Penyebab Terjadinya Konflik Antara PT. Freeport dan Suku Amungme
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mengalami peristiwa titik balik dalam sejarah politik dan ekonominya pasca rezim Orde Lama tak lagi berkuasa. Orde Baru yang menggantikan Orde Lama giat mendorong berbagai perubahan dalam sistem ekonomi dan kultur politik Indonesia. Pemerintah rezim Orde Baru percaya bahwa ideologi pembangunan yang ditandai dengan masuknya korporasi modal asing ke Indonesia merupakan satu-satunya jalan untuk memperbaiki situasi ekonomi dalam negeri yang saat itu sedang memburuk. Pengadopsian ideologi pembangunan ini juga dimaksudkan oleh Orde Baru untuk mengintegrasikan diri secara politik dengan Blok Barat. Suharto yang tampil memimpin Orde Baru memilih jalan yang praktis berseberangan dengan Sukarno, pemimpin Orde Lama yang dikenal gigih melawan Barat.
Salah satu korporasi asing yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Freeport yang berbasis di Louisiana, Amerika Serikat. Freeport adalah korporasi pertambangan asing pertama yang beroperasi di Indonesia setelah disahkannya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.Kontrak. Kehadiran Freeport sejak awal memang tidak dikehendaki oleh warga suku Amungme. Penolakan dan perlawanan yang dilakukan oleh warga suku Amungme kemudian berubah menjadi konflik yang berkepanjangan antara mereka dengan Freeport yang didukung Negara yang kehadirannya diwakili oleh pemerintah dan militer. Berbagai peristiwa perlawanan terjadi sejak saat masuknya Freeport pada tahun 1967. Sejak saat itu berbagai tindakan kekerasan dilakukan oleh Negara terhadap warga suku Amungme.
Rumusan Masalah
Apa yang menjadi penyebab konflik antara suku Amungme dengan PT. Freeport dan Bagaimana proses terjadinya konflik anara keduanya ?
Bagaimana penyelesaian konflik antara suku Amungme dengan PT. Freeport ?
Tujuan
Mengetahui penyebab konflik antara suku Amungme dengan PT. Freeport
Mengetahu proses terjadinya konflik anara keduanya
Mengetahui penyelesaian konflik antara suku Amungme dengan PT. Freeport
Manfaat
Untuk mengetahui konflik antara suku Amungme dengan PT. Freeport dan cara penyelesaiannya
Sebagai bahan bacaan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Hukum
BAB II
PEMBAHASAN
Penyebab Konflik
Kemarahan warga suku Amungme terhadap Freeport pada dasarnya terjadi karena pengambilalihan tanah ulayat secara sepihak tanpa dialog dan tanpa persetujuan, apalagi tanah yang diambilalih adalah tanah yang disucikan warga suku Amungme. Berbagai aksi protes dan penolakan terhadap kehadiran Freeport dijawab dengan tindakan kekerasan oleh Negara. Aksi protes yang dilancarkan oleh warga suku Amungme pada tahun 1973 berubah menjadi bentrokan yang menyebabkan empat orang pekerja Freeport meninggal dan banyak warga suku Amungme menderita luka-luka. Peristiwa di Lembah Tsinga itu dihentikan secara paksa oleh militer dengan memakan korban empat puluh orang dari suku Amungme. Berbagai aksi protes yang dilakukan oleh warga suku Amungme sejak kehadiran Freeport tahun 1967 membuat korporasi itu mengakui keberadaan dan eksistensi suku Amungme.
Demi memperlancar kegiatan operasi pertambangannya, termasuk juga perluasan lahan pertambangan, maka Freeport memulai perundingan dengan warga suku Amungme. Perundingan tersebut kemudian melahirkan kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 8 Januari 1974 dan sering disebut dengan January Agreement. Isi kesepakatan January Agreement sebenarnya sangat merugikan warga suku Amungme karena mereka diharuskan menyerahkan tanah ulayat yang mereka sucikan bagi kegiatan operasi pertambangan Freeport. Kerugian lain yang warga suku Amungme alami adalah mereka juga tidak diperbolehkan memasuki tanah yang telah mereka serahkan pada Freeport. Hal ini jelas merugikan mereka sebab tanah tersebut adalah tanah tempat dimana mereka hidup, berburu, dan memanen sagu.
Maka setelah beberapa saat isi kesepakatan January Agreement tak kunjung dipenuhi warga suku Amungme kembali melakukan protes selama beberapa kali.Untuk menghentikan rangkaian protes itu maka pada bulan Juni 1977 TNI AD membombardir Desa Agimuga yang mengakibatkan terbunuhnya sekitar tiga puluh warga suku Amungme. Aksi protes warga suku Amungme kembali terjadi pada tahun 1985. Kali ini aksi protes dipicu oleh rencana Freeport yang ingin membangun kompleks perumahan bagi para pekerjanya yaitu Kompleks Timika Indah. Selain itu Freeport juga membangun jalan penghubung dari Pad II ke Tembagapura dan Kota Baru dengan melalui Sungai Ajkwa.
Hubungan Freeport dengan Negara
Pada tahun 1967 Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim Orde Baru dan kemudian menjadi aktor ekonomi dan politik yang signifikan di Indonesia. Selama bertahuntahun Freeport dapat melakukan kegiatan bisnisnya secara aman dengan cara beradaptasi pada budaya bisnis yang mendasarkan diri pada praktek-praktek kotor seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk mengamankan operasi pertambangannya Freeport menjalin hubungan dekat dengan Suharto dan para petinggi militer yang tunduk kepadanya. Dengan mengelola hubungan dekat itu Freeport mendapatkan jaminan kebijakan politik dan ekonomi yang menguntungkan bisnis pertambangannya termasuk juga di dalamnya jaminan perlindungan secara fisik dari Suharto.
Freeport bahkan dapat memiliki daerah kekuasaannya sendiri di dalam dan di sekitar lahan operasi pertambangan dengan bantuan suplai militer dari pemerintah untuk melindungi daerah tersebut. Freeport membangun hubungan dekat dengan rezim Suharto melalui beberapa cara yaitu pertama melalui hubungan kedekatan pribadi secara emosional, kedua melalui pemberian saham korporasi, dan ketiga melalui pemberian sejumlah besar uang secara langsung. Meskipun ada beberapa cara yang digunakan namun secara umum dapat dikatakan bahwa Freeport mengeluarkan sejumlah dana untuk membiayai Suharto dan teman-teman dekatnya.
Sebagai hasil dari kedekatan hubungan tersebut pada awal dekade 1990-an Freeport telah menjadi bagian integral dari sistem patronase Suharto. Jaminan perlindungan secara politik dan ekonomi maupun keamanan yang diperoleh Freeport didapat pertama-tama melalui lobi yang dilakukan oleh para petinggi korporasi itu. Salah seorang petinggi Freeport yang memiliki koneksi luas di antara para teman-teman dekat dan orang kepercayaan Suharto adalah James ‘Jim Bob’ Moffett, direktur eksekutif Freeport. Awal dari hubungan dekat antara Moffett dan orang kepercayaan Suharto adalah ketika pada tahun 1988 petinggi Freeport itu berkenalan dengan Ginandjar Kartasasmita. Ginandjar adalah orang kepercayaan Suharto yang saat itu menjabat sebagai menteri pertambangan.
Penyelesaian Konflik
Nader dan Todd dalam Ihromi (1993:210-212) mengungkapkan bahwa ada berbagai cara yang dilakukan dalam menyelesaikan sengketa yaitu;
Membiarkan saja atau lumping it. Pihak yang merasakan perlakuan yang tidak adil, gagal dalam upaya untuk menekankan tuntutannya. Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah atau isu-isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak yang ia rasakan merugikannya.
Mengelak atau Avoidance. Pihak yang merasa dirugikan, memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya bahkan sama sekali menghentikan hubungan tersebut.
Paksaan atau coercion, satu pihak memaksakan pemecahan pada pihak lain. Ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan ini atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai.
Perundingan atau negotiation. Dua pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang mereka hadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat, tanpa adanya pihak ketiga yang mencampurinya.
Mediasi atau mediation. Dalam cara ini ada pihak ketiga yang membantu kedua pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan.
Arbitrase. Dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara pihak ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator itu.
Peradilan atau adjudication. Pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu artinya berupaya bahwa keputusan dilaksanakan.
Apabila Melihat teori tersebut suku Amungme telah melakukan penyersaian konflik dengan cara :
Mengelak atau Avoidance, warga suku Amungme kemudian melakukan aksi protes pada tahun 1977 namun aksi protes mereka dibalas dengan tindakan kekerasan oleh pemerintah rezim Suharto melalui tangan militer. Setelah peristiwa tahun 1977 itu pemerintah pusat di Jakarta mengirim pasukan militer untuk melindungi area pertambangan Freeport dari warga suku Amungme yang dianggap mengganggu kelancaran operasi pertambangan. Ketika itu bahkan militer menempatkan beberapa pos penjagaan di daerah Kwamki Lama dan pasukan infanteri dari Batalion
753/Cenderawasih diterjunkan ke berbagai kampung di sekitar pemukiman warga suku Amungme di Agimuga untuk mengawasi kegiatan mereka.
Paksaan atau coercion, Kemarahan warga suku Amungme terhadap Freeport pada dasarnya terjadi karena pengambilalihan tanah ulayat secara sepihak tanpa dialog dan tanpa persetujuan, apalagi tanah yang diambilalih adalah tanah yang disucikan warga suku Amungme. Berbagai aksi protes dan penolakan terhadap kehadiran Freeport dijawab dengan tindakan kekerasan oleh Negara. Aksi protes yang dilancarkan oleh warga suku Amungme pada tahun 1973 berubah menjadi bentrokan yang menyebabkan empat orang pekerja Freeport meninggal dan banyak warga suku Amungme menderita luka-luka. Peristiwa di Lembah Tsinga itu dihentikan secara paksa oleh militer dengan memakan korban empat puluh orang dari suku Amungme. Berbagai aksi protes yang dilakukan oleh warga suku Amungme sejak kehadiran Freeport tahun 1967 membuat korporasi itu mengakui keberadaan dan eksistensi suku Amungme.Demi memperlancar kegiatan operasi pertambangannya, termasuk juga perluasan lahan pertambangan, maka Freeport memulai perundingan dengan warga suku Amungme. Perundingan tersebut kemudian melahirkan kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 8 Januari 1974 dan sering disebut dengan January Agreement.
Perundingan atau negotiation suku amungme dan Pt Freeport melakukan perundingan dengan membuat sebuah perjanjian January Agreement pada 8 Januari 1974. January Agreement adalah perjanjian yang berisi kesepakatan kerjasama antara suku Amungme dan Freeport dimana suku Amungme harus merelakan tanahnya menjadi lahan pertambangan dan Freeport sebagai gantinya akan memberikan beberapa fasilitas sosial. Akibat dari penandatanganJanuary Agreement ini warga suku Amungme dilarang memasuki tanah ulayat mereka di sekitar Tembagapura.
Ganti Kerugian
Freeport memang tidak memiliki kekuasaan riil meskipun demikian korporasi itu memiliki kekuatan ekonomi untuk mengkolonisasi state elite. Proses kolonisasi melalui kekuatan ekonomi ini dapat membuat Freeport memiliki kemampuan untuk mempengaruhi state elite dalam membuat kebijakan yang menguntungkan dirinya. Kolonisasi kelas kapitalis atas posisi-posisi kunci dalam institusi-institusi pembentuk Negara dapat melapangkan jalan mereka untuk menyebarkan pengaruh secara luas dalam berbagai kebijakan publik.
Freeport juga melakukan apa yang disebut sebagai political financing ketika meluncurkan program Dana Kemitraan Freeport bagi Pengembangan Masyarakat yang pengelolaannya diberikan kepada Lembaga Pembangunan Masyarakat Amungme dan Kamoro. Melalui langkah political financing yang dibungkus dalam bingkai tanggung jawab sosial korporasi, Freeport mendapatkan keuntungan sebab dari situ pemerintah daerah dan warga Amungme, Kamoro, serta kelima suku asli lainnya dalam jangka waktu yang lama akan merasa bergantung pada kehadiran dan kemurahan hati Freeport.
Kelima suku yang pada awalnya hidup dalam formasi sosial prakapitalis seperti berburu dan bercocoktanam secara subsisten secara perlahan dipaksa untuk meninggalkan pola hidup mereka itu karena tanah tempat mereka berburu dan bercocoktanam telah diambil alih oleh Freeport. Proses akumulasi primitif semacam ini memunculkan tenaga kerja baru siap pakai yang murah. Mereka kemudian memasuki formasi sosial yang baru yaitu formasi sosial kapitalis. Freeport tidak hanya melakukan pembiayaan pada masyarakat ketujuh suku asli saja melainkan juga pada institusi pembentuk Negara lainnya yaitu pemerintah daerah. Dengan memanfaatkan kekuatan ekonominya yaitu bahwa Freeport menyumbang 96% dari keseluruhan PDB Kabupaten Mimika serta praktek political financing yaitu dengan memberi 400.000 dollar per tahun selama lima tahun sejak 2006 untuk berbagai proyek pembangunan di Kabupaten Mimika maka sangat mudah bagi Freeport untuk menaklukkan institusi pemerintah daerah sebagai salah satu institusi pembentuk Negara. Untuk menjamin keberlangsungan bisnis pertambangannya pada masa pasca Orde Baru Freeport melakukan perubahan gaya pendekatan. Pada masa pasca Orde Baru korporasi itu melakukan pendekatan yang lebih bersifat obyektif. Hal itu dapat dilihat dari pemberian sejumlah dana resmi terhadap polisi dan militer yang digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, makanan, perjalanan dinas, administrasi, dan program bantuan masyarakat yang dikelola oleh polisi dan militer.
Selain melakukan pembayaran resmi terhadap polisi dan militer Freeport juga mencanangkan program tanggung jawab sosial perusahaan. Melalui program tanggungjawab sosial perusahaan ini Freeport dapat menjalankan dua agenda sekaligus yaitu membangun hubungan dekat dengan Negara melalui pemerintah daerah sekaligus juga membuat mereka tergantung pada kekuatan modal korporasi tambang itu sehingga dengan demikian kolonisasi pada institusi pembentuk Negara, yaitu pemerintah daerah atau sub-central governments menurut Miliband, dapat terlaksana. Kolonisasi tetap penting sebab hal itulah yang memastikan bahwa korporasi dapat memiliki pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan publik yang menguntungkan posisi bisnis mereka. Perubahan cara kolonisasi terhadap state elite melalui program tanggungjawab sosial perusahaan itu selain didorong oleh faktor perubahan situasi politik pasca Orde Baru yang menjadi lebih terbuka dan demokratis dari yang sebelumnya otoritarian juga didorong oleh perubahan besar norma pembangunan dalam skala internasional. Korporasi-korporasi pertambangan tak lagi bisa bergerak bebas tanpa kontrol sebab mereka terikat oleh beberapa prinsip yang mengharuskan mereka untuk melakukan beberapa langkah perbaikan.
BAB III
KESIMPULAN
Konflik yang terjadi antara suku Amungme dengan PT Freeport terjadi ketika Salah Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport pertama kali ditandatangani pada 7 April 1967. Kontrak Karya generasi pertama itu memuat kesepakatan mengenai eksplorasi Gunung Ertsberg oleh Freeport dimana wilayah itu secara historis merupakan wilayah adat suku Amungme. Warga suku Amungme yang tidak pernah diajak berdialog mengenai rencana eksplorasi tambang tersebut menolak keberadaan Freeport di tanah ulayat mereka dan melakukan protes keras pada pemerintah Orde Barudan Freeport. Alasan warga suku Amungme melakukan protes adalah pertama- tama karena kegiatan eksplorasi dilakukan di Gunung Ertsberg, sebuah gunung suci bagi suku Amungme yang dipercayai sebagai tempat bersemayamnya arwah nenek moyang mereka. Alasan kedua adalah kegiatan eksplorasi tambang oleh Freeport menyebabkan warga suku Amungme terusir dari tanah ulayat mereka terutama setelah ditandatanganinya.
Konflik yang berkepanjangan antara suku Amungme dngan Pt Freeport yang sangat berkepanjangan banyak terjadi pelanggaran baik dari hak ulayat tanah suku amngme dirampas dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh karena itu terjadi perundingan dengan adanya perjanjian, January Agreement adalah perjanjian yang berisi kesepakatan kerjasama antara suku Amungme dan Freeport dimana suku Amungme harus merelakan tanahnya menjadi lahan pertambangan dan Freeport sebagai gantinya akan memberikan beberapa fasilitas sosial.
DAFTAR PUSAKA
Amiruddin Al Rahab dan Aderito Jesus de Soares. 2003. Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan Militer. Jakarta: Elsam
O.T. Ihromi, Antropologi Hukum :Sebuah Bunga Rampai, 2003, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Andrianus Bintang Hanto Nugroho,”Kekuatan Modal dan Prilaku Kekerasan Negara Pada Masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru
http://sicca-ca.org/reports.php#3 dan Laporan Audit ICCA, PT Freeport Indonesia, Ringkasan Eksekutif dalam http://sicca-ca.org/PDFs/RingkasanEksekutif.pdf
Comments
Post a Comment