Hukum dan Justifikasi Deduksi
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketika seorang peneliti menetapkan merumuskan masalah dan mengidentifikasi masalah maka ia melihat kesenjangan antara kenyataan dan harapan, la menyusun pendekatan masalah untuk pegangan deskriptif baik khusus maupun umum dengan menganalisis unsur ciri, sifat, proses dan fungsi golongan, kategori dan klasifikasi dari fenomena-fenomena. Pada tahap ini ia berpikir menggunakan logika Induktif. Lalu ketika merumuskan kerangka pikiran dalam penelitian dan merumuskan hipotesis peneliti menggunakan logika deduktif. Hipotesis ini kemudian diuji oleh peneliti secara empiris dengan mengumpulkan dan mengolah data dan fakta yang kemudian menghasilkan teori. Pada saat pengujian hipotesis dan teori perumusan logika induktif lah yang digunakan para peneliti. Demikianlah logika induktif dan deduktif yang digunakan dalam tahapan atau metode penelitian ilmiah.
Jadi, penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah tersebut dapat digunakan dan dilaksanakan dalam suatu wujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika.
Rumusan Masalah
Apa pengertian dari logika penalaran deduktif?
Bagaimana unsur-unsur yang terdapat pada logika penalaran deduktif?
Bagamaimana batas justifikasi deduksi?
Tujuan
Untuk mengetahui pengertian logika penalaran deduktif.
Untuk mengetahui unsur-unsur yang terdapat pada logika penalaran deduktif.
Untuk mengetahui batas justifikasi deduksi.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Logika Deduktif
Deduksi berasal dari bahasa Inggris Deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan umum, menemukan yang khusus dari yang umum. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Jalan pemikiran yang deduktif ini adalah yang paling masyhur yang dikemukakan pikir Inggris John Stuart Mill (1806 1873) kesulitannya adalah sebagai berikut: Kesimpulan khusus yang di capai oleh orang demi deduksi itu mungkin telah ada terdapat pada putusan umum yang mendahuluinya atau tidak. Kalau telah tercantum maka untuk apa memakai deduksi, Jika sekiranya kesimpulan itu diberikan pada putusan (umum) yang mendahului nya, maka akan sia-sia jalan pikiran kita, sebab yang tentu kita takkan menghasilkan sesuatu. Bagaimana pun kesimpulan yang merupakan putusan khusus itu, tersimpulkan pada putusan umum apa tidak, jalan pikiran tak beralasan.
Jadi, logika deduktif adalah merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang bersifat deduktif yaitu suatu penalaran yang merumuskan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikiran sehingga bersifat betul menurut bentuk dan bekerjanya akal yakni runtutannya serta kesesuiannya dengan langkah-langkah dan aturan-aturan yang berlaku sehingga penalaran yang terjadi adalah tepat.
Unsur-Unsur Logika Deduktif
Logika deduktif harus mempunyai tiga komponen utama, yaitu:
Harus terdiri dari premis (mukadimah) mayor, premis minor dan konklusi. Premis mayor adalah kesimpulan umum yang telah ada dalam pikiran.
Semua orang akan mati. Ini merupakan putusan umum. Putusan ini di capai orangdari induksi, terutama dalam praktek. Secara filsafat mungkin dapat di tinjau a priori.
Premis minor adalah satuan-satuan dari kategori umum dengan syarat bahwa satuan itu tidak merupakan pengecualian dari premis mayor. Kalau tidak pengecualian, otomatis premis minor sama dengan premis mayor.
Si X itu manusia. Ini putusan khusus, hanya saya ngenai si X saja. Putusan ini tidak timbul dari putusan pertama, bukanlah ini kesimpulan; ia berdampingan atau memang didampingkan dengan putusan pertama tersebut.Karena sudah jelas. Dalam menghadapi objek yang di-panggil si X ini orang tahu dengan langsung dan jelas, itu manusia. Putusan itu diambil orang demi kejelasannya (bukti).
Konklusi, kesimpulan adalah komponen yang dituju dari penalaran termasuk penalaran deduktif ini. Kalau dua putusan pertama memang sudah di dampingkan dan dihubungkan, maka dengan sendirinya muncul putusan 'si X akan mati'. Boleh disebut putusan tiga (yang berlaku khusus) itu ditarik dari putusan (dua) yang mendahuluinya, jadi demi tindakan budi yang kami sebut jalan pikiran.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola pikir silogisme yang secara sederhana digambarkan sebagai penyusunan dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogisme disebut premis yang kemudian dapat di bedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang di dapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut.
Deduksi biasanya digunakan untuk menunjukan kepada macam-macam penalaran yang kesimpulannya berasal dari premis-premis secara niscaya. Deduksi dapat berlangsung dari general ke general, atau particular ke particular. Pandangan ini dapat di perinci sebagai berikut:
• Penalaran dari suatu kebenaran umum kesuatu hal (contoh)khusus dari kebenaran itu. Contoh: “semua manusia mati. Endang adalah manusia. Maka, Endang mati.”
• Proses membuat implikasi-implikasi logis dari pernyataan-pernyataan atau premis-premis menjadi eksplisit.
• Proses penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan (premis-premis) dimana tercapai suatu kesimpulan yang pasti betul dengan aturan-aturan logika. Berbeda dengan induksi.
Penjelasan di atas memastikan bahwa deduksi merupakan penarikan kesimpulan dari keadaan yang umum atau penemuan yang khusus dari yang umum. Metode deduksi adalah prose penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum yang disebut dengan premis untuk mencapai kesimpulan yang logis. Dalam metode deduksi, pembuktian terhadap suatu kebenaran baru, berasal dari kebenaran yang sudah ada dan diketahui sebelumnya. Sehingga kebenaran baru tidak terpisah dari kebenaran sebelummya.
Pola deduktif dalam penerapan aturan hukum terhadap fakta suatu kasus disebut, dengan cara yang agak kuno yaitu dengan sebuah silogisme, dan seharusnya melibatkan hal-hal berikut:
Premis Major: Aturan hukum yang berlaku untuk kasus yang dihadapi.
Premis Minor: Fakta-fakta yang relevan secara hukum dalam kasus spesifik yang ada.
Kesimpulannya: Putusan pengadilan. (dalam kasus perdata, kesimpulannya mungkin tentang apakah penyelesaian hukum sesuai atau tidak; dalam kesimpulan kasus pidana mungkin tentang hukuman)
Contoh dalam permasalahan hukum:
“Semua pencuri harus di hukum. Lambertus adalah pencuri. Lambertus harus di hukum.” Konsep ini tentu dapat di tarik ketika di konstruksikan dalam pasal-pasal tertentu dalam undang-undang.
Deduksi dalam hukum awal dengan identifikasi aturan hukum, dalam identifikiasi hukum kadang-kadang dijumpai keadaan aturan hukum sebagai berikut:
• Kekosongan hukum
• Konflik norma hukum
• Norma hukum yang kabur
Dalam menghadapi kekosongan hukum, orang berpegang asas curia novit. Dengan asas ini, hakim dianggap tahu hukum, ia tidak boleh menolak suatu perkara yang di ajukan padanya dengan alasan tidak ada aturannya atau aturan tidak jelas, melainkan ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Jika konflik hukum, orang berpegang pada asas penyelesaian konflik undang-undang, yaitu asas lex posterior de gorat legi priori (undang-undang yang belakangan menyalahgunakan yang terdahulu); asas lex specialist degorat legi generalis (undang-undang yang khusu mengalahkan undang-undang yang umum); dan asas lex superior degorat legi inferior (undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah). Jika norma hukum yang kabur, orang berpegang pada metode hermeneutic (interpretasi-penafsiran).
Batas Justifikasi Deduksi
Neil MacCornick mengetengahkan tentang batas Justifikasi deduksi. Tidak semua aturan hukum dan tidak semua produk legislative di rumuskan dalam bentuk verbal yang tepat, yang di harapkan memberikan jawaban yang jelas terhadap persoalan hukum praktis. Hampir setiap peraturan hukum menunjukan hubungan yang membingungkan dan tidak jelas dalam berbagai sengketa. Aturan hukum yang dirumuskan dalam bahasa, seringkali merupakan rumusan yang terbuka maupun rumusan yang kabur. Sengketa praktis dapat di selesaikan secara deduksi setelah menginterprestasikan aturan hukum dengan rumusan yang terbuka atau kabur tersebut. Singkatnya aturan hukum, dalam rumus yang membingungkan dan hanya dapat di terapkan apabila kebingungan itu sudah teratasi.
Dalam menghadapi norma hukum yang demikian maka di butuhkan langkah rechsvinding, yang tidak cukup dengan 3 model yang di kemukakan oleh Montesquieu.
Tiga tipe rechstvinding menurut Montesqieu, yaitu:
1. Hakim adalah corong undang-undang (hakim menerapkan UU dan melaksanakan secara harfiah).
“LES JUGES DELANATION NE SONT QUE LES BOUCHES QUI PRONONCENT LES PAROLES DE LA LOI., DES ETRES INANIMES QUI N’EN PEUVENT MODERER NI LA FOR CE NI RIGUEUR” (setiap hakim harus mengatakan sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang atas segala kegiatan atau aktivitasnya agar tidak terjebak dalam situasi yang kacau).
Ungkapan senada dalam bahasa Belanda mengatakan “RECHTERS ALS SPEEKNUIS DER WET, ALS WETSVERTOLKERS EN ALS GOEDE MANNEN OORDELEND NAAR BILIJKHEID”(hakim sebagai corong undang-undang, sebagai penerjemah undang-undang dan sebagai orang-orang yang baik yang menilai dari sudut keadilan).
2. “DANS LES ETATS MONERCHIQUES IL YA UNE LOL LA OU ELLE EST PRECISE LE JUGE LA SUIT. LA OU ELLE NE L’EST PAS, IL EN CHERCHE L’ESPRIT” (didalam Negara monarki suatu undang-undang, yang menjadi pedoman bagi para hakim. Jika pedoman itu tidak ada, undang-undang menjadi jiwa spirit untuk mencarinya).
3. Interpretasi menurut jiwa (ESPRIT) UU.
Jadi hakim tidak hanya SPREEKBUIS VAN WET (corong atau terompet undang-undang), tetapi juga sebagai VERTOLKER (interpreter).
Setelah kodifikasi Prancis, yang di prakasai oleh Portalis, suatu reaksi yang kuat terhadap kodifikasi adalah bahwa UU tidak sempurna karena membentuk UU tidak dapat melihat semuanya bahkan tidak dapat meramalkan semuanya dank arena itu adalah suatu pilihan “I” arbitrage des jugwa.
Ada perbedaan antara tugas pembentuk UU dan tugas hakim. Tugas pembentuk UU adalah hanya merumuskan aturan umum, sedangkan tugas hakim adalah tidak hanya menerapkan UU, perbuatan factual. Sejalan dengan itu patut di perhatikan apa yang di katakana oleh Paul Scholten tentang Open system van het recht (sistem terbuka hukum) bahwa setiap putusan hakim sebagai unsure yang mandiri selalu menemukan sesuatu yang baru.
Model rechstvinding yang di anut dewasa ini, seperti yang di kemukakan antara lain oleh J.J.H Bruggink dalam bukunya Op zoek naar het recht (Rechtsvinding in rechtstheoretisch perspetief) yang meliputi metode interpretasi (interpretatiemethoden) dan model penalaran (redeneerweijzen) atau kontruksi hukum.
Model penalaran atau kontruksi hukum terdiri atas nalar analogi dan gandengannya (spiegelbeeld) a-contrario dan di tambah bentuk ketiga oleh P. Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Soedikno M. disebut penyempitan hukum.
Ada berbagai macam interpretasi. Bruggink mengelompokannya dalam 4 model yaitu:
1. Interpretasi bahasa (de taalkundige interpretatie).
2. Historis undang-undang (de wetshistorissche interpretatie).
3. Sistematis (de systematische interpretatie).
4. Kemasyarakatan (de maatshappelijke interpretatie).
Dalam kaitannya dengan interprestasi, menarik untuk di simak prinsip Contextualism dalan interprestasi seperti yang di kemukakan oleh Ian McLeod, dalam bukunya Legal Method. McLeod mengemukakan 3 asas dalam Contextualism yaitu:
1. Asas Noscitur a Soclis
Suatu hal di ketahui dari associatednya. Artinya suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya.
2. Asas Ejusdem Generis
Artinya sesuai dengan genusnya, artinya satu kata di batasi makna secara khusus dalam kelompoknya.
Contoh: konsep hukum administrasi belum tentu sama maknanya dalam hukum perdata dan hukum pidana.
3. Asas Expressio Unius Exlusio Alterius
Artinya, kalau satu konsep digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untuk hal lain.
Contoh: kalau konsep rechtmatigheid sudah di gunakan dalam hukum tata usaha Negara, maka konsep yang sama belum tentu berlaku untuk kalangan hukum perdata atau hukum pidana.
Interpretasi sebetulnya sudah di lakukan oleh kelompok Scholastika dalam upayanya memahami Codex Juris Civilis (kitab Undang-undang Perdata).
Ada 5 langkah dalam metode analisis:
1. Exposition per modum questions et sontentia (mengajukan pertanyaan)
2. Exposition Literae ( interpretasi).
3. Dialectica (investigasi) dengan model dialektik dan antithesis.
4. Division (klasifikasi), distinction (pembedaan), disputatio (debat) dan pada akhirnya menarik hal khusus yang berkaitan dengan Logica Nova (new logic).
Dengan metode demikian, pengetahuan hukum di pandang sebagai suatu sistem tertutup, dengan begitu jelas beda dengan teknik ilmiah.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pada penalaran deduktif menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Metode ini diawali dari pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
· Penarikan simpulan secara langsung
Simpulan secara langsung adalah penarikan simpulan yang ditarik dari satu premis. Premis yaitu prosisi tempat menarik simpulan.
· Untuk penarikan simpulan secara tidak langsung diperlukan dua premis sebagai data. Dari dua premis tersebut akan menghasilkan sebuah simpulan. Premis yang pertama adalah premis yang bersifat umum dan premis yang kedua adalah premis yang bersifat khusus.
Saran
Setelah kita telah mempelajari teknik penalaran ini , kami dapat memahami konsep dari penalaran yaitu yang bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah, dan mengetahui jenis- jenis penalaran.
Kami menyadari bahwa makalah ini tentunya masih banyak terdapat kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Oleh karena itu kami harapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian yang sifatnya membangun, demi menuju kesempurnaan makalah-makalah kami yang akan datang. Atas kritik dan saran saudara kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Karomani. Logika. Yogyakarta:Graha Ilmu.2009.
Poedjawijatna, I.R. Logika Filsafat Berfikir.Jakarta:PT Rineka Cipta.2004.
Affan,Afraniati.Logika Dasar. Padang:Hayfa press.2009.
Agus,Bustanuddin.Berpikir Integratif:Logika Kaffah dan Tauhidy.Depok: Universitas Indonesia.2017.
Fajlurrahman Jurdi,Fajlurrahman.Logika Dasar.Jakarta: Kencana.2017.
M.Hadjon,Philipus dan Tatiek Sri Djatmiati.Argumentasi Hukum.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.2017.
Savellos,Elias E and Richard F Galvin.Reasoning and the law:the elements. Canada:Wadsworth publishing.2000.
Comments
Post a Comment