Prediksi Putusan MK Pada Sengketa Pilpres 2019
Tugas Uas Logika Penalaran Hukum
1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ( Pasal 1 UU NO. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu)
Pemilu juga merupakan suatu pesta demokrasi bagi negara Indonesia, sebab rakyat diberikan hak untuk memilih sendiri wakil-wakilnya agar mampu menjabat sebagai pemerintah. Namun untuk bisa mendapatkan jabatan tersebut para calon wakil rakyat tersebut harus berkompetisi untuk memperoleh suara terbanyak. Khususnya pemilihan presiden yang dapat mencapai jumlah suara mininal 51% dari total pemilih, maka dianggap telah memenangkan pemilu dan berstatus sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Dalam proses pemilu tersebut tentulah ada kalah dan ada yang menang, jika ada kandidat yang kalah dan merasa dirugikan dalam berbagai hal yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan suara atau merasa ada kecurangan maka akan melakukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi yang dimana dalah satu kewenangan dari MK adalah menyelesaikan sengketa pilpres, dan inilah yang sedang dialami oleh kubu BPN ( Badan Pemenangan Nasional ) atau kubu pasangan calon nomor urut 02 yang telah melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan Termohonnya adalah KPU ( Komisi Pemilihan Umum).
Dasar-dasar BPN dalam melakukan gugatan disebabkan karna pihak BPN menduga telah terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif di pilpres 2019. Sebab KPU telah menetapkan rekapitulasi suara dimana pasangan calon nomor urut 01 mendapatkam total suara sebanyak 85.607.362 suara atau sebesar 55,50% adapun pasangan calon nomor urut 02 mendapatkan total suara sebanyak 68.650.239 atau sebesar 44,50%. Menurut pendapat BPN banyak masyarakat daerah yang melaporkan ke pada mereka bahwa ada banyak terjadi kecurangan di daerah dan hal ini yang mengugatkan mereka untuk membawa perkara ini ke Mahkamah Konstitusi. Pihak BPN beranggