PELAKSANAAN PUTUSAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang 
Pengadilan yang baik adalah pengadilan yang mandiri, netral, kompeten, transparan dan akuntebel, mampu menegakkan wibawa hukum,  pengayoman hukum,  kepastian dan keadilan, merupakan syarat bagi duatu negara yang berdasarkan pada hukum. 
Hakim sebagai actor utama dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, kecerdasan moral, dan professional dalam menegakkan hukum dan keadilan dalam wujud putusannya. Putusan hakim harus selalu dapat dipertanggung jawabkan kepada tuhan yang maha esa dan kepada masyarakat khususnya mereka para pencari keadilan. Tugas utama bagi hakim adalah menerapkan hukum oada kasus konkret dalam wujud putusan. 
Ruang kebebasan hakim yang diberikan oleh negara meliputi kebebasan mengadili, kebebasan dari campur tangan pihak luar, kebebasan berekspresi dalam ragka pengembangan hukum praktis, kebebasan menggali nilai – nilai hukum sesuai rasa keadilan masyarakat, termasuk kebebasan  menyimpangi ketentuan hukum tertulis jika dinilai tidak adalagi sesuai rasa keadilan masyaralkat.
Namun kebebasan hakim disini bukan berarti bebas tanpa batas, karena dasar-dasar hukum yan diterapkan tidak boleh berentangan dengan ideology negara, tidak boleh ertentangan dengan undang-undang yang sederajat, futuristic, harus melindungi hak asasi manusia (HAM), dan mengamanatkan keadilan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaiman pelaksanaan putusan pengadilan agama?
2. apa saja jenis-jeis pelaksanaan putusan di pengadilan agama?
3. apa saja putusan yang dapat di eksekusi?
4. bagaimana tata cara sita eksekusi?

C. Tujuan
1. untuk mengetahui tentang pelaksanaan putusan pengadilan agama.
2. untuk mengetahui Jenis-jenis pelaksanaan suatu putusan.
3. untuk mengetahui bentuk putusan yang dapat di eksekusi
4. untuk mengetahui proses tata cara sita eksekusi.






BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Putusan
       Putusan disebut vonnis (Belanda) atau al qada 'u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu "penggugat" dan "tergugat". Produk Pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan "produk peradilan yang sesungguhnya" atau jurisdictio cententiosa. 
Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata) selalu memuat perintah dari Pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi diktum vonis selalu bersifat condemnatoir artinya menghukum, atau bersifat constitutoir artinya menciptakan.

Perintah dari Pengadilan ini, jika tidak diturut dengan sukarela dapat diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa yang disebut di eksekusi. 
Sedangkan pengertian putusan dapat ditemukan dalam penjelasan pasal 60 UU No. 7/ 1989). Yaitu keputusan pengadilan atas perkara gugatan. Menurut Drs. H. A. Mukti Arto SH. Ialah dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan. Hematnya putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka sebagai suatu produk pengadilan agama sebagai hasil dari suatu pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. 

2. Bentuk Putusan Peradilan Agama 
1. bentuk penetapan (beschikking)
Kapan suatu putusan pengadilan agama disebut berbentuk penetapan ditegaskan dalam penjelasan pasal 60. Menurut penjelasan ini yang disebut dengan penetapan adalah putusan pengadilan atas perkara “permohonan”. Jadi, bentuk penetapan bekaitan erat dengan sifatv atau corak gugat. Putusan penetapan menyesuaikan diri dengan sifatgugat permohonan. 
Gugat permohonan adalah gugat yang bersifat volunteer degan ciri dan berbagai asas yang melekat padadirinya. Mengenai asas yang melekat pada putusan penetapan, pertama, asas kebenaran yang melekat pada putusan hanya “kebenaran sepihak”. Artinya, kebenaran yang terkandung didalam penetapan hanya kebenaran yang bernilai unutk diri pemohon. Dari asas ini timbul asas lain yaitu kekuatan mengikat penetapan hanya berlaku pada diri pemohon. Asas ketiga adalah Putusan penetapan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian kepada pihak manapun. Asaas selanjutnya putusan penetapan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Amarnya hanya bersifat deklaratoir.

