PENDAFTARAN PERKARA DAN PERSIAPAN PERSIDANGAN


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pengadilan Agama adalah tingkatan pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan yang berkedudukan di ibukota Kab/Kota. Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 termasuk didalamnya menyelesaikan perkara voluntair.
Pengadilan Agama dalam hal ini hanya menerima perkara bagi yang beragama Islam saja. Dalam hal pengajuan perkara, Penggugat/Pemohon mendaftarkannya ke Kepaniteraan Pengadilan Agama untuk menaksir panjar biaya. Selanjutnya membayar dikasir dengan menyerahkan Surat Gugatan/Permohonan untuk diserahkan kepada wakil Panitera untuk diajukan ke Ketua Pengadilan Agama.
Gugatan ialah suatu surat yang diajukan oleh Penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa yang merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Setelah proses Pendaftaran selesai, selanjutnya dalam waktu maksimal 7 hari, Ketua Pengadlan akan melakukan Penetapan Majelis Hakim untuk memeriksa dan Mengadili perkara dilanjutkan dengan penunjukan Panitera Sidang, Penetapan Hari Sidang, dan Pemanggilan Para Pihak.

Rumusan Masalah
Bagaimana Pengajuan berkas di Kepaniteraan?
Bagaimana Proses Pembayaran Panjar Biaya?
Bagaimana Proses Pendaftaran Perkara?
Bagaimana Proses Penetapan Majelis Hakim?
Bagaimana Proses Penujukan Panitera Sidang?
Bagaimana Proses Penetapan Hari Sidang?
Bagaimana Proses Pemanggilan Para Pihak?

Tujuan Penulisan
Untuk Mengetahui Pengajuan berkas di Kepaniteraan
Untuk Mengetahui Proses Pembayaran Panjar Biaya
Untuk Mengetahui Proses Pendaftaran Perkara
Untuk Mengetahui Proses Penetapan Majelis Hakim
Untuk Mengetahui Proses Penujukan Panitera Sidang
Untuk Mengetahui Proses Penetapan Hari Sidang
Untuk Mengetahui Proses Pemanggilan Para Pihak





BAB II
PEMBAHASAN

Pengajuan Berkas di Kepaniteraan

Sesudah surat gugatan atau permohonan dibuat dan dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan umum atau mungkin sudah sekaligus dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan khusus, atau dalam hal buta huruf bawa saja semua syarat-syarat kelengkapan itu ke Pengadilan Agama, daftarkanlah di Kepaniteraan.

Berikut langkah-langkah pengajuan gugatan:
Pertama :
Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan atau permohonan.
Kedua :
Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan surat gugatan atau permohonan, minimal 2 (dua) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat.
Ketiga :
Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor : 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Catatan :
Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat.
Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 273 – 281 RBg.
Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.

Keempat :
Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).

Kelima :
Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).

Keenam :
Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.

Ketujuh :
Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.

Kedelapan :
Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.

Kesembilan:
Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada pihak berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan.

Kesepuluh :
Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat gugatan atau permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).

Kesebelas :
Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.

Keduabelas :
Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara

Pembayaran Panjar Biaya

Pengajuan perkara secar inperson atau kuasanya, baik secara lisan maupun secara tulisan sebagaimana dimaksud Pasal 144 ayat (1) R. Bg ayat (1) dimasukkan melalui Meja I. Di meja I ditaksir panjar biaya perkara dengan komponen sebagai berikut:
 Biaya kepaniteraan, diatur dalam Pasal 90 ayat (1) huruf a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006  Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Sebelumnya biaya kepaniteraan disebut dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana diatur  dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2000 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen  Agama, oleh karena itu, secara yuridis sebenarnya sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan Peradilan Agama kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia, baik secara Administratif maupun secara teknis yustisial, maka Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2000 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak berlaku lagi, tetapi pernyataan tidak berlaku secara teknis baru dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 22 Desember 2005 dengan nomor surat: MA/SEK/442/XII/2005 yang berlaku mulai 1 januari 2006.
Biaya materai (berdarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Biaya Materai).
Biaya pemeriksaan saksi, saksi ahli, juru bahasa, dan biaya sumpah.
Biaya pemeriksaan setempat, selanjutnya mengenai petunjuk teknis biaya pemeriksaan setempat ini dapat dilihat dalam surat edaraan Mahkmah Agung RI Nomor 5 Tahun 1999.
Biaya pemanggilan, pemberitahuan (berdarkan radius dengan mempedomani Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 299/2002 tanggal 5 Juni 2002, meski sudah disahkan Undang-Undang Nomor 3 Tentang  Perubahan Undang-undang peralihan yang terdapat dalam Pasal 106A, maka Keputusan Menteri Agama tersebut tetap berlaku sampai ada pengaturan tentang radius ini. Dasar pembebanan biaya perkara dari angka dua sampai angka lima adalah Pasal 193 R. Bg/Pasal 182 HIR jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Perdilan Agama.
Biaya Administrasi (Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2/2000 tanggal 30 Juni 2000. Biaya ini telah di tiadakan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tanggal 31 Agustus 2007.
Biaya Atas Perintah Pengadilan, Pasal 90 huruf d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan berperkara secara Prodeo (Cuma-Cuma). Ketidakmampuan tersebut harus dibuktikan dengan surat Keterangan dari Lurah/Kepala Desa setempat yang di ketahui oleh Camat. Kepada orang yang telah terbukti tidak mampu membayar biaya perkara, maka panjar biaya perkara ditaksir Rp.0,00,- (nol rupiah) dab di tulis dalam SKUM yang dicap dengan LUNAS dengan pembayaran NIHIL.
Setelah petugas Meja I menaksir besarnya biaya panjar perkara, maka calon Penggugat/Pemohon membayar panjar biaya perkara dikasir. Selanjutnya kasir menerima dan membukukan panjar biaya perkara tersebut dalam buku jurnal keuangan perkara (KI_PA. 1). Kemudian kasir member nomor pada SKUM dan menandatanganinya serta membuat Cap Lunas.

Pendaftaran Perkara
Pendaftaran Perkara Tingkat Pertama
Menerima surat gugatan/ permohonan sebanyak para pihak ditambah 3 eksemplar termasuk soft copynya. Dari Penggugat/Pemohon 
Meneliti surat gugatan/ permohonan yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon 
Menaksir panjar biaya perkara dan membuat SKUM Rangkap 3 serta menyerahkan SKUM tersebut kepada Penggugat/Pemohon agar membayar panjar biaya perkara pada bank yang ditunjuk 
Menerima pembayaran panjar biaya perkara sesuai SKUM 
Memberi tanda lunas dan nomor perkara pada SKUM setelah Penggugat/Pemohon membayar panjar biaya perkara di Bank yang ditunjuk
Mencatat panjar biaya perkara dalam buku jurnal perkara yang bersangkutan 
Membubuhkan nomor perkara pada surat gugatan/permohonan dengan stempel yang telah ditetapkan
Menyerahkan SKUM lembat pertama kepada Penggugat/Pemohon untuk disimpan yang bersangkutan
Menyerahkan berkas perkara berisi surat gugatan/permohonan besert SKUM lembar kedua kepada Penggugat/Pemohon untuk mendaftar perkaranya pada petugas meja II
Mencatat perkara gugatan dalam buku register gugatan dan perkara permohonan dalam buku register perrmohonan 11.Menyerahkan satu eksemplar surat gugatan/ permohonan kepada Penggugat/ Pemohon untuk disimpan yang berasangkutan
Pendaftaran Perkara banding
Menerima surat permohonan / pernyataan banding dari Pemohon banding dilampiri salinan putusan yang diperoleh dari meja III 
Meneliti surat permohonan / pernyataan banding beserta lampirannya berupa salinan putusan yang diperoleh Pembanding dari meja III 
Menaksir panjar biaya perkara banding dan membuat SKUM. 
Menerima pembayaran panjar biaya banding sesuai SKUM 
Memberi tanda lunas dan nomor perkara pada SKUM setelah Pemohon banding membayar panjar biaya perkara di Bank yang ditunjuk 
Mencatat panjar biaya perkara dalam buku jurnal biaya banding 
Menyerahkan SKUM lembar pertama kepada Pemohon banding untuk disimpan oleh yang bersangkutan 
Menyerahkan berkas perkara banding kepada Pemohon banding untuk mengajukan perkara bandingnya ke meja I
Menerima surat permohonan banding yang telah dilampiri SKUM lembar kedua dan salinan putusan dari Pemohon banding 
Menerbitkan akta banding dengan ditanda tangani oleh Panitera rangkap 3 plus sejumlah Terbanding
Menyerahkan akta banding beserta lampirannya kepada Pembanding untuk mendaftarkan bandingnya ke meja II
Menerima pendaftaran banding dan mencatat dalam buku register gugatan dan register banding
Menyerahkan berkas banding kepada petugas meja I 
Menerima berkas banding dari Petugas meja II 
Menunjuk JS/JP agar memberitahukan adanya banding kepada Terbanding/ para terbandin 
Menyerahkan relass pemberitahuan banding kepada meja I untuk dimasukkan di dalam berkas banding
Menerima memory banding dari Pembanding dan kontra memory banding dari Terbanding
Menunjuk JS/JP agar menyampaikan memory banding kepada Terbanding dan kontra memory banding kepada pembanding
Menyerahkan memori banding dan kontra memori banding kepada meja I untuk di masukkan di dalam berkas banding 
Menyerahkan relass pemberitahuan memory/kontra memory banding kepada meja I untuk dimasukkan di dalam berkas banding
Menunjuk JS/JP agar memberitahukan kesempatan inzage kepada para pihak dalam perkara banding
Menyerahkan pemberitahuan inzage kepada meja I untuk dimasukkan di dalam berkas banding
Menyusun dan menjilid bundel A dan bundel B perkara banding sesuai ketentuan bindalmin masing-masing rangkap 2 
Mengirimkan berkas asli perkara banding ke Pengadilan Tinggi Agama 
Menyerahkan berkas (photo copy) kepada Panmud Gugatan untuk disimpan di box berkas berjalan
Menerima surat pemberitahuan pendaftaran perkara banding dari PTA
Menunjuk JS/JP memberitahukan pendaftaran perkara banding kepada para pihak dalam banding
Menyerahkan relass pemberitahuan pendaftaran perkara banding kepada meja II untuk di catat dalam register gugatan dan register banding 
Menunjuk JS/JP agar menyampaikan pemberitahuan pendaftaran perkara bandingkepada paraa pihak dalam banding 
Menyerahkan relass pemberitahuan pendaftaran perkara banding kepada Panmud Gugatan untuk disimpan dalam box berkas berjalan
Pendaftaran Perkara Kasasi
Menerima surat permohonan/ pernyataan kasasi dari Pemohon kasasi dilampiri salinan putusan tingkat banding dan tingkat pertama yang diperoleh dari meja III (tiga rangkap) 
Meneliti surat permohonan / pernyataan kasasi beserta lampirannya berupa memory kasasi, salinan putusan banding dan salinan putusan tingkat pertama 
Menaksir panjar biaya perkara kasasi dan membuat SKUM. 
Menerima pembayaran panjar biaya kasasi sesuai SKUM 
Memberi tanda lunas pada SKUM setelah Pemohon kasasi membayar panjar biaya perkara di Bank yang ditunjuk 
Mencatat panjar biaya kasasi dalam buku jurnal biaya kasasi 
Menyerahkan SKUM lembar pertama kepada Pemohon kasasi untuk disimpan oleh yang bersangkutan
Menempelkan SKUM lembar kedua pada surat permohonan kasasi dan menyerahkan kepada Pemohon kasasi untuk diajukan kasasi ke meja I 
Menerima surat permohonan kasasi beserta lampirannya disertai SKUM lembar kedua
Menerbitkan akta permohonan kasasi dengan ditanda tangani oleh Panitera rangkap 3 plus sejumlah Termohon kasasi 
Menyerahkan akta permohonan kasasi beserta surat permohonan kasasi, SKUM dan lampirannya kepada Pemohon kasasi untuk didaftarkan ke meja II 
Menerima pendaftaran permohonan kasasi dari Pemohon kasasi dan mencatat dalam buku register gugatan dan register kasasi 
Menyerahkan berkas kasasi kepada petugas meja I 
Menerima berkas kasasi dari Petugas meja II untuk persiapan pemberkasan 
Menunjuk JS/JP agar memberitahukan adanya kasasi kepada Termohon kasasi
Menyerahkan relass pemberitahuan Kasasi kepada meja I untu dimasukkan di dalam berkas kasasi
Menerima memory kasasi dari pemohon kasasi dan kontra memori kasasi kepada termohon kasasi
Menyerahkan memory kasasi/kontra memory kasasi kepada meja II untuk dicatat di dalam register gugatan dan register kasasi 
Menyerahkan memory kasasi/kontra memory kasasi kepada meja I untuk dimasukkan di dalam berkas kasasi 
Menunjuk JS/JP untuk memberitahukan tentang adanya memory/kontra memory kasasi kepada masing-masing pihak 
Menyerahkan relass pemberitahuan memory kasasi/kontra memory kasasi kepada meja I untuk dimasukkan di dalam berkas kasasi
Menunjuk JS/JP agar memberitahukan kesempatan inzage kepada para pihak dalam perkara kasasi 
Menyerahkan pemberitahuan insage kepada meja I untuk dimasukkan di dalam berkas kasasi 
Menyusun dan menjilid bundel A dan bundel B sesuai dengan urutan yang telah ditentukan masing-masing rangkap 2 
Mengirim berkas kasasi (asli) ke Mahkamah Agung RI 
.Menyerahkan berkas kasasi (Photo copy) kepada Panmud Gugatan untuk disimpan di dalam box berkas berjaalan 
Menerima surat pemberitahuan pendaftaran perkara kasasi dari Maahkamah Agung RI 
Menyerahkan surat pemberitahuan pendaftaran perkara kasasi kepada meja II untuk di catat dalam register gugatan dan register kasasi
Pendaftaran Perkara Peninjauan Kembali
Menerima surat permohonan peninjauan kembali beserta alasannya dilampiri salinan putusan tingkat kasassi, salinan putusan tingkat banding dan salinan putusan tingkat pertama yang diperoleh dari meja III (tiga rangkap) 
Meneliti surat permohonan peninjauan kembali beserta lampirannya berupa salinan putusan kasasi atau salinan putusan banding atau salinan putusan tingkat pertama 
Menaksir panjar biaya perkara peninjauaan kembal dan membuat SKUM. 
Menerima pembayaran panjar biaya perkara peninjauan kembali sesuai SKUM 
Memberi tanda lunas pada SKUM setelah Pemohon PK membayar panjar biaya perkara di Bank yang ditunjuk 
Mencatat panjar biaya PK dalam buku jurnal biaya PK 
Menyerahkan SKUM lembar pertama kepada Pemohon PK untuk disimpan oleh yang bersangkutan
Menempelkan SKUM lembar kedua pada surat permohonan PK dan menyerahkan kepada Pemohon PK untuk diajukan PK ke meja I 
Menerima surat permohonan PK beserta lampirannya disertai SKUM lembar kedua 
Menerbitkan akta permohonan PK dengan ditanda tangani oleh Panitera rangkap 3 plus sejumlah Termohon PK 
Menyerahkan akta permohonan PK beserta surat permohonan PK, SKUM beserta lampirannya kepada Pemohon PK untuk didaftarkan ke meja II 
.Menerima pendaftaran permohonan PK beserta alasan dan bukti-buktinya dari Pemohon PK serta mencatat dalam buku register gugatan dan register PK 
Menunjuk JS/JP agar memberitahukan adanya PK kepada Termohon PK
Menyerahkan relass pemberitahuan PK kepada meja II untuk dimasukkan di dalam berkas PK 
Menerima surat jawaban atas permohonan peninjauan kembali dari Termohon peninjauan kembali 
Menyerahkan jawaban atas permohonan peninjauan kembali kepada meja II untuk dimasukkan ke dalam berkas perkara peninjauan kembal 
Meneruskan berkas perkara PK kepada Panitera disertai blanko PMH, PHS dan Penunjukan panitera sidang 
Menunjuk panitera sidang perkara PK 
Menyerahkan berkas PK kepada Ketua 
Menerbitkan Penetapan Majelis Hakim
Menyerahkan berkas perkara PK kepada Majlis hakim yang ditunjuk 
Menerbitkan PHS dan memerintahkan JS/JP untuk memanggil para Pihak dalam perkara PK melalui Panitera sidang yang ditunjuk 
Menunjuk JS/JP agar memanggil para pihak dalam perkara PK 
Menyerahkan relass panggilan kepada majlis hakim 
Melaksanakan sidang untuk memeriksa dan memastikan adanya alasan PK dan novum
Menyerahkan berkas perkara beserta berita acara sidang kepada meja I 
Menyusun dan menjilid bundel A dan bundel B perkara Peninjauan kembali sesuai ketentuan yang berlaku rangkap 2 
Mengirimkan berkas perkara PK (asli) ke Mahkamah Agung RI
Menyerahkan berkas PK (photo copy) kepada Panmud Gugatan untuk disimpan di dalam box berkas berjalan 
Menerima surat pemberitahuan pendaftaran perkara PK dari Mahkamah Agung 
Menunjuk JS/JP agar memberitahukan pendaftaran perkara PK di Mahkamah Agung kepada para pihak dalam PK 
Menyerahkan relass pemberitahuan pendaftaran perkara PK kepada Panmud gugatan untuk disimpan dalam box berkas berjalan

Penetapan Majelis Hakim
Setelah Ketua Pengadilan Agama Menerima berkas perkara dari panitera, maka Ketua Pengadilan Agama dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sudah harus menunjuk majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dalam sebuah penetapan penunjukkan Majelis Hakim (Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama lihat lampiran II). Dalam menentukan Majelis Hakim, selain memperhatikan dengan sungguh-sungguh kemampuan hakim yang akan di tunjuk sebagai Hakim Ketua Majelis, Ketua Pengadilan Agama Harus Memperhatikan daftar senioritas hakim  dalam menetapkan susunan majelis hakim sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Mahamah Agung bahwa RI Nomor 05 Tahun 1971 yang menyatakan bahwa “ apabila majelis terdiri dari hakim-hakim bukan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan maka Hakim Tertua dalam jabatan hakim harus bertindak sebagai Ketua Majelis. Selain dari itu, hakim yang ditunjuk dalam susunan Majelis Hakim adalah hakim yang tidak berhalangan untuk bersidang dengan sebab cuti atau halangan lain yang dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbarengan dengan itu, Panitera juga menunjuk Panitera sidang yang dalam praktik kesehariannya lazim disebut dengan Panitera Pengganti.
Setelah berkas perkara diserahkan kepada Majelis Hakim dan Majelis Hakim harus telah menetapkan hari sidang paling lambat satu minggu setelah menerima berkas perkara. Kemudian Hakim Ketua Majelis memerintahkan juru sita untuk memanggil para pihak uang berperkara untuk hadir di persidangan pada hari dan tanggal yang telah di tetapkan. 
Suatu yang perlu mendapat perhatan adalah, siapa juru sita yang akan diperintahkan oleh Majelis Hakim untuk melakukan pemanggilan? Pertanyaan ini menjadi penting, karena hamper dapat di pastikan Juru Sita pengganti tidak hanya satu orang dalam setiap Pengadilan Agama, bahkan tidak jarang Juru Sita juga terdapat lebih dari satu. Dalam keadaan Juru Sita dan Juru Sita Pengganti lebih dari Satu apakah sudah dapat dibenarkan apabila Hakim Ketua Majelis memerintahkan Juru Sita/Juru Sita Pengganti untuk memanggil para pihak untuk hadir di sidang pengadilan pada hari dan tanggal yang sudah ditetapkan oleh Majelis Hakim. Oleh karena itu, perlu pemikiran yang lebih serius mengkaji apakah yang selama ini di lakukan sudah sesuai dengan ketentuan hukum acara, kenapa tidak di tunjuk secara khusus oleh Hakim Ketua Majelis dalam penetapan hari sidang siapa yang akan memanggil para pihak berperkara yang telah di tetapkan oleh Majelis Hakim hari sidangnya? Pencantuman nama secara khusus nama JuruSita atau Juru Sita Pengganti yang bertugas untuk memanggil para pihak dalam perkara tersebut tentunya harus terlebih dahulu ada penunjukan dari Panitera siapa Juru Sita atau Juru Sita Pengganti yang bertugas memanggil para pihak dalam perkara nomor registrasi tersebut. Dalam HIR maupun R. Bg  tidak di atur mengenai penunjukan khusus Juru Sita dan Juru Sita Pengganti tetapi sudah lazim di dalam praktik beracara di Peradilan Agama, apabila tidak di temukan di dalam HIR dan R, Bg, maka di pergunakan Rv. Berkenaan dengan penunjukan Juru Sita dan Juru Sita Pengganti ini secara khusus dengan menyebur namanya dapat dipedomani Pasal 5 Rv yang menyebutkan, bahwa pemberitahuan gugatan diberikan langsung oleh juru sita yang ditunjuk yang berkepentingan, jika tergugat bertempat tinggal di ibukota tempat majelis bersidang untuk mengadili gugatan itu atau langsung oleh juru sita yang di tugaskan penggugat atau atas pilihan penggugat dengan suatu surat permohonan pengacarnya dengan perantraan hakim. Dengan demikian, maka untuk lebih optimalnya pertanggungjawab bagi masing-masing Juru Sita atau Juru Sita Pengganti secara hukum, maka perlu langsung ditunjuk siapa Juru Sita atau Juru Sita Pengganti yang bertanggungjawab memanggil pihak berperkara dalam perkara dengan register tersebut.
Penunjukan Panitera Sidang
Setelah penetapan hari sidang, tahap selanjutnya adalah penunjukan penitera pengganti. Panitera menerima kembali berkas perkara yang telah diberi PMH dan menunjuk panitera pengganti yang akan mendampingi majelis hakim dengan suatu penetapan. Kemudian, berkas perkara tersebut diserahkan kepada majelis hakim melalui petugas meja II. Penunjukan panitera pengganti dilakukan dengan cara:
Panitera menunjuk panitera pengganti untuk membantu majelis hakim dalam menangani perkara;
Panitera pengganti membantu majelis hakim dalam persidangan;
Penunjukan penitera pengganti dicatat oleh petugas meja II dalam buku register induk perkara;
Penunjukan penitera pengganti dibuat dalam bentuk “surat penunjukan” yang ditandatangani oleh panitera.

Penetapan Hari Sidang
Penetapan hari sidang (PHS), yaitu penetapan hari pelaksanaan sidang yang dituangkan dalam suatu penetapan hari sidang (PHS) oleh ketua majelis hakim terhadap perkara yang sudah ditetapkan majelis hakimnya segera diserahkan kepada majelis hakim yang ditunjuk.
Penetapan hari sidang merupakan respons pertama dari Pengadilan Agama atas gugatan atau permohonan yang diajukan Penggugat/Pemohon. Selain dari itu, dalam penetapan hari sidang termuat beberapa halyang merupakan pedoman kerja bagi  Juru Sita/Juru Sita Pengganti dalam Melakukan Pemanggilan. Oleh karena itu, setelah Hakim Majelis menerima berkas perkara tersebut, bersama-sama hakim anggotanya memperlajari berkas perkara dengan seksaam apakah dalam surat gugatan Penggugat ada permohonan Sita, kalau tidak ada permohonan Sita, maka penetapan hari sidang dapat mempergunakan formulir sebagaimana tertera dalam Lampiran III. Sedangkan ada permohonan Sita, maka Hakim Ketua Majelis akan mengeluarkan penetapan dengan memilih salah satu dari empat formula yang telah tersedia sesuai dengan hasil musyawarah Majelis, yaitu menolak Sita dan menetapkan hari sidang atau mengabulkan sita dan menagguhkan hari sidang atau mengabulkan sita dan menetapkan hari sidang atau menannguhkan sita dan menetapkan hari sidang. (Pasal 121 dan 122 HIR/Pasal 145 dan 146 R. Bg.
Khusus dalam perkara yang menyangkut bidang perkawinan dasar penetapan hari sidangnya adalah mengacu kepada ketentuan Pasal 26 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, bukan berdasarkan Pasal 145 dan Pasal 146 R. Bg/Pasal 121 dan 122 HIR. Ini dipahami dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyebutkan “ hukum acara yang berlaku pada peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Karena hukum acara itu adalah hukum yang mengatur mulai dari penerimaan perkara sampai penyelesaian perkara, maka sepanjang dalam proses tersebut ditemukan hukum yang harus berlaku bagi Pengadilan Agama, maka yang di perlakukan adalah ketentuan khusus, bukan ketentuan umum. Khusus penetapan hari sidang perkara perceraian terdapat dalam aturan  dalam Pasal  26 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai ketentuan khusus. Dengan demikian, maka ketentuan umum sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 121  dan 122 HIR/Pasal 145 dan 146 R. Bg tidak dapat di terapkan dan pemberlakuan ketentuan tersebut dalam perkara perceraian dianggap sebagai suatu kekeliruan. 
Berkenaan dengan perkara perceraian ini, maka Hakim Ketua Majelis dalam menetapkan hari sidang juga harus memperhatikan apakah tergugat mempunyai alamat yang jelas atau tidak. Apabila tergugat ghaib, maka dasar hukum  pemanggilannya tidak dapat diterapkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 26 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, tetapi harus mengacu kepada Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3) dan Pasal 718 ayat (3) R. Bg/Pasal 390 ayat (3) HIR, sedangkan yang berkenaan dengan Tergugat yang berada di luar negeri, maka dasar dalam penetapan hari sidangnya adalah Pasal 28 dan 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 140 dan 141 Kompilasi Hukum Islam serta Pasal 26 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Dalam praktik masih jarang di temukan pembedaan dasar hukum penetapan hari sidang antara perkara perceraian dengan selain perceraian, apalagi pembedaan dasar penetapan hari sidang dalam variasi perkra perceraian. Bahkan hal ini jarang terdengar dibicarakan, karena pelaku dengan blangko yang sudah dianggap benar. Malah lebih dari itu, ada yang beranggapan bahwa blangko itu sudah final dan tidak boleh dievaluasi.
Kekeliruan ini bisa berkibat fatal, karena penetapan hari sidang dengan mempedomani Pasal 121 dan 122/Pasal 145 dan 146 R. Bg adalah perintah pemanggilan yang patut adalah jarak antara pemanggilan dengan hari sidang tidak boleh kurang dari tiga hari kerja (Pasal 122 HIR/Pasal 146 R. Bg). Sedangkan pemanggilan yang patut berdasarkan Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah antara pemanggilan dengan hari sidang tidak boleh kurang dari tiga hari. Jadi tolak ukur pemanggilan yang patut adalah berpedoman kepada Perintah Hakim Ketus Majelis, kalau perintahnya berdasarkan Pasal 122 HIR//Pasal 146 R. Bg, maka persidangan tidak dapat dilanjutkan kalau tenggang waktu antara pemanggilan dengan hari sidang kurang dari tiga hari kerja, meski perkaranya perkara perceraian. Kalau sidang di lanjutkan, maka persidangan tersebut harus dianggap tidak pernah ada, karena pemanggilan yang menjadi dasar dilangsungkannya sidang tidak patut.
Berkenaan dengan pemanggilan yang patut, dalam praktik Juru Sita/Juru Sita Pengganti sering tidak mempedomani perintah Majelis Hakim dalam penetapan hari sidang, karena apa yang di lakukan oleh Majelis Hakim keliru dan Juru Sita Pengganti sebagai pejabat fungsional yang memahami tatacara pemanggilan juga tidak terlau terikat dengan penetapan hari sidang yang diterapkan Majelis Hakim, tetapi melakukan pemanggilan sesuai dengan pengetahuannya tentang bagaimmana cara pemanggilan yang patut. Lihat saja perkara perceraian yang tergugatnya Ghaib, dalam penetapan hari sidang Majelis Hakim tetap memerintahkan Jurus Sita Pengganti untuk memanggil dengan jarak antara pemanggilan dengan hari sidang tidak kurang dari tuga hari kerja, tetapi Juru Sita Pengganti mengumumkannya. Jadi pada dasar Juru Sita membuat pemanggilan umum.
Tanggal penetapan hari sidang dan tanggal sidang pertama harus dicatat dalam buku Register Induk Perkara (Pemohon/Gugatan). Demikian juga tanggal penundaan sidang kedua dan seterusnya serta alasan-alasan penundaaannya tidak boleh luput dicatat dalam buku register tersebut. Tanggal putus dan amar putusan harus terlihat di dalam buku register, begitu juga upaya hukum dan akta cerai dalamm perkara cerai talak dan cerai gugat harus tercantum dalam buku register perkara gugatan tersebut. Namun demikian, barangkali perlu penyempurnaan mengenai kolom isian buku register tentang pencatatan berkekuataan hukum tetapnya suatu putusan atau penetapan dan pencatatan pengeluaran salinan putusan kepada Penggugat/Pemohon da Tergugat/Termohon sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 302 R. Bg angka ke 1. 

Pemanggilan Para Pihak
Pemanggilan pihak-pihak untuk lingkungan Peradilan Agama sekarang ini, ada aturan dalam UU No. 7 Tahun 1989 Jo PP No 9 Tahun 1975 tetapi hanya mengenai perkara permohonan cerai talaq dan perkara gugatan cerai. Selain dari kedua jenis perkara tersebut tidak diatur, sehingga masih dikaji tersendiri.
Masalah Pemanggilan dan Pemberitahuan putusan dimuat dalam Pasal 122, 288, dan Pasal 390 HIR dan Pasal 146, Pasal 178 R.Bg serta Pasal 26-28 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 138-140 KHI. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
Pemanggilan dalam wilayah yuridiksi
Ada dua asas yang harus diperhatikan dalam melakukan pemanggilan yaitu: (1) harus dilakukan secara resmi, maksudnya sasaran atau objek pemanggilan harus tepat menurut tata cara perundang-undangan yang berlaku, (2) harus memenuhi tenggang waktu yang patut, artinya dalam menetapkan tanggal dan hari dipersidangan hendaklah memperhatikan letak jauh dekatnya tempat tinggal pihak-pihak yang berperkara, yakni tenggang waktu yang ditetapkan tidak boleh kurang dari tiga hari sebelum acara persidangan dimulai dan didalamnya tidak termasuk hari besar atau libur.
Pemanggilan disampaikan langsung kepada pribadi para pihak yang berperkara dtempat kediamannya. Kalau perkara dikuasakan kepada kuasa hukumnya, biasanya dialamatkan kepada kantor dimana kuasa hukum tersebut berpraktik.
Panggilan di luar wilayah yuridiksi
Apabila tergugat berada di luar wilayah yuridiksi Pengadilan Agama yang bersangkutan, maka Ketua Pengadilan Agama memohon bantuan pemanggilan kepada Pengadilan Agama dimana tempat tergugat berada. Surat permohonan pemanggilan tersebut dibuat dan ditanda tangani oleh panitera yang isinya memohon kepada Pengadilan Agama yang dituju untuk memanggil para pihak (biasanya Tergugat) karena saat ini berada ditempat dalam wilayah yuridiksi Pengadilan Agama tersebut. Surat permohonan pemanggilan itu juga harus berisi ketentuan pasti hari sidang dilaksanakan dan memerintahkan para pihak untuk menghadap Pengadilan Agama yang meminta bantuan pemanggilan. Bersamaan dengan surat permohonan pemanggilan tersebut juga dilampirkan salinan atau fokotopo surat gugatan Penggugat sebanyak satu lembar untuk diketahui oleh Tergugat sebagaimana mestinya.
Surat permohonan pemanggilan yang dikirim kepada Pengadilan Agama yang dituju tanpa melampirkan surat panggilan (relaas) dari Pengadilan Agama yang minta bantuan Pengadilan. Yang membuat dan menandatangani surat panggilan (relaas) adalah Juru Sita Pengadilan Agama yang dimohonkan bantuan pemanggilan. Pengadilan Agama yang dimohonkan bantuan pemanggilan. Pengadilan Agama yang meminta bantuan pemanggilan itu harus mempertimbangkan jauhnya jarak Pengadilan Agama dimana Tergugat berada. Hal ini perlu guna menghindari terjadinya persidangan Pengadilan Agama di mana relaas panggilan belum diterima oleh Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Pengadilan yang menerima permohonan pemanggilan dari Pengadilan Agama lain diharapkan segera melaksanakan permintaan/permohonan penaggilan tersebut dengan memerintahkan Panitera atau Juru Sita untuk melaksanakannya, agar pelaksanaan pemanggilan ini dapat berjalan dengan lancar dan tertib. Diharapkan kepada Panitera untuk mengontrol dengan serius pelaksanaan tugas Juru Sita dan melaporkannya segera disampaikan kepada Pengadilan Agama yang meminta pemanggilan tersebut agar proses persidangan dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Hal ini penting karena apabila diabaikan, Peradilan Agama tersebut menyulitkan dalam menyelesaikan perkara yang sedang disidangkan itu. Terhadap hal Mahkamah Agung RI dalam setiap penataran Teknis Yustisial selalu menekankan agar Pengadilan Agama yang menerima permohonan Pemanggilan itu agar melaksanakan dengan sungguh-sungguh dengan penuh tanggung jawab, sebab apabila hal ini diabaikan maka akan merugikan pihak yang berperkara dan akan menurunkan wibawa Pengadilan Agama dimata masyarakat.
Tentang biaya pemanggilan dapat ditempuh dengan dua cara yaitu: (1) mengirimkannya bersama-sama dengan surat permohonan permintaan pemanggilan kepada Pengadilan Agama yang di tuju. Ini kalau sudah diketahui dengan pasti jarak radius dari Pengadilan Agama dan tempat tinggal tergugat, (2) mengirimkannya setelah pemanggilan dilaksanakan oleh Pengadilan agama yang melaksanakan pemanggilan itu besarnya biaya dapat diketahui dari relaas panggilan yang dikirim.
Pemanggilan di luar negeri
Jika para pihak yang berperkara berada di luar negeri sebagaimana tersebut dalam Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 140 Kompilasi Hukum Islam, maka panggilan dilakukan melalui Direktorat Jendral dan Konsuler Departemen Luar Negeri. Tembusan permohonan pemanggilan itu disampaikan kepada Perwakilan RI/Kedutaan Besar RI di negara mana pihak yang dipanggil bertempat tinggal, dan disampaikan juga kepada pihak yang dipanggil, dengan melampirkan sehelai surat gugatan.
Peradilan Agama yang meminta bantuan pemanggilan melali Direktorat Jendral Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri supaya memperhitungkan jarak jauhnya negara yang dituju, sehingga pihak yang dipanggil ada kesempatan untuk mempersiapkan diri memenuhi panggilan tersebut. Jangan sampai menentukan hari sidang dalam jangka waktu yang pendek, karena akan menyulitkan pihak-pihak yang dipanggil dan Majelis Hakim itu sendiri dalam memeriksa perkara tersebut. Jangka waktu yang ideal adalah minimal tiga bulan dan maksimal enam bulan. Dalam masa tersebut dapat disusulkan surat selanjutnya, sebagai monitoring terhadap surat permintaan sebelumnya. Surat ketua Mahkamah Agung 
RI yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri Batam Nomor 055/75/91/I/UMTU/Pdt/1991 tanggal 11 Mei 1991 mengemukakan bahwa surat permohonan untuk memanggil Tergugat yang berada di luar negeri harus dikirim melalui Departemen Kehakiman RI c.q. Direktorat Perdata, kemduian diteruskan kepada Direktorat Jendral Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri. Apabila dikhawatirkan proses pengiriman memerlukan waktu yang lama dan terlalu panjang jalur birokrasinya, maka permohonan itu dapat dikirim langsung kepada Direktorat Jendral Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, tembusannya dikirim kepada Perwakilan RI Duta Besar RI setempat dengan melampirkan sehelai surat gugatan.
Pemanggilan bagi tergugat yang gaib
Dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang jelas di Indonesia, atau tidak diketahui pasti tempat tinggal tergugat berada, maka pemanggilannya dilaksanakan dengan melihat jenis perkaranya, yaitu:
Perkara yang berhubungan dengan perkawinan
Panggilan pihak Tergugat dilakukan dengan berpedoman kepada pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 139 Kompilasi Hukum Islam. Pemanggilan dilaksanakan dengan cara mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lainnya sebagaimana yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama secara resmi dengan ketentuan yang berlaku.
Pengumuman melalui surat kabar atau mass media sebagaimana tersebut diatas harus dilaksanakan sebanyak dua kali dengang tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya tiga bulan. Dalam hal pemanggilan kuasa hukumnya tetap tidak hadir, maka gugatan itu diterima tanpa adanya kehadiran Tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Perkara yang berkenaan dengan kewarisan
Pemanggilan dalam berperkara yang berkenaan dengan kewarisan dilaksanakan melalui Bupati atau Wali Kotamadya dalam wilayah yuridiksi Pengadilan Agama setempat. Surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman Peradilan Agama di depan pintu utama dan juga pada papan pengumuman Bupati atau Wali Kotamadya sebagaimana tersebut dalam Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 718 ayat (3) R.Bg.
Dalam hal yang dipanggil meninggal dunia, maka panggilan tersebut disampaikan kepada ahli warisnya dengan cara menyampaikannya secara langsung kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak diketahui tempatnya, maka panggilan dilaksanakan melalui Kepala Desa atau Lurah sebagaimana tersebut dalam Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 718 ayat (2) R.bg.
Agar pelaksanaan pemanggilan sebagaimana tersebut diatas dapat terlaksana dengan baik maka semua tugas-tugas dapat berjalan dengan lancar dan tertib sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pemanggilan Tergugat dalam perkara Prodeo
Pelaksaan pemanggilan pihak-pihak yang berperkara dalam perkara prodeo (gugatan Cuma-Cuma) tetap dilaksanakan sebagaimana dalam perkara biasa. Pemanggilan itu dapat dilaksanakan apabila yang bersangkutan telah mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara tersebut baik secara lisan maupun tertulis dan pengadilan tersebut telah memberi izin kepada yang bersangkutan untuk beracara secara prodeo. Pemanggilan dilaksanakan oleh Juru Sita dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh Peradilan Agama.
Apabila Peradilan Agama berkehendak memanggil Tergugat pertama, dan perkara tersebut belum ditentukan belum ditentukan prodeo atai tidak dalam sidang insidental, maka surat permohonan pemanggilan yang dikirim kepada Pengadilan Agama lain itu dilampirkan juga surat keterangan miskin yang dikeluarkan oleh Kepala Desan atau Lurah yang telah disahkan oleh Camat selaku Kepala Wilayah. Disamping itu, kepala Pengadilan Agama yang menerima permohonan pemanggilan ini diberi penjelasan bahwa orang tersebut (Penggugat) dalam keadaan miskin dan biaya panggilan adalah nihil.
Apabila Pengadilan Agama yang berwenang telah menetapkan izin beracara secara prodeo dalam sidang insidental, maka surat permohonan permintaan pemanggilan tersebut yang disampaikan kepada Pengadilan Agama yang dituju supaya dilampirkan juga salinan putusan sela tentang izin beracara secara prodeo tersebut wajib melaksanakan pemanggilan itu dengan penuh tanggung jawab. Apabila pnggilan (relaas) segera dikirimkan kepad Pengadilan Agama yang memohon dilaksanakan pemanggilan kepada tergugat secara Cuma-Cuma(prodeo).




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan 
Lembaga peradilan adalah salah satu upaya hukum Negara untuk lebih menertibkan dasar-dasar hukum baik yg terdapat dalam pancasila ataupun UUD yang kesemuanya tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendaftaran perkara di Peradilan Agama harus memenuhi syarat-syarat kelengkapan yang diajukan ke Pengadilan Agama yaitu dengan melalui panitera.  Setelah perkara terdaftar di kepaniteraan Penanitera wajib secepatnya menyampaikan berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan Agama, disertai “usul tindak” atau “saran tindak”, yang kira-kira berbunyi “sudah di teliti dan syarat formal cukup”. Atas dasar itu ketua pengadilan Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili masalah tersebut, dengan surat penetapan, disebut “penunjukan majelis hakim” (PMH).

B. Saran
Makalah ini diharapkan dapat membantu menambah wawasan serta pengetahuan pembaca. Penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun bagi makalah ini, baik dalam segi penulisan maupun subtansi pembahasan. Karena penyusun menyadari, makalah ini jauh dari nilai kesempurnaan.






DAFTAR PUSTAKA

Dr.Mardani,PENDAFTARAN PERKARA DAN PERSIAPAN PERSIDANGAN 2017, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariah (Jakarta: PT SINAR GRAFIKA).
Rasyid, Roihan A.,2016Hukum Acara Peradilan Agama. (Depok:PT RAJAGRAFINDO PERSADA).
http://www.pa-morotai.go.id/hal-prosedur-perkara-pengadilan-agama-tobelo.html (diakses tanggal 20 Oktober 2018 jam 13.26).
Chatib, Rasyid, dan Syaifuddin, 2009 Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama. (Yogyakarta: UII Press).
http://www.pa-tangerangkota.go.id/v3/4.SOP/berperkara/01.SOP_penerimaan_perkara_tingkat_pertama.pdf.
Mayaningsih, Dewi, S.H., M.H dan Dr. H. Zulkarnaen, S.H., M.H.,2017,Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, Bandung, CV PUSTAKA SETIA.
Manan, Prof. Dr. Drs. H. Abdul, S.H, S.IP. M. Hum., 2016, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta.

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian, Asas dan Sumber Hukum Peradilan Agama

Langkah-Langkah Analisis Hukum (Pemecahan Masalah Hukum)

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA PENGAJUAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN