Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum perbankan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perbankan. Bank Konvensional merupakan lembaga keuangan yang aman dalam melakukan berbagai macam aktivitas keuangan sedangkan Bank Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum Islam, dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah.
Perbankan merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi di Indonesia yang mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan. Didalam sistem hukum Indonesia, segala bentuk praktek perbankan berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam ideologi Negara Indonesia yakni Pancasila dan tujuan Negara Indonesia dalam UUD 1945.
Kehadiran bank di masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam proses pembangunan nasional. Prasarana perbankan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat cepat setelah reformasi. Untuk mengatasi adanya sengketa atau permasalahan hukum yang terjadi didalam perbankan maka terdapat upaya penyelesaian yang dikenal dengan litigasi (melalui pengadilan) dan non litigasi (diluar pengadilan seperti mediasi dan arbitrase).
Rumusan Masalah
Apa pengertian dari Hukum Perbankan ?
Apa pengertian dari Bank Konvensional ?
Apa pengertian dari Bank Syariah ?
Apa perbedaan Bank Syariah dengan Bank Kovensional ?
Apa pengertian dari Nasabah ?
Apa struktur yang ada dalam perbankan dan apa tanggung jawab dari struktur tersebut ?
Apa saja teori-teori yang berkaitan dengan Rahasia Bank ?
 Apa pengertian Rahasia Bank Menurut UU No.7 Tahun 1992 Jo. UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan ?
Bagaimana Sanksi atas Pelanggaran Ketentuan Rahasia Bank ?

Tujuan
Untuk mengetahui pengertian dari Hukum Perbankan.
Untuk mengetahui pengertian dari Bank Konvensional.
Untuk mengetahui pengertian dari Bank Syariah.
Untuk mengetahui perbedaan Bank Konvensional dengan Bank Syariah
Untuk mengetahui pengertian dari Nasabah.
Untuk mengetahui struktur yang ada dalam perbankan dan apa tanggung jawab dari struktur tersebut.
Untuk mengetahui teori-teori yang berkaitan dengan Rahasia Bank.
Untuk mengetahui pengertian Rahasia Bank Menurut UU No.7 Tahun 1992 Jo. UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Untuk mengetahui atas Pelanggaran Ketentuan Rahasia Bank.

Manfaat
Agar dapat mengetahui serta memahami tentang hukum perbankan serta struktur, perbedaan dalam sistem perbankan di Indonesia serta sumber hukum yang mengatur tentang perbankan itu sendiri di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Hukum Perbankan
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum perbankan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perbankan. Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai pengertian hukum perbankan tidaklah cukup hanya dengan memberikan suatu rumusan yang demikian. Oleh karena itu, perlu dikemukakan beberapa pengertian hukum perbankan dari para ahli hukum perbankan.
Menurut Muhammad Djumhana, hukum perbankan adalah sebagai kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.
Sedangkan menurut Munir Fuady merumuskan hukum perbankan adalah seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundan-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan. 
Beranjak dari beberapa pengertian mengenai hukum perbankan diatas, menurut pendapat penulis dengan mengacu pada pengertian perbankan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan kegiatan usahanya, maka pada prinsipnya dapat dirumuskan bahwa hukum perbankan adalah keseluruhan norma-nornma tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan kegiatan usahanya.
Berkaitan dengan pengertian ini, kiranya dapat menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan norma-norma tertulis dalam pengertian diatas adalah seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bank, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis adalah hal-hal atau kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktik perbankan.
Pengertian Bank Konvensional
Bank merupakan lembaga keuangan yang aman dalam melakukan berbagai macam aktivitas keuangan. Aktivitas keuangan yang sering dilakukan masyarakat di Negara maju dan negara berkembang antara lain aktivitas penyimpanan dan penyaluran dana.
Di Negara maju, bank menjadi lembaga yang sangat strategis dan memiliki peran penting dalam perkembangan perekonomian negara. Di Negara berkembang, kebutuhan masyarakat terhadap bank tidak hanya terbatas pada penyimpanan dana dan penyaluran dana saja, akan tetapi juga terhadap pelayanan jasa yang ditawarkan oleh bank.
Bank dapat menghimpun dana masyarakat secara langsung dari nasabah. Bank merupakan lembaga yang dipercaya oleh masyarakat dari berbagai macam kalangan dalam menempatkan danannya secara aman. Di sisi lain, bank berperan menyalurkan dana kepada masyarakat. Bank dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Masyarakat dapat secara langsung mendapat pinjaman dari bank, sepanjang peminjam dapat memenuhi persyaratan yang diberikan oleh bank. Pada dasarnya bank mempunyai peran dalam dua sisi, yaitu menghimpun dana secara langsung yang berasal dari masyarakat yang sedang kelebihan dana (surplus unit), dan menyalurkan dana secara langsung kepada masyarakat yang membutuhkan dana (defisit unit) untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga bank disebut dengan Financial Depository Institution.
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank menghimpun dana masyarakat kemudian menyalurkan dananya kepada masyarakat dengan tujuan untuk mendorong peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Dua fungsi pokok bank yaitu penghimpunan dana masyarakat dan penyaluran dana kepada masyarakat, oleh karena itu disebut Financial Intermediary.
Pengertian Bank Syariah
Bank Syariah di Indonesia lahir sejak tahun 1992 dan Bank Syariah pertama di Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia. Pada tahun 1992 hingga 1999, perkembangan Bank Muamalat Indonesia masih tergolong stagnan. Namun, sejak adanya krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 hingga 1998 maka para banker melihat bahwa Bank Muamalat Indonesia tidak terlalu terkena dampak krisis moneter. Bank Syariah memeiliki sistem operasional yang berbeda dengan Bank konvensional lainnya. Bank Syariah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya.
Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan unit usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank Syariah memiliki fungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dan investasi dari pihak pemilik dana. Fungsi lain nya ialah menyalurkan dana kepada pihak lain yang membutuhkan dana dalam bentuk jual beli maupun kerjasama usaha.
Bank Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum Islam, dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah. Imbalan yang diterima oleh Bank Syariah maupun yang dibayarakan kepada nasabah tergantung akad dan perjanjian antara nasabah dan bank. Perjanjian yang terdapat di perbankan Syariah harus tunduk pada syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam Syariah Islam.Perbankan Syariah diatur didalam Undang-Undang Perbankan Syariah No 21 Tahun 2008. Bank Syariah menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum Syariah (BUS), unit usaha Syariah (UUS), dan bank pembiayaan rakyat Syariah (BPRS).
Bank umum Syariah adalah bank Syariah yang berdiri sendiri sesuai dengan akta pendiriannya, bukan merupakan bagian dari bank konvensional. Beberapa contoh bank umum Syariah antara lain Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mega, Bank Syariah Bukopin, Bank BCA Syariah, dan Bank BRI Syariah. 
Unit Usaha Syariah merupakan unit usaha syariah yang masih dibawah pengelolaan bank konvensional. Unit usaha syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat bank konvensional berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja dikantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah. Contoh unit usaha syariah antara lain BNI Syariah, Bank Permata Syariah, BII Syariah, dan Bank Danamon Syariah.














Perbedaan Bank Syariah dan Bank Kovensional

No.

Bank Syariah

No.

Bank Konvensional


1. Investasi hanya untuk proyek dan produk yang halal serta menguntungkan

1.Investasi tidak mempertimbangkan halal atau haram asalkan proyek yang dibiayai menguntungkan

2. Perjanjian dibuat dalam bentuk akad sesuai dengan Syariah Islam

2. Perjanjian menggunakan hukum positif


3. Hubungan antara bank dan nasabah adalah mitra

3. Hubungan antara bank dan nasabah adalah kreditor dan debitur


4. Dewan Pengawas terdiri dari BI, Bapepam, Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah (DPS)

4. Dewan Pengawas terdiri dari BI, Bapepam, dan Komisaris


5. Penyelesaian sengketa diupayakan diselesaikan secara musyawarah antara bank dan nasabah melalui peradilan agama

5. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri setempat

Pengertian Nasabah

Nasabah merupakan pihak yang menggunakan jasa bank. Penghimpunan dana dan pemberian kredit merupakan pelayanan jasa perbankan yang utama dari semua kegiatan lembaga keuangan bank. Berdasarkan Pasal 1 angka (16) UU Perbankan diintroduksikan rumusan nasabah yaitu nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Rumusan tersebut kemudian diperinci pada butir berikutnya, yaitu sebagai berikut:
Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Di dalam praktik-praktik perbankan, dikenal 3 (tiga) macam nasabah antara lain:
Nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya disuatu bank, misalnya  dalam bentuk deposito atau tabungan.
Nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan, misalnya kredit usaha kecil, kredit pemilikan rumah dan sebagainnya.
Nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank misalnya, transaksi antara importir sebagai pembeli dan eksportir di luar negeri. Untuk transaksi semacam ini, biasanya importir membuka letter of credit (L/C) pada suatu bank demi kelancaran dan keamanan pembayaran.

Struktur Perbankan  

Struktur organisasi Bank adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap  bagian dan serta posisi yang ada pada suatu organisasi Bank dalam menjalankan kegiatan operasionalnya untuk mencapai suatu tujuan. Struktur organisasi Bank menggambarkan dengan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan antara satu dengan yang lain dan bagaimana hubungan dan aktifitas serta fungsi yang di batasi. Struktur organisasi Bank yang baik harus menjelaskan hubungan wewenang siapa melapor kepada siapa. Selain dari pada itu struktur organisasi Bank juga menunjukkan spesialisasi-spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan. Pada struktur organisasi bank, biasanya terdapat tiga tingkatan organisasi manajemen yakni ada Top Manajemen, Middle Manajemen, dan Lower Manajemen.
Top Manajemen adalah posisi paling atas atau yang memiliki wewenang besar dari suatu organisasi. Biasanya, Top Manajemen terdiri dari Direksi, Komisaris, Direktur utama, dan sejenisnya. Tugas daripada Top Manajemen ini adalah mengatur strategi dari pada organisasi yang di pegang.
Middle Manajemen adalah posisi dibawah Top Manajemen. Tugasnya adalah menjalankan strategi yang di tetapkan oleh Top Manajemen. Selain melaksanakannya, Middle Manajemen juga menyusun taktik dalam pencapaian strategi yang diinginkan oleh Top Manajemen. Biasanya posisi Middle Manajemen ditepati oleh kepala bagian, Manajer, Supervisor, dan sejenisnya.
 Lower Manajemen adalah posisi paling bawah daripada suatu organisasi. Tugasnya adalah melaksanakan segala perintah daripada Top Manajemen dan Middle Manajemen. Lower Manajemen bisa juga disebut sebagai pegawai atau karyawan.
Struktur organisasi Bank merupakan suatu sistem yang formal, berstruktur dan terkoordinasi dari sekelompok orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan dalam kegiatan menyalurkan dan menghimpun dana masyarakat (Bank). Dalam struktur organisasi Bank harus dibagi atas Front Office (customer service) dan Back Office sehingga pelayanan lebih baik  dan lebih cepat. Dimana Front Office merupakan bagian-bagian organisasi dimana para karyawan secara langsung melayani nasabah.
Dengan cara ini, karyawan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, seperti dalam teller system. Sedangkan Back Office merupakan bagian-bagian organisasi, seperti pembukuan, audit, urusan  sumber daya manusia yang para karyawannya tidak berhubungan langsung dengan nasabah. Back office juga merupakan kunci keberhasilan bank.
Teori-Teori Mengenai Rahasia Bank 
Sebelum membahas mengenai teori-teori yang berkaitan dengan rahasia bank tersebut perlu dikemukakan bahwa permasalahan rahasia bank sering kali menjadi topic atau tema yang menarik untuk diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik dikalangan akademisi dan praktisi, bahkan para politisi. Menariknya masalah tersebut pada dasarnya disebabkan adanya keingintahuan dari masyarakat, terutama pihak-pihak yang berkepentingan, mengenai keadaan keuangan seorang nasabah debitur yang berada disuatu bank tertentu, sehat atau tidak, bermasalah atau tidak. Tetapi dilain pihak, bank tidak mungkin dapat memberikan keterangan tersebut karena terbentur dengan ketentuan yang mengatur rahasia bank. 
Adanya ketentuan mengenai rahasia bank itu kemudian menimbulkan kesan bagi masyarakat, bahwa bank sengaja untuk menyembunyikan keadaan keuangan yang tidak sehat dari nasabah debitur, baik orang perseorangan, atau perusahaan yang sedang menjadi sorotan masyarakat. Dengan perkataan lain, selama ini timbul kesan bahwa dunia perbankan bersembunyi di balik ketentuan rahasia bank untuk melindungi kepentingan nasabahnya yang belum tentu benar. Tetapi, apabila bank sungguh-sungguh melindungi kepentingan nasabahnya yang jujur dan bersih, maka hal itu merupakan suatu keharusan dan kepatutan.
Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah penyimpan dan simpanannya maupun bagi kepentingan dari bank itu tersendiri, sebab apabila nasabah penyimpan ini tidak memercayai bank di mana ia menyimpan simpanannya tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya. Oleh karena itu, sebagai suatu lembaga keuangan yang berfungsi menghimpun dan dari masyarakat dalam bentuk simpanan, sudah sepatutnya bank menerapkan  ketentuan rahasia bank tersebut secara konsisten dan bertanggung jawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melindungi kepentingan nasabahnya.
Menurut Drs.Muhammad Djumhana, SH., dalam bukunya Hukum Perbankan di Indonesia, terdapat 2 (dua) teori mengenai rahasia bank, yaitu teori rahasia bank yang bersifat mutlak, yaitu bank ini mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia nasabah yang diketahui bank karena kegiatan usahanya dalam  keadaan apa pun, biasa atau dalam keadaan luar biasa, dan teori rahasia bank bersifat nisbi, yaitu bahwa bank diperbolehkan membuka rahasia nasabahnya, bila untuk kepentingan yang mendesak, misalnya untuk kepentingan negara. 
Bertitik tolak dari pendapat tersebut, mengenai teori rahasia bank, penulis dapat mengemukakan sebagai berikut.
Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak (Absolutely Theory)
Menurut teori ini bank mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apa pun juga, dalam keadaan biasa atau dalam keadaan luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan individu, sehingga kepentingan negara dan masyarakat sering terabaikan.
Teori Rahasia Bank yang Bersifat Relatif
Menurut teori ini bank diperbolehkan membuka rahasia atau memberi  keterangan mengenai nasabahnya, apabila untuk kepentingan yang mendesak, misalnya untuk kepentingan negara atau kepentingan hukum. Teori ini banyak dianut oleh bank-bank di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Adanya pengecualian dalam ketentuan rahasia bank memungkinkan untuk kepentingan tertentu suatu badan atau instansi diperbolehkan meminta keterangan atau data tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Rahasia Bank Menurut UU No.7 Tahun 1992 Jo. UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
 Pengertian dan Ruang Lingkup Rahasia Bank 
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No.7 Tahun 1992, yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.
Berkaitan dengan itu, ketentuan Pasal 40 Ayat (1) menentukan bahwa bank dilarang memberikan  keterangan yang dicatat pada bank tentang keadaan  keuangan dalam  hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam  hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan bahwa makna yang terkandung dalam pengertian rahasia bank adalah larangan-larangan bagi perbankan untuk memberi keterangan atu informasi kepada siapa pun juga mengenai keadaan keuangan dan hal-hal lain yang patut dirahasiakan dari nasabahnya, untuk kepentingan nasabah maupun untuk kepentingan bank itu sendiri.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 16 terseb ut diubah menjadi Pasal 1 angka 28 UU No.10 Tahun 1998, yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Sedangkan Pasal 40 ayat (1) di atas diubah menjadi Pasal 40 Ayat (1) UU No.10 Tahun 1998, yang mengemukakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44 A.
Berdasarkan ketentuan di atas, menunjukan bahwa pengertian dan ruang lingkup mengenai rahasia bank yang diatur dalam UU No.7 Tahun 1992 dan UU No.10 Tahun 1998 adalah berbeda. Dalam UU No.7 Tahun 1992 ketentuan rahasia bank tersebut lebih luas, karena berlaku bagi setiap nasabah dengan tidak membedakan antara nasabah penyimpan dan nasabah peminjam. Sedangkan ketentuan rahasia bank yang ditentukan dalam UU No.10 Tahun 1998 lebih sempit, karena hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dan simpanannya saja.
Pengecualian Ketentuan Rahasia Bank Menurut UU No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank dalam UU No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 adalah mengacu kepada ketentuan Pasal 40 Ayat (1) UU No.10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44 A.
Berdasarkan ketentuan Pasal 40 Ayat (1) tersebut dapatlah diuraikan secara sistematis pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank sebagai berikut:
Untuk kepentingan perpajakan 
Mengenai pembukaann rahasia bank untuk kepentingan perpajakan ini diatur dalam ketentuan Pasal 41 Ayat (1) yang menentukan bahwa, “Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank yang Telah Diserahkan kepada BUPLN/PUPN
Ketentuan Pasal 41 A Ayat (1) adalah landasan hukum untuk pembukaan rahasia bank untuk kepentingan piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau Panitia Urusan Piutang Negara.
Secara lengkap ketentuan Pasal 41 A Ayat (1) menentukan bahwa:
Untuk penyelesaian piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara Untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur.
Untuk Kepentingan Peradilan dalam Perkara Pidana 
Pembukaan atau penerobosan terhadap ketentuan rahasia bank dapat juga dilakukan dengan alasan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 Ayat (1) UU No.10 Tahun 1998.
Ketentuan Pasal 42 ayat (1) menentukan bahwa:
Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia  dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
Dalam Perkara Perdata antara Bank dengan Nasabah 
Menurut ketentuan Pasal 43 UU No.10 Tahun 1998 bahwa:
Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.
Ketentuan ini merupakan landasan hukum dan alasan dapat dibukanya atau diterobosnya ketentuan rahasia bankm untuk kepentingan penyelesaian perkara perdata antara bank dan nasabahnya di pengadilan. Untuk itu direksi dari bank yang bersangkutan dapat memberikan keterangan mengenai keadaan keuangan dari nasabah tersebut.
Dalam Tukar-menukar Informasi Antarbank
Menurut ketentuan Pasal 44 Ayat (1) UU No.10 Tahun 1998, bahwa dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank juga merupakan alasan untuk pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank.
Pasal 44 Ayat (1) menyatakan bahwa:
Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
Ketentuan di atas tentu dapat dilakukan apabila ada suatu kepentingan dari bank yang bersangkutan yang berkaitan dengan nasabah tersebut, dan tidak menimbulkan kerugian bagi nasabah. Oleh sebab itu, pelaksanaan dari ketentuan ini lebih lanjut diatur oleh Bank Indonesia sebagimana ditentukan oleh Pasal 44 Ayat (2) UU No.10 Tahun 1998.
Atas Permintaan, Persetujuan atau Kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Ahli Warisnya
Alasan-alasan pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank yang telah dikemukakan diatas, pada dasarnya, mengandung suatu kepentingan dari negara, kepentingan penyelesaian perkara, dan kepentingan dari bank.
Undang-undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan juga mengatur mengenai pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank atas dasar kepentingan dari nasabah penyimpanan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 A.
Pasal 44 Ayat (1) menentukan bahwa:

Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan Nasabah penyimpanan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 44 A Ayat (2) diatur bahwa:
Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari penyimpanan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.
Dari ketentuan Pasal 44 A Ayat (1) dan Ayat (2) diatas, menunjukan bahwa bank berkewajiban untuk memberikan keterangan mengenai simpanan dari nasabah penyimpan kepada pihak yang diberi kuasa atau ditunjuk oleh nasabah penyimpan dan/atau memberi keterangan simpanan dari nasabah penyimpan kepada ahli warisnya apabila ia meninggal dunia.
Pengecualian Terhadap Ketentuan Rahasia Bank di Luar UU No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Selain pengecualian-pengecualian yang telah diuraikan di atas, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diberikan kewenangan dalam membuka rahasia bank. Kewenangan tersebut didasarkan pada surat Mahkamah Agung No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan rahasia bank yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2 Desember 2004. Surat Keputusan Mahkamah Agung RI tersebut diterbitkan sebagai jawaban atas Surat Gubernur Bank Indonesia No.6/2/GBI/ DHk/Rahasia, tanggal 8 Agustus 2004 yang meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung untuk menjawab persoalan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membuka rahasia bank.
Dalam Surat Keputusan  memuat penegasan hukum, bahwa ketentuan Pasal 12 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan ketentuan khusus (lex specialis) yang memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dengan berdasarkan ketentuan tersebut, maka prosedur izin membuka rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-undang No.20 Tahun 2001 jo. Pasal 42 Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, tidak berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pemberian kewenangan untuk menerobos rahasia bank kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah suatu terobosan hukum yang tepat dalam upaya mencegah dan menindak tindak pidana di bidang perbankan.
 Sanksi atas Pelanggaran Ketentuan Rahasia Bank
Ketentuan rahasia bank sebagaimana telah dikemukakan di atas merupakan suatu ketentuan yang menempatkan bank sebagai pihak yang berkewajiban untuk menjaga segala keterangan yang berhubungan dengan nasabah penyimpan dan simpanannya.
Pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank tersebut telah diatur sedemikian rupa dalam UU No.10 Tahun 1998 yang berupa ancaman pidana dan denda secara akumulatif.
Menurut ketentuan Pasal 47 Ayat (1) bahwa:
Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 47 Ayat (2) menentukan bahwa:
Anggota Dewan Komisaris, direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.800.000.000.000 (delapan ratus miliar rupiah).
Berdasarkan ketentuan Pasal 47 Ayat (1) dan Ayat (2) di atas, menunjukan bahwa sanksi pidana yang berupa pidana penjara dan denda dikenakan kepada siapa saja yang memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud Pasal 40. Sanksi tersebut dikenakan juga kepada Anggota Dewan Komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi  yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut ketentuan Pasal 40. 
Selanjutnya ketentuan Pasal 47 A menentukan bahwa Anggota Dewan Komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 A dan Pasal 44 A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.4.000.000.000 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah).
Ketentuan Pasal 47 A di atas mengatur mengenai sanksi yang dikenakan kepada Anggota Dewan Komisaris, direksi, pegawai bank, dan pihak terafiliasi yang telah mengabaikan kewajibannya untuk memberikan keterangan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 A dan Pasal 44 A.



Kasus dalam Sistem Perbankan
Tindak Pidana Pencucian Uang ( Money Laundering)
Bank sebagai lembaga yang fungsi utamanya menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali dengan berbagai jenis jasa transaksi keuangan yang ditawarkan khususnya dalam memindahkan dana dari bank satu ke bank lain di dalam maupun luar negeri dalam waktu yang sangat cepat serta ketentuan kerahasian keuangan yang cukup ketat, maka perbankan menjadi pilihan yang cukup menarik bagi pelaku pencucian uang untuk memasukkan dana hasil kejahatannya. 
Pencucian uang sederhananya adalah “bersih-bersih” terhadap uang atau harta agar pihak lain tidak mengetahui bahwa uang tersebut sebenarnya berasal dari hasil kejahatan atau tindak pidana. Modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan. Saking maraknya hampir setiap hari media cetak maupun media eletronik memberitakan terkait tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pejabat baik pusat maupun daerah dengan tindak pidana utamanya adalah Korupsi.
Objek Pencucian Uang
Menurut Prof Sarah N.Welling, money laundering dimulai dengan adanya dirty money “uang kotor”. Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, pertama melalui penggelapan pajak yaitu memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan pajak lebih sedikit dari yang sebenarnya diperoleh. Kedua, yaitu memperoleh uang dengan cara-cara yang melanggar hukum, seperti penjualan narkoba secara gelap (druf trafficking, Perjudian (gambling), penyuapan (bribery), terroris (terrorism), pelacuran (prostitution), perdangan senjata ( arms trafficking), penyeludupan minuman keras, tembakau dan pornografi (smuggling of contraband alcohol, tobacco, pornography), penyeludupan imigran gelap (ilegal imigration rackets atau people smuggling), dan kejahatan kerah putih (white collar crime). 
Frank Hagan (1989) menjelaskan money laundering tersebut didukung oleh negara yang memiliki tax heaven, atau negara bebas pajak, seperti Bahama, Swiss, Panama, Austria, Singapura dan lain-lain. Di negara tersebut terdapat bank yang melindungi nasabah yang menanamkan modal di bank tersebut. Oleh karena itu ketika dirty money telah tertanam di salah satu bank negara tax heaven maka para penegak hukum akan sangat sukar untuk menemukan uang tersebut, karena mereka menerapkan ketentuan kerahasiaan yang sangat ketat. Selain itu Frank Hagan Juga menyetujui bahwa kejahatan pencucian uang rentan terhadap proses pemilihan politik.
Tahapan dalam Praktek Pencucian Uang
Secara sederhana proses pencucian uang pada tiga kegiatan, yakni placement, layering, dan integration.
Placement  merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank, atau dipergunakan unutuk membeli sejumlah instrumen keuangan (cheques, money order) yang akan ditagihkan dan sejumlahnya didepositokan di rekening bank yang berada dilokasi lain. Placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabung uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah. 
Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktifitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang di desain untuk menyamarkan sumber uang “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan fiktif dengan memanfatkan ketentuan rahasia bank.
Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu “legitimate explanation” bagi hasil kejahatan. Disini uang yang “dicuci” melalui placement maupun layering dialihkan dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya menjadi sumber uang yang di laundry. Pada tahap ini uang yang talah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini terjadi apabila proses layering berhasil dengan baik.
Sumber Hukum
Dalam UU PP-TPPU pengertian tindak pidana pencucian uang dalam pasal 3 sampai pasal 6. Pasal 3 menyebutkan, bahwa Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana  sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 menyatakan : 
Dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena Tindak Pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah).  
 Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentinga perpajakan. Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwasanya dirjen pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan disektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya.
 Sebab kenapa munculmya Perppu ini karena Indonesia membuat perjanjian bersama negara G20 untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran infromasi keuangan secara otomatis ( Automatic Exchange of Financial Account Information). Serta Indonesia sangat membutuhkan penerimaan pajak dikarenakan untuk mensejahterakan rakyatnya.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seperti yang sudah dijelaskan didalam makalah ini, bahwa antara bank konvensional dengan bank syariah memiliki beberapa perbedaan baik didalam sistem pelaksanaannya maupun dari segi struktur-strukturnya. Di Indonesia, hukum untuk pelaksanaan perbankan sendiri telah diatur sedemikian rupa didalam UU No. 7 Tahun 1998 tentang Perbankan dan pelaksanaan perbankan syariah telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Sumber hukum perbankan adalah ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mencakup berbagai ketentuan dalam melaksanakan sistem perbankan di Indonesia saat ini. Didalam perbankan terdapat hubungan antara bank dengan nasabahnya dan dalam hubungan tersebut terdapat pula kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya kepada pihak luar yang dinamakan kerahasiaan bank. Akan tetapi, terkadang terjadi beberapa pelanggaran dalam konteks kerahasiaan bank tersebut. Faktor yang menyebabkan adanya pelanggaran kerahasiaan bank ada 2 yaitu faktor intern (para pejabat dan karyawan bank tersebut) dan ekstern (persaingan usaha antar bank). Dan upaya pencegahan terjadinya pelanggaran tersebut serta ketentuan perbankan telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998.
Saran
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini masih jauh dari kata sempurna, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata maka dari itu kami mengharapkan kritik yang membangun dari para pembaca agar dikemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah ini dapat menambah wawasan dalam mempelajari hukum perbankan.

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian, Asas dan Sumber Hukum Peradilan Agama

Langkah-Langkah Analisis Hukum (Pemecahan Masalah Hukum)

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA PENGAJUAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN