proposisi sebagai benar karena tidak terbukti salah atau suatu proposisi salah karena tidak terbukti benar.
Dalam bidang hukum, argumentum ad ignorantium hal itu dimungkinkan oleh hukum acara dalma bidang hukum tersebut. Contoh: dalam pembuktian hukum perdata Pasal 1865 KUHPer: penggugat harus membuktikan kebenaran dalilnya, sehingga jika tidak dapat membuktikan gugatan dapat ditolak.
Argumentum ad verecumdiam
Menolak atau menerima suatu argumentasi bukan karena nilai penalarannya, tetapi karena orang yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa, berkuasa, ahli, dapat dipercaya. Contoh: untuk kriteria perbuatan melanggar hukum oleh penguasa, sebagai yurisprudensi tetap dianut putusan Mahkamah Agung No. 838 K/Sip/1972 yang terkenal dengan sebutan kasus Yosopendoyo.
Argumentum ad hominem
Menolak atau menerima suatu argumentasi atau usul bukan karena penalaran, tetapi karena keadaan orangnya. Dalam bidang hukum, argumentasi demikian bukan kesesatan apabila digunakan untuk mendiskredikan seorang saksi yang pada dasarnya tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya. Contohnya menolak pendapat seseorang karena dia orang Negro.
Argumentum ad misericordiam
Suatu argumentasi yang bertujuan untuk menimbulkan belas kasihan. Dalam bidang hukum, argumentasi semacam ini tidak sesat apabila digunakan unutk meminta keringan hukuman. Akan tetapi apabila digunakan untuk pembuktian tidak bersalah, hal itu merupakan suatu kesesatan. Contohnya: klementia dalam pledooi.
Argumentum ad baculum
Menerima atau menolak suatu argumentasi hanya karena suatu ancaman. Ancaman itu membuat seorang takut. Dalam bidang hukum, cara itu tidak sesat apabila digunakan untuk mengingatkan orang tentang suatu ketentuan hukum. Contohnya: di Surabaya di seluruh pojok kota dipasang papan kuning yang berisi ancaman bagi pelanggar PERDA KEBERSIHAN.
BAB III
KESIMPULAN
Ilmu hukum sebagai ius generalis merupakan ilmu jenis sendiri, Menelaah sifat khas ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu hukum. Dalam ilmu hukum memerlukan logika sebagai ‘ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah. Sementara penalaran adalah kegiatan akal budi dalam memahami makna setiap term dalam suatu proposisi, menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi lain dan menarik kesimpulan atas dasar proposisi-proposisi tersebut.
Perinsip-perinsip penalaran diantaranya ada identitas, kontradiksi, eksekusi tertii, dan alasan cukup. Terdapat du acara dalam menggunakan logika penalaran hukum yaitu pertama Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual dan Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus.
Argumentasi hukum adalah suatu hasil proses berpikir yang dibutuhkan oleh setiap ahli hukum, calon ahli hukum, atau penegak hukum. Mereka secara umum dapat dibedakan dalam kelompok akademisi dan praktisi. Pada kelompok akademisi meliputi dosen, mahasiswa, dan peneliti. Adapun kelompok praktisi meliputi hakim, jaksa, polisi, notaris, dan advokat.
Comments
Post a Comment