Pemeriksaan Sengketa Perkawinan Dan Kewarisan Makalah Hukum Acara Peradilan Agama
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demi terciptanya kepastian dan kesatuan hukum, dalam memutus perkara, hukum materiil yang dijadikan dasar adalah produk peraturan dan perundang-undangan yang dikodifikasi melalui proses pengkajian dan perumusan dari berbagai kitab-kitab fikih standar yang dipakai umat Islam Indonesia selama ini dengan berbagai penataan, penyesuaian dan perubahan sehingga dianggap layak dan sesuai diterapkan dalam kehidupan bernegara yang berdasarkan hukum dan menghendaki kesamaan setiap warga negara di mata hukum dengan tidak membedakan golongan, usia, ataupun jenis kelamin.
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989, mulai Pasal 54 sampai dengan pasal 105. Menurut ketentuan pasal 54 yang berbunyi “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hukum acara perdata yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada pengadilan dalam Peradilan Agama. Sebagai peradilan khusus, Pengadilan Agama mempunyai tugas dan kewenangan tertentu seperti tersebut pada Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan agama sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, yang menyatakan: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama anatara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shodaqoh, Ekonomi Syariah.
Rumusan Masalah
Apa Hal yang diatur dalam acara khusus?
Bagaimana Tata cara pemeriksaan cerai tolak?
Bagaimana Tata cara pemeriksaan cerai gugat?
Bagaimana Tata cara pemeriksaan kewarisan?
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui ApaHal yang diatur dalam acara khusus
Untuk mengetahui Tata cara pemeriksaan cerai tolak
Untuk mengetahui Tata cara pemeriksaan cerai gugat
Untuk mengetahui Tata cara pemeriksaan kewarisan
BAB II
PEMBAHASAN
Hal Yang Diatur Dalam Acara Khusus
Sudikno Mertokusumo menuliskan bahwa hukum acara perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Konkritnya hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskannya dan pelaksanaannya dari pada putusannya.
Karena itu sesuai dengan Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 jo UU Nomor 3 Tahun 2006 dinyatakan bahwa “ Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
Adapun perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara ini meliputi kewenangan relatif pengadilan agama, pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian, dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum acara Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau bagaimana cara hakim bertindak di muka pengadilan agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaiamana mestinya.
Karena itu hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal) disamping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar-benar tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar.
Tata Cara Pemeriksaan Cerai Talak
Menurut Undang-Undang Perkawinan, suatu perkawinan dapat putus dengan tiga sebab, yaitu karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan, sebab yang kedua juga harus dilakukan melalui putusan pengadilan. Perceraian merupakan jalan utuk memutuskan hubungan perkawinan antara suami istri yang bukan disebabkan oleh kematian salah satu pihak, akan tetapi didasarkan atas keinginan dan kehendak para pihak.
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak yang diucapkan suami di depan pengadilan setelah pengadilan mengizinkan suami mengikrarkannya melalui penetapan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (in cracht). Perceraian dapat pula terjadi karena putusan pengadilan yang sudah in chracht terhadap gugatan perceraian dari pihak istri.
Jadi, perceraian bisa timbul dari pihak suami dan juga bisa muncul dari pihak istri, perkara perceraian yang diajukan oleh suami disebut dengan perkara Cerai Talak dengan suami sebagai Pemohon dan istri sebagai Termohon, dan perkara perceraian yang diajukan oleh istri disebut dengan perkara Cerai Gugat dengan istri sebagai Penggugat dan Suami sebagai Tergugat.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Suatu perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua pihak, gugatan perceraian diajukan ke pengadilan.
Perkara cerai talak merupakan jenis perkara permohonan yang diajukan oleh suami. Seorang suami yang kawin secara Islam (di Kantor Urusan Agama/KUA) yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadkan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Tempat mengajukan permohonan cerai talak harus di pengadilan yang mewilayahi kediaman Termohon, kecuali jika Termohon telah dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Pemohon atau Termohon berkediaman di luar Negeri, maka diajukan ke pengadilan wilayah tempat tinggal di luar Negeri permohonan diajukan ke Pengadilan wilayah tempat perkawinan dilangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Permohonan dapat pula diajukan di tempat kediaman Pemohon jika kediaman Termohon tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap. Penyampaian gugatan kepada tergugat yang berkediaman di luar negeri dilakukan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Suatu permohonan cerai talak harus memuat nama, umur, dan tempat kediaman atau alamat Pemohon dan Termohon disertai alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak. Selain itu, Pemohonan mengenai penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama dapat diajukan bersamaan dengan permohonan cerai talak dan bisa juga diajukan setelah ikrar talak diucapkan.
Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah perkara didaftarkan, pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup, juga terhadap para saksi. Apabila tempat tinggal Termohon tidak diketahui pemeriksaan baru dapat dilakukan setelah dilakukan dua kali pemanggilan melalui media massa dalam tenggang waktu selama empat bulan sejak panggilan pertama. Apabila termohon bertempat tinggal di luar negeri pemeriksaan baru dapat dilakukan setelah enam bulan sejak didaftarkannya perkara.
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak berlaku juga ketentuan acara pemeriksaan sebagaimana dalam acara pemeriksaan gugat, di antaranya; permohonan gugur apabila salah satu pihak meninggal dunia sebelum adanya putusan pengadilan, asas mendamaikan para pihak dan dalam persidangan pertama suami istri harus dating secara pribadi, dan jika tercapai perdamaian, maka permohonan cerai talak dengan alasan yang sama tidak dapat diajukan lagi.
Setelah pengadilan berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan alasan perceraian dipandang cukup, permohonan cerai talak dapat dikabulkan, akan tetapi terhadap penetapan itu istri berhak mengajukan banding maupun kasasi. Penetapan hakim berbentuk “PUTUSAN” dengan judul amar “MENETAPKAN”, kecuali jika ada amar condemnatoir (menghukum), maka judul amarnya “MENGADILI”. Hakim secara ex officio, tanpa permintaan Termohon, dapat mewajibkan suami untuk memberikan biaya penghidupan berupa mut’ah, nafkah, tempat tinggal, dan kiswah selama masa iddahdan biaya perawatan anak (hadlonah).
Biaya perkara dalam cerai talak dibebankan kepada Pemohon, tetapi jika dalam perkara ini ada rekonvensi atau disertai dengan pembagian harta bersama biaya perkara dapat dibagi dua dan ditanggung bersama.
Sidang Penyaksian Ikrar Talak dilakukan setelah penetapan memperoleh kekuatan hukum tetap (in cracht), dengan menghadirkan suami dan istri atau wakilnya. Dalam persidangan tersebut, suami atau kuasanya mengucapkan ikrar talak, jika istri atau kuasanya tidak hadir, tetapi sudah dipanggil dengan resmi dan patut, ikrar talak dapat diucapkan tanpa kehadirannya. Dalam tenggang waktu 6 bulan sejak ditetapkannya hari sidang penyaksian ikrar talak, jika suami atau kuasanya tidak dating dan sudah dipanggil dengan patut, maka kekuatan penetapan menjadi gugur, selanjutnya perceraian tidak dapat diajukan berdasarkan alasan yang sama.
Panitera mencatat segala peristiwa dalam sidang ikrar talak, selanjutnya hakim membuat penetapan yang menyatakan perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan, dan atas penetapan itu tidak dapat dimintakan banding ataupun kasasi.
Salinan penetapan perceraian dikirimkan ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN) selambat-lambatnya 30 hari setelah itu untuk didaftarkan, Panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap itu diberitahukan kepada para pihak, kelalaian pengiriman salinan putusan itu menjadi tanggung jawab panitera atau pejabat yang ditunjuk apabila mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.
Prosedur Cerai Talak
Adapun prosedur cerai talak ini diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989, PERMA No. 2 Tahun 2003, HIR dan R.Bg. Pengaturan ini meliputi langkah-langkah yang harus dilakukan pemohon (suami) atau kuasanya dan proses penyelesaian perkaranya. Kedua macam pengaturan tersebut adalah sebagai berikut:
Langkah-langkah yang harus dilakukan pemohon (suami) atau kuasanya:
Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/ mahkamah syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989);
Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/ mahkamah syari’ah tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan termohon.
Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah:
Yang daerah hukumnya meliputi kediaman termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
Bila termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
Bila termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan agama/ amahkamah syar’iyah yag daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989);
Bila termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989).
Permohonan tersebut memuat:
Nama, umur, pekerjaan, agama, tempat kediaman pemohon dan termohon;
Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989).
Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. jo. Pasal 89 UU No.7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.)
L
No.
Proses Penyelesaian Perkara
Pemohon mendaftarkan permohonna cerai talak ke pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah
Pemohon dan termohon dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iyah untuk mengahadiri persidangan.
Tahapan persidangan:
Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamikan kedua belah pihak, dan suami istri harus dating secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg.);
Putusan pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah atas permohonan cerai talak sebagai berikut:
Permohonan dikabulkan. Apabila termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah tersebut;
Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah tersebut;
Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka:
Pengadilan agama/ mahkamh syar’iyah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
Pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah memanggil pemohon dan termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No.7 Tahun 1989).
Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989)
Tata Cara Pemeriksaan Cerai Talak
Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan juga diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Khusus mereka yang beragama Islam diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 31 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 dan Pasal 66 sampai dengan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Cerai gugat yaitu perceraian yang disebabkan adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh para pihak kepada Pengadilan dan dengan suatu putusan Pengadilan (Saleh, 1980: 40). Adapun tata cara gugatan perceraian diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu:
Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan setempat kediaman penggugat.
Apabila penggugat bertempat tinggal di luar negeri gugatan perceraian diajukan di tempat kediaman penggugat.
Dalam hal gugatan perceraian dengan salah satu alasan meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain atau tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, diajukan kepada pengadilan setempat kediaman penggugat.
Akibat Perceraian
Menurut Hukum Islam perceraian dapat pula disebabkan karena adanya tuduhan berbuat zina dari suami kepada isteri. Tuduhan ini bisa menimbulkan saling mengucapkan sumpah di antara suami-isteri, yang menurut istilah Hukum Islam disebut “Li’an”. Sehingga dengan adanya sumpah Li’an ini akan membawa akibat:
Anak yang tidak diakui itu, bukan anak orang laki-laki yang bersumpah itu;
Perkawinan putus sama sekali, bekas isteri dan bekas suami tidak boleh kawin satu sama lainnya lagi;
Karena sumpahnya tadi, bekas suami terlepas dari hukuman had al-qadhaf.Terjadinya perceraian dengan sebab Li’an ini, mempunyai konsekuensi yuridis yang sangat mencolok, ialah tertutupnya pintu bagi suami isteri untuk menikah kembali dalam satu ikatan keluarga.
Dari uraian diatas, dapat ditarik pengertian bahwa akibat-akibat perceraian antara lain adalah sebagai berikut:
Persetubuhan setelah perceraian tak berlaku, persetubuhan antara suami-isteri menjadi terlarang. Sungguhpun demikian dalam keadaan yang tertentu, kedua pihak dapat kawin kembali dengan syahnya;
Perkawinan dapat kembali, rujuk. Suami-isteri yang telah bercerai, tidak selalu dapat kawin kembali;
Perkawinan baru, adalah :
Bilamana perkawinan telah berakhir si isteri haruslah sampai habis jangka waktu iddah sebelum dapat kawin kembali. Si suami jika ia mempunyai 4 (empat) isteri, haruslah menantikan (sebelum ia kawin lagi) sampai berakhir jangka waktu iddah isteri yang diceraikannya;
Bila perkawinan itu tidak diakhiri, kedua pihak dapat lantas kawin kembali dan tidak usah menanti berakhirnya waktu iddah;
Mas kawin. Jika kedudukan perkawinan itu telah disempurnakan, maka seluruh mas kawin harus dilunaskan dengan segera, jika tidak seperdua dari mas kawin itu haruslah dibayar;
Pemeliharaan. Si suami haruslah memberikan nafkah pemeliharaan selama jangka waktu iddah;
Warisan. Selama perceraian itu dapat dicabut kembali, pada waktu meninggalnya salah seorang dari suami-isteri, yang satu dapat mewarisi dari yang lain, tetapi jika perceraian itu tidak dapat diatur kembali, maka hak untuk mewaris, berakhir. Jika ayah dan ibu bercerai, anak-anak tetap kewajiban ayah dan ibunya.
Masalah lain yang menyangkut akibat perceraian adalah tentang status harta kekayaan. Di dalam hukum Islam kekayaan suami-isteri, terpisah masing-masing satu sama lainya. Harta milik masing-masing pada waktu pernikahan dimulai tetap menjadi milik sendiri-sendiri. Demikian juga harta yang mereka peroleh masing-masing selama berlangsung pernikahan tidak bercampur menjadi kekayaan bersama tetapi tetap terpisah satu sama lain. Terhadap milik suami, si isteri tidak berhak begitu saja sebaliknya. Tetapi suami isteri walaupun bukan sebagai pemiliknya tetap boleh memakai harta itu berdasarkan perjanjian antara suami isteri yang biasanya berlaku secara diam-diam.
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, di dalam Pasal 41 dinyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
Baik ibu dan bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak mereka semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat member kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, selain diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, juga diatur dalam Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam. Menurut Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
Anak yang belum mumayyis berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya digantikan oleh :
Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
Ayah;
Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. Jadi kedudukan anak setelah perceraian tetap menjadi tanggung jawab bapak dan ibunya.Kewajiban bapak atau ibu terhadap anak-anaknya, dalam sub (1) dan sub (2) di atas akan berakhir apabila anak-anak itu sudah dewasa atau sebelum dewasa anak-anaknya sudah melangsungkan perkawinan. Di samping itu apabila anak-anaknya meninggal dunia, maka kewajiban bapak atau ibu tersebut berakhir. Sedangkan kewajiban bekas suami dalam sub (3) tersebut di atas akan berakhir, apabila kewajiban yang dibebankan kepada bekas suami tersebut selesai, bekas isteri telah melangsungkan perkawinan dengan pihak lain.
Tata Cara Pemeriksaan Kewarisan
Pengertian Istilah-Istilah dalam Hukum Kewarisan Menurut KHI Pasal 171
Definisi Hukum Kewarisan
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahaan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Definisi pewaris
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan Agama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Definisi Ahli Waris
Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Definisi harta peninggalan
Harta Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun yang menjadi haknya.
Definisi Harta Warisan
Harta Warisan adalah harta bawaaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah pembayaran hutang dan pembelian untuk kerabat.
Definisi Wasiat
Wasiat adalah pemberian sesuatu benda dari pewaris kepada orang ;ain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Definisi Hibah
Hibah adalah suatu pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Definisi Anak Angkat
Anak Angkat adala anak yang dalam hal pemeliharaan unduk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggungjawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan Putusan Pengadilan
Definisi Baitul Mal
Baitul Mal adalah balai harta kegunaan.
Tata Cara Gugatan/ Pemeriksaan Kewarisan DI Pengadilan Agama
Gugatan Waris diajukan ke Pengadilan Agama oleh penggugat selaku ahli waris dan dapat pula menggunakan jasa pengacara atau kuasa insidentil. Jika menuggunakan kuasa insidentil, terlebuh dahulu harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadlan Agama untuk menjadi kuasa insidentil, kemudian Ketua Pengadilan mengeluarkan Surat izinnya.
Pengajuan gugatan waris disertai dengan bukti kematian pewaris dari desa dan silsilah ahli warisnya disiapkan pula dokumen bukti-bukti kepemilikan objek sengketa seperti sertifikat, akta, jual beli, dan bukti kepemilikan lainnya.
Dalam surat gugatan harus memuat secara lengkap objek-objek sengketa mengenai ukuran dan batas-batasannya tanah, merek dan tahun pembuatan dan kalau perlu dengan warnanya jika objeknya berupa sepeda motor/ mobil atau barang –barang elektronik.
Pengajuan gugatan waris diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi letak barang tetap itu berada, kecuali barang-barang sengketa itu menyebar kepada beberapa wilayah Pengadilan Agama, maka penggugat dapat memilih salah satunya Pengadilan Agama dimana objek sengketa waris itu berada.
Penggugat membayar panjar biaya perkara, untuk Pengadilan Agama Pelaihari, pembayarannya melalui Bank BRI unit gagas Pelaihari dan jumlahnya sesuai taksiran meja 1 (SKUM) yang didasarkan pada PP 53 tahun 2008. Bagi yang tidak mampu dapat mengajukan gugatan Prodeo atau secara Cuma-Cuma, dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang diketauhi oleh camat.
Setelah gugatan didaftarkan di Pengadilan Agama, penguggat/ kuasanya tinggal menunggu panggilan sidang yang disampaikan oleh juru sita. Panggilan disampaikan minimal 3 hari kerja sebelum sidang dilaksanakan.
Proses sidang dimulai upaya perdamaian dan dilanjutkan dengan mediasi jika para pihak hadir dipersidangan. Dalam mediasi, para pihak bebas memilih mediator apakah berasal dari hakim atau pihak lain yang sudah memiliki sertifikat mediasi, dan segala biaya pengeluaran meidasi ditanggung oleh penggugat atau kedua belah pihak jika terdapat kesepakatan dengan tergugat. Namun apabila menggunakan hakim mediator tidak dipungut biaya.
Setelah proses mediasi dilaksanakan, dan ternyata damai, maka dibuatkan akte perdamaian yang dikuatkan dalam putusan majelis hakim yang bersangkutan. Namun jika tidak terjadi damai, pemeriksaan gugatan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan, jaaban tergugat, replik penggugat, duplikat tergugat, pembuktiaan yang dilanjutkan dengan pemeriksaan setempat, kesimpulan, musyawarah majelis dan putusan.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989, mulai Pasal 54 sampai dengan pasal 105. Menurut ketentuan pasal 54 yang berbunyi “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini’.
Adapun perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara ini meliputi kewenangan relatif pengadilan agama, pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian, dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan.
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahaan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Na’mah, Ulin, Cerai Talak (Maknanya Bagi Para Pelaku Matrilocal Residence di Lingkungan Masyarakat Muslim), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), 2015
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama dalam rangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2012
M. Fauzan, S.H, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo), 2002
Lina Kushidayati, Legal Reasoning Perempuan dalam Perkara Gugat Cerai di Pengadilan Agama Kudus Tahun 2014, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol.6, No.1, Juni 2015
Fasya.iain-manado.ac.id, Modul Praktikum Peradilan Agama, 2017
https://www.pa-pelaihari.go.id/prosedur-berperkara-tingkat-pertama/
Comments
Post a Comment