2. bentuk “Putusan”
Bentuk keputusan pengadilan agama yang lain ialah “putusan” yang dimaksud dengan keputusan yang bebrbentuk putusan dalam pasal 60 adalah “keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa”. Lazimnya ugatan yang bersifat sengketa atau yang mengandung sengketa biasa disebut dengan contentiosa. Dari gugat contentiosamenurtu penjelasan pasal 60, diproduksi penyelesaian atau settlement yang bebrbentuk “putusan”.
Tentang permsalahan gugat contentiosa sudah dibicarakan secara ringkas pada waktu menguraikan hal-hal yang berkenaaan dengan gugatan, oleh karena itu, uraian mengenai keputusan yang berbentuk putusan sekaligus meliputi apa yang telah diterangkan pada bagian tersebut. Setiap gugatan yang bersifat contentiosa pada prinsipnya akan mewujudkan putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir dan berkekuatan eksekutorial.
Putusan harus memiliki sifat-sifat berikut:
Bersifat partai
Bersifat contradictoir(timbal balik)
Bersifat condemnatoir (menghukum)
Mengikat kepada para pihak
Putusan mempunyai nilai kekuatan pembuktian
Putusan mempunyai kekuatan eksekutorial.

3. Macam-macam putusan
HIR tidak mengaturnya secara tersendiri, diberbagai literatur pembagian macam atau jenis putusan tersebut terdapat keanekaragaman. Tentang macam-macam putusan ini tidak terdapat keseragaman dalam penjabarannya. Menurut Abdul Mukti A, macam-macam putusan sebagai berikut:

Putusan dapat dilihat dari empat segi pandang, diantaranya:
1. Fungsinya dalam mengakhiri perkara. 
a. Putusan Akhir ialah putusan yang mengakhiri pemerksaan dipersidangan baik yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahap pemeriksaan. 
b. putusan sela ialah putusan yang djatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. Putusan sela tida embgakhiri proses pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah jalannya pemeriksaan.  

2. Hadir tidaknya para pihak.
a. Putusan Gugur ialah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemphpn tidak hadir. Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahn ya sebelum tahap pembacaan gugatan/permohonan.
b. putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak hadir meskiputn telah dianggil secara resmi. 
c. putusan contradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat djatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri oleh salah satu pihak atau para pihak. 

3. Isinya terhadap gugatan/perkara 
a. putusan tidak menerima ialah putusan yang menyatakan bahwa hakim menolak suatu gugatan atau permohinan dikarenakan gugatan tau permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formil maupun materil.
b. putusan menolak gugatan seluruhnya dimana hal ini terjadi jika dallil-dalil dari penggugat tida terbukti.
c. putusan mengabulkan gugatan sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya
d. putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya. Putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan gugatan mengandung petitum yang sudah terbukti.


4. Sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan
a. deklaratoir (pernyataan)
b. konstitutif (menciptakan)
c. kondemnatoir (menghukum).
4. Isi putusan 
Bila diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, mulai dari halaman pertama sampai halaman terakhir, bentuk dan isi putusan Pengadilan Agama secara singkat adalah sebagai berikut:
a. Bagian kepala putusan.
b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara.
c. Identitas pihak-pihak.
d. Duduk perkaranya (bagian posita).
e. Tentang pertimbangan hukum.
f. Dasar Hukum.
g. Diktum atau amar putusan.
h. Bagian kaki putusan.
i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya.
- Bagian kepala putusan
Bagian ini memuat kata PUTUSAN atau kalau salinan adalah SALINAN PUTUSAN. Baris di bawah dari kata itu adalah Nomor Putusan, yaitu menurut nomor urut pendaftaran perkara, diikuti garis miring dan tahun pendaftaran perkara, misalnya Nomor 79/1983, artinya perkara urutan ke 79 tahun 1983, walaupun tanggal diputusnya perkara mungkin saja tahun 1984. Nomor urut pendaftaran perkara gugatan maupun permohonan menggunakan satu buku yang disebut Buku Pendaftaran Perkara.
Baris selanjutnya adalah tulisan huruf besar semua yang berbunyi BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, untuk memenuhi perintah pasal 57 (2) UU No. 7 1989. Menurut bunyi pasal tersebut, ditulis dengan huruf besar semua tanpa disertai kode bacaan harakat panjang atau pendek sebagai Ayat dari Al-Qur'an.
- Nama pengadilan Agama Yang Memutus dan Jenis Perkara.

Sesudah yang tersebut dibutir a, maka dicantumkan pada baris selanjutnya nama Pengadilan Agama yang memutus yang sekaligus disertai menyebutkan jenis perkara, misalnya "Pengadilan Agama Pelembang, yang telah memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama, perkara gugatan cera antara".
Penyebutan perkara yang bersifat gugatan kumulatif cukup menyebutkan saja induk perkaranya. Misalnya perkara gugatan cerai disertai nafkah isteri, nafkah anak, nafkah Iddah, harta bersama, dapat disebut saja "perkara gugatan cerai".

-Identitas pihak-pihak
Penyebutan identitas pihak, dimulai dari identitas penggugat lalu identitas tergugat. Pemisah keduanya itu ialah dengan tulisan dalam baris tersendiri yang berbunyi "Berlawanan dengan". Identitas pihak ini meliputi nama, bin/binti. (Nama, bin/binti  ditulis dengan huruf besar semua), alias atau julukan (kalau ada), umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terkahir, sebagai penggugat/tergugat. Jika kumulasi penggugat atau kumulasi tergugat, sebutkan sebagai penggugat atau tergugat ke berapa, misalnya: penggugat 1 dan penggugat 2, tergugat 1 atau 2 dan sebagainya. Jika menggunakan kuasa maka sebutkan identitas pemegang kuasa itu.

-Duduk perkaranya (bagian posita)
Pada bagian ini dikutip dari gugatan penggugat dan jawaban tergugat, keterangan saksi dan hasil Berita Acara sidang selengkapnya tetapi singkat, jelas dan tepat serta kronologis. Juga di cantumkan alat-alat bukti lainnya yang diajukan para pihak.
Perlu diingat bahwa di bagian ini Pengadilan belum memberikan penilaian atas alat-alat bukti melainkan hanya mencantumkan hubungan atau peristiwa hukum serta dalil-dalil atau alat-alat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak. Sekalipun perkara reconventie atau intervensi atau vrijwaring misalnya tentang duduk perkaranya tidak perlu dipisah-pisahkan tersendiri, jadi tidak perlu "duduk perkaranya dalam conventie"  dan "duduk perkaranya reconventie" dibuat sendiri-sendiri. Begitu pula dalam intervensi atau vrijwaring. Tegasnya, gabung saja dalam satu duduk perkaranya yang mencakup keseluruhan yang memuat hal-hal yang disebutkan di atas tadi.

-Tentang Pertimbangan Hukum dan Dasar Hukum
Bagian ini terdiri dari alasan memutus (pertimbangan) yang biasanya dimulai dengan kata "menimbang" dan dari dasar memutus yang biasanya dimulai dengan kata "mengingat". Pada alasan memutus maka apa yang diutarakan dalam bagian "Duduk Perkaranya" terdahulu, yaitu keterangan pihak-pihak berikut dalil-dalilnya, alat-alat bukti yang diajukannya harus ditimbang semua secara seksama atau persatu, tidak boleh ada yang luput dari ditimbang, diterima atau ditolak. Pertimbangan terkahir adalah pihak yang mana yang akan dinyatakan sebagai pihak yang akan dibebankan untuk memikul biaya perkara karena kalah.

Pada dasar memutus, dasar hukumnya ada dua yaitu peraturan perundang-undangan negara dan hukum syara'. Peraturan perundang-undangan negara disusun menurut urutan derajatnya, misalnya Undang-undang didahulukan dari Peraturan Pemerintah lali urutan tahun terbitnya, misalnya UU No. 14  tahun 1970 didahulukan dari UU No. 1 tahun 1974. Sebut titel peraturan perundang-undangan tersebut tentang apa, tahun dan nomor Lembaran Negaranya.

Dasar hukum syara' usahakan mencarinya dari Al-Qur'an dan Hadist baru Qaul Fuqaha', yang diterjemahkan juga menurut bahasa hukum. Mengutip Al-Qur'an harus menyebut nomor surat, nama surat, nomor ayat. Mengutip hadist harus menyebut siapa sanadnya, bunyi matannya, siapa pentakhrijnya dan disebutkan pula dikutip dari kitab apa. Kitab ini harus harus disebut pengarang, nama kitab, penerbit, kota diterbitkan, tahun terbit, jilid dan halamannya. Mengutip Qaul Fuqaha' juga harus menyebut kitabnya selengkapnya seperti di atas, apalagi bukan tidak ada kitab yang sama judulnya tetapi lain pengarangnya. 
Alasan memutus dan dasar memutus yang wajib menunjuk kepada peraturan perundang-undangan negara atau sumber hukum lainnya yang dimaksudkan (c/q. dalil syara' bagi Peradilan Agama) memang diperintahkan oleh pasal 23 (1) UU No. 14/1970. 

-Diktum  atau amar putusan
Menurut KBBI dik·tum n 1 ucapan (pernyataan) resmi; 2 keputusan; bagian dari ketetapan yang mengandung keputusan; 3 Huk bagian yang memuat hal yang ditetapkan hakim dalam putusan pengadilan; amar putusan.
Bagian ini diawali oleh kata "mengadili" yang diletakkan di tengah-tengah dalam baris tersendiri, semua dengan huruf besar. Isi diktum atau amar putusan bisa terdiri dari beberapa poin tergantung kepada petita (tuntutan) penggugat dulunya. Jika perkara reconventie atau intervensi atau vrijwaring maka diktum ini harus dipecah dua bagian, yaitu diktum dalam conventie dan diktum dalam reconventie, atau diktum dalam gugatan asal dan diktum dalam intervensi dan diktum dalam vrijwaring. Kecuali kalau putusan pengadilan memang dijadikan dua putusan. Kendati demikian meski putusan bersifat condemnatoir tetapi bisa juga ada unsur declaratoir atau constitutoir hal itu tergantung petita penggugat. 

-Bagian kaki putusan
Bagian kaki putusan yang dimaksudkan dimulai dari kata-kata "Demikianlah Putusan Pengadilan Agama". Yang perlu diperhatikan dalam hal tanggal diputus perkara dalam permusyawaratan majelis hakim berlainan dengan tanggal putusan diucapkan, sebab hal itu membawa perubahan kepada  "bagian kaki" putusan apalagi jika berlainan hakim yang memutus dalam musyawarah majelis hakim dengan yang mengucapkan keputusan di samping berlainan tanggal musyawarah pada tanggal pengucapan putusan. 
-Tanda Tangan Hakim dan Panitera dan Perincian Biaya
Pada aseli putusan semua hakim dan panitera sidang harus bertanda tangan tetapi pada salinan putusan, hakim dan panitera hanya "ttd" (tertanda) atau "dto" (ditandatangani oleh). Lalu di bawahnya dilegalisir (ditandatangani oleh pejabat yang berwenang pada Pengadilan itu dan dibubuhi stempel).

B. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama
Putusan pengadilan merupakan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga setiap produk hukumnya harus dilaksanakan oleh para pihka yang berperkara. Namun fakta dilapangan menyebutkan bahwa tidak semua putusan pengadilan dilaksanakan oleh para phak sehinga perlu pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. 

Kekuatan Putusan Hakim
        Mengenai kekuatan putusan ini sebenarnya sama sekali tidak dimuat dalam H.I.R maupun R.Bg, kecuali pasal 180 H.I.R dan Pasal 191 R.Bg yang hanya menyebutkan adanya suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk itu, dengan adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka sudah tentu ada juga putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang – undang masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum melawan putusan itu, misalnya perlawanan (verzet), banding atau kasasi. Sedangkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang – undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa (perlawanan/verzet), banding atau kasasi) melawan putusan itu, jadi putusan itu tidak dapat lagi diganggu gugat. Menurut doktrin, dalam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terdapat 3 (tiga) macam kekuatan untuk dapat dilaksanakan.

1. Kekuatan Mengikat
Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan mentapkan hak atau hukumnya. Apabila pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka secara damai dan kemudian menyerahkan dan mempercayakan senggketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa dan diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak – pihak yang bersengketa akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan, sehingga putusan itu mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak – pihak yang bersengketa.

2. Kekuatan Pembuktian
Kekuatan pembuktian ini artinya dengan putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu. Putusan hakim menjadi bukti bagi kebenaran Sesuatu yang termuat didalamnya. Putusan perdata lain yang telah memperolerh kekuatan hkum tetap dapat menjadi bukti dalam sengketa perkara perdata mengenai hal itu. Apa yang telah diputuskan oleh hakim harus dianggap benar dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama dan antara pihak-pihak yang sama pula (nebis in idem).

3. Kekuatan Executoriaal
kekuatan executoriaal dalam putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kekuatan yang dilaksanakan secara paksa oleh alat – alat negara terhadap pihak – pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Sebenarnya yang memberi kekautan executoriaal kepada putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kata – kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ada pada setiap putusan. Akan tetapi, tidak semua putusan dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan, sementara putusan declatoir dan constitutief tidak memerlukan sarana – sarana memaksa untuk dapat melaksanakannya. 
Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan hakim. Hal ini dapat tercapai jika putusan hakim dapat dilaksanakan, putusan hakim dapat terlaksana secara sukarela atau paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.
Sejak dikeluarkannya UU. No. 7/1989 maka Pengadilan Agama telah dapat melaksanakan sendiri putusan segala putusan yang dijatuhkannya tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Dengan berlakunya UU Peradilan Agama tersebut, maka:
1. Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan.
2. Pada setiap Pengadilan Agama diadakan juru sita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya.
B. Jenis-Jenis Pelaksanaan Putusan
Ada beberapa jenis pelaksanaan putusan, yaitu:
a. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196 HIR, 208 Rbg.
b. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan sesuatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, 259 Rbg.
c. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap yang disebut "eksekusi riil". Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
d. Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 (1) HIR, 218 (2) Rbg.

C. Putusan Yang Dapat di Eksekusi
Menurut pasal 95, 98, dan 103 UU No. 7 tahun 1989, peradilan agama sudah dapat melaksanakan secara paksa (Eksekusi) atas putusan dan penetapannya sendiri, termasuk dapat melaksanakan segala macam bentuk sita (beslag) yang diperlukan. Timbullah sekarang bagaimana melakukan eksekusi putusan atau penetapan Peradilan agama itu. Untuk itu, acuannya ialah aturan eksekusi yang dipergunakan di lingkungan peradilan umum. Yang perlu penulis kemukakan sebagai catatan adalah hal-hal sebagai berikut:
Dictum putusan yang dapat dieksekusi hanyalah yang bersifat condemnatoir, artinya berwujud menghukum pihak untuk membayar sesuatu, menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu dan sejenisnya. Jadi eksekusi atas putusan yang diktumnya bersifat declaratoir dana tau constitutoir boleh dikatakan tidak mungkin. 
Dictum yang bersifat condemnatoir tadi harus jelas dan rinci, misalnya wujudnya, bentuknya, batas-batasnya dan lain sebagainya.
Benda atau barang yang dibayarkan atau diserahkan itu harus bebas dari sangkutan dengan pihak ketiga.
Terjaminnya pembayaran/penyerahan benda yang disebutkan didalam dictum, juga tidak luput dari ada atau tidaknya benda itu. Karnany, untuk terjaminnya pelaksanaan (eksekusi) sudah biasa penggugat mengajukan permohonan sita, umumnya sita jaminan (conservatoir-beslag) bersamaan dengan gugatannya, atau disusulkan.
Biaya eksekusi bukanlah murah, juga bukan tidak berbahaya, namun memerlukan kehati-hatian dan kewaspadaan.

Demikianlah, jika disimpulkan eksekusi putusan dan penetapan peradilan agama itu akan lancer tergantung dri kesalingterkaitan antara:
Kepandaian tergugat / pemohon dalam menyusun petita dalam gugatan atau permohonan
Penelitian surat gugatan atau permohonan sebelum terdaftar di kepaniteraan pengadilan agama
Ketelitian pemeriksaan hakim dimuka sidang
Benar dan jelas serta rincinya dictum putusan / penetapan
Pelaksanaan dilapangan 
Biaya eksekusi.
Putusan yang dapat dieksekusi ialah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu:
Putusan telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:
Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebi dulu (uitvoerbaar by vooraad)
Pelaksanaan putusan Provisi
Pelaksanaan Akta Perdamaian
Pelaksanaan (Eksekusi) Grose Akta
Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan oleh ketua Pengadilan Agama
Putusan hakim bersifat condemnatoir. Putusan yang bersifat Deklatoir atau constitutief tidak diperlukan eksekusi.
Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan agama. 

D. Tata Cara Sita Eksekusi
Sita eksekusi dilakukan dengan tata cara sebagai beikut:
Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan
Berdasar surat perintah ketua pengadilan agama surat perintah ini dikeluarkan apabila:
Tergugat tidak mau mengahdiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah
Tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan
Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita
Pelaksanaan sita eksekusi dibantu oleh dua orang saksi.

Penyitaan Eksekusi
Pasal 197 HIR/208 RBg. 
RBg. Jika sesudah lewat tempo yang ditentukan itu belum juga dipenuhi putusan itu atau jika pihak yang dikalahkan itu walaupun telah dipanggil dengan patut tidak juga menghadap maka ketua atau pegawai yang dikuasakan itu, karna jabatannya memberi perintah dengan surat supaya disita sejumlah barang yang tidak bergerak dan jika tidak ada atau ternyata tidak cukup sejumlah barang tidak bergerak kepunyaan pihak yang dikalahkan kalua dikira cukup akan mengganti banyaknya uang yang tersebut dalam putusan dan juga ongkos pelaksanaan putusan itu dengan pengertian bahwa di daerah (keresidenan) Bengkulu, Sumatera Barat, dan Tapanuli penyitaan itu baru boleh dilakukan atas harta pusaka jika ternyata tidak cukup harta pencaharian baik yang bergerak maupun tidak bergerak. 
Pasal 197 Aayat (1) s/d 5 HIR/209 RBg.
(RBg.)/2 (HIR): Penyitaan itu dilakukan oleh Panitera Pengadilan Negeri.
(RBg.)/3 (HIR): Apabila Panitera itu berhalangan karena pekerjaan jabatannya atau oleh sebab yang lain
(RBg.)/4 (HIR): Penunjukan itu dilakukan dengan menyebutkan demikian saja akan dengan memperingatkan dalam surat perintah yang dimaksud dalam surat diatas.

  PROSEDUR PELAKSANAAN SITA EKSEKUSI
Pasal 229 RBg.
(1). Berdasarkan penunjukan orang yang terhadapnya dijalankan putusan itu dapat dilakukan penyitaan atas piutang yang kiranya dapat ditagih oleh orang yang dihukum itu kepada orang lain, dengan mengingat peraturan pada pasal 208.
(2).Selain surat pemberitahuan (exploit) tentang penyitaan itu ditinggalkan pada orang lain itu dan pada orang yang dikalahkan itu; pada orang yang tersebut pertama itu disertai pula perintah akan menyimpan piutang yang disita itu dengan ancaman hukuman, bahwa pembayarannya akan dipandang tidak sah.
Pasal 230 RBg.
(1).Dalam delapan hari sesudah diberitahukan penyitaan itu, maka orang yang dikalahkan itu boleh melakukan perlawanan atas penyitaan itu, jika menurutnya padanya ada alasan untuk mengajukan perlawanan.
(2).Tentang perlawanan itu berlaku peraturan pada pasal 225 dan pasal berikut.
Pasal 231 RBg.
Jika perlawanan orang yang dikalahkan itu ada alasannya dan karena itu penyitaan itu tidak jadi padanya dijalankan, maka orang yang minta menjalankan penyitaan itu, jika ada alasannya, dihukum akan mengganti ongkos, kerugian, dan bunga uang untuk orang yang dikalahkan itu.
Pasal 232 RBg.
Jika orang yang dikalahkan itu tidak mengajukan perlawanan yangb tersebut dalam pasal 230, atau jika ada diajukan tetapi ditolak, maka supaya sah penyitaan itu, haruslah orang yang minta penyitaan itu membuat suatu tuntutan dalam satu bulan, sesudah berlaku tempo yang ditentukan untuk perlawanan itu atau sesudah dijatuhkan putusan, supaya orang lain yang terkena penyitaan itu membuat keterangan. Tentang apa yang harus dibayarnya kepada orang yang dikalahkan itu.
Pasal 233 RBg. 
Jika orang lain yang terkena penyitaan itu tunduk kepada hukum Eropa,  maka terhadap dirinya diturut pula aturan tentang penyitaan di tangan orang lain, sebagai diatur dalam Reglement op de rechts vordering.
Pasal 234 RBg.
Jika orang lain yang terkena penyitaan itu tunduk kepada putusan pengadilan Negri, maka tentang cara tuntutan itu dihadapkan dan kemudian tentang melanjutkan acara, diturut peraturan pada pasal 142 dan yang berikut dari reglemen ini dan peraturan pada pasal dibawah ini.
Pasal 235 RBg.
(1). Keterangan orang lain yang terkena penyitaan, di persidangan dapat diuraikan baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
(2). Keterangan itu harus dengan alasan tentang sebab dan jumlah utang orang lain yang terkena penyitaan itu; pembayaran angsuran, kalau ada dilakukan; dan cara melunaskan utang, jika orang lain yang terkena penyitaan itu berkata, bahwa ia tidak mempunyai utang lagi.
Pasal 236 RBg.
Jika orang lain yang terkena penyitaan itu menyatakan keterangannya dan tidak membantah hukuman yang diminta itu, maka semua ongkos yang telah dikeluarkannya harus dibayar kembali kepadannya dan ia tidak boleh diwajibkan melakukan suatu pembayaran. Kalau tidak diberi kepadanya atau dipotong dari pembayaran itu jumlah ongkos itu.
Pasal  237 RBg.
Jika orang lain yang terkena penyitaan itu tidak mau diberi keterangan maka, jika alasannya dibatalkan, diperintahkan kepadanya akan memberikan keterangan juga pada hari yang ditentukan, dan pula ia dihukum untuk membayar ongkos.
Pasal 238 RBg.
Jika ia masih akan memberi keterangannya, maka ia dikenakan hukum akan membayar jumlah piutang yang menyebabkan penyitaan itu, atau jika perlawanan itu dubenarkan, bersama-sama dengan bunga uang dan ongkos seolah-olah ia orang berutang yang sebenar-benarnya.
Jika itu tidak memberi keterangan itu tersebab karena ia tidak hadir menghadap, maka dilakukan pasal 150 reglemen ini.
Pasal 239 RBg.
Orang yang meminta penyitaan itu dapat memaksa orang lain, yang dikenalkan penyitaan itu, akan menguatkan kebenaran keterangannya  dengan sumpah.
Pasal 240 RBg.
Jika orang meminta penyitaan itu membantah keterangan itu dan orang yang terkena penyitaan itu dikalahkan, maka keterangan itu diperbaiki oleh hakim dan dengan demikian orang lain yang terkena penyitaan itu dihukum untuk membayar apa-apa yang sudah nyata harus dibayarnya.
Tambahan pula ia dapat dalam hal itu dihukum akan mengganti ongkos, kerugian, dan bunga uang.
Pasal 241 RBg.
Uang yang ternyata utang orang lain yang terkena penyitaan itu kepada orang yang disita barangnya, harus dibayar oleh orang lain itu kepada orang yang meminta penyitaan sehingga jumlah tuntutan yang dikabulkan baginya dalam putusan yang menerangkan sah penyitaan itu dan kalau perlu, dapat diambil dari orang lain yang terkena penyitaan itu dan kalau perlu, dapat diambil dari orang lain yang terkena penyitaan itu dengan menyita barangnya karena kekuatan putusan yang dijatuhkan atasnya.
SITA EKSEKUSI ATAS AKTA HIPOTEK DAN SURAT UTANG AUTENTIK
Pasal 224 HIR/258 RBg.
Surat asli dari pada surat hipotek dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris di indonesia dan yang memakai perkataan; “Atas nama keadilan” di kepalanya, kekuatannya sama dengan surat putusan hakim.
Dalam hal menjalankan surat yang demikian, jika tidak dipenuhi dengan jalan damai, maka dapat diperlakuakan peraturan pada bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa badan hanya boleh dilakukan sesudah diizinkan oleh putusan hakim. HIR: jika hal menjalankan putusan itu harus berlaku, semua atau sebagian, diluar daerah hukum pengadilan negri, yang ketuannya memerintahkan itu, maka diturut peraturan-peraturan pasal 195 ayat keduan dan berikutnya.

HUKUMAN UNTUK MELAKUKAN SUATU PERBUATAN
Pasal 225 HIR/259RBg.
Apabila seorang yang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, tidak melakukan perbuatan itu didalam waktu yang ditentukan oleh hakim, maka pihak yang dimenangkan dalam putusan itu dapat minta kepada pengadilan negri, supaya jumlah untung yang akan didapatnya, jika putusan itu dipenuhi, dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukannya dengan pasti.
(RBg.): tentang permintaan itu berlaku peraturan pada pasal 142,143,144,145,dan 146, tetapi dengan perbedaan, bahwa ketua hanya memanggil orang yang berutang itu akan menghadap kepersidangan pengadilan yang pertama akan datang, supaya diperiksa tentang permintaan itu.
(RBg.)/2 (HIR): sesudah diperiksa orang berutang itu atau kalau ia tidak hadir, sesudah nyata bahwa dia ada dipanggil dengan patut, maka pengadilan menolak permintaan itu menurut pendapatnya, atau menilai harga perbuatan, yang diperintahkan tetapi tidak dilakukan sebesar jumlah yang dikehendaki oleh si peminta atau sebesar suatu jumlah yang kurang dari pada itu dan orang berutang itu pun dihukum akan membayar jumlah uang itu.

SITA HAK MILIK (REVINDIKATOR)
Pasal 226 HIR/260 RBg.
Orang yang mempunyai sesuatu barang yang bergerak dapat minta dengan surat atau dengan lisan kepada ketua pengadilan Negri, yang berkuasa ditempat tinggal atau  kediaman orang yang memegang barang itu, supaya barang itu disita.
Barang yang hendak disita itu harus diterangkan dengan seksama dalam permintaan itu.
Jika permintaan itu dikabulkan, maka penyitaan itu dilakukan menurut surat perintah ketua itu. Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang aturan yang harus diturut dalam hal itu, maka dilakukan aturan yang sejalan dengan aturan dalam pasal 208 sampai pasal 21 RBg,/197 HIR.
Paniteran memberitahukan penyitaan itu dengan segera kepada orang yang mengajukan permintaan itu, sambil menerangkan kepadanya bahwa ia mesti menghadap pada persidangan pengadilan Negri pertama yang datang untuk mengajukan meneguhkan gugatan.
Orang yang memegang barang yang disita itu, harus dipanggil atas perintah ketua supaya menghadap pada persidangan itu juaga.
Pada hari yang ditentukan untuk perkara itu, maka acara dijalankan seperti biasa dan siputuskan.
Jika gugatan itu diterima; maka penyitaan itu disahkan dan diperintahkan, supaya barang yang disita itu diserahkan kepada penggugat, sedangkan kalau gugatan itu ditolak harus diperintahkan penyitaan itu dicabut.

SITA JAMINAN (KONSERVATOR)
Pasal 227 HIR/261 RBg.
Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang berutang sebelum dijatuhkan putusan atasnya atau sebelum putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, budaya upaya akan menghilangkan atau membawa barangnya yang bergerak atau tidak bergerak dengan maksud menjauhkan barang itu dari pada penagih utang;
Orang berutang dipanggil atas perintah ketua yang memberi perintah itu, akan menghadap pada persidangan itu juga
Tentang orang yang harus menjalankan pnyitaan itu dan tentang aturan yang dalam hal itu mesti turut serta kejadian yang berhubungan dengan itu, diperlukan pasal 208 sampai 214 RBg./197, 198, dan 199 HIR
(RBg.): Magistraat memberitahukan perbuatannya dengan segera kepada ketua pengadilan negeri
(RBg.)/4 (HIR): Pada hari yang ditentukan untuk perkara itu maka acara dilakukan secara biasa
(RBg.)/4 (HIR): Jika gugatan iu diterima, maka penyitaan iu disahkan; jika gugatan ditolak, maka diperintakan akan mencabut penyitaan itu
(RBg.): Jika penyitaan itu dijalankan atas peintah magistraat, maka ketua pengadilan negeri boleh memerintahkan.
(RBg.)/S (HIR): Perihal mencabut penyitaan itu selamanya boleh diminta jika diadakan jaminan atau tanggungan yang cukup.
Pasal 228 HIR/262 RBg.
Tentang putusan yang dijatuhkan menurut ketiga pasal diatas berlaku segala aturan umum tentang meminta banding
Putusan tersebut dalam pasal-pasal itu dilakukan secara biasa. 




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan 

Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata) selalu memuat perintah dari Pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi diktum vonis selalu bersifat condemnatoir artinya menghukum, atau bersifat constitutoir artinya menciptakan. Bentuk suatu keputusan dapat berupa penetapan (bechikking) dan ada juga yang berupa suatu putusan. 
Putusan pengadilan merupakan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga setiap produk hukumnya harus dilaksanakan oleh para pihka yang berperkara. Namun fakta dilapangan menyebutkan bahwa tidak semua putusan pengadilan dilaksanakan oleh para phak sehinga perlu pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. 
Saran
Makalah ini dibuat bertujuan sebagai bahan bacaan dan juga sebagai literature untuk menambah wawasan keilmuan baik bagi pemakalah/penulis maupun bagi para pembaca. Oleh karena itu kami menyarankan kepada semua pihak untuk lebi giat dalam membaca terutama para calon ahli pakar hukum dari kalangan akademisi maupun kalangan praktisi hukum.
semoga makalah ini dapat bermanfaat.



DAFTAR PUSTAKA

Mappiasse, Syarif. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Prenada Media Group: Jakarta, 2015
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT Raja Grafindo: Depok, 2003
Yahya, Harahap. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama. Sinar Grafika: Jakarta, 2009
Sulaikin, Lubis. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2008.
M. Fauzan, Pokok Pokok Hukum Acara PerdataPeradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia, Kencana: 2005,

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian, Asas dan Sumber Hukum Peradilan Agama

Langkah-Langkah Analisis Hukum (Pemecahan Masalah Hukum)

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA PENGAJUAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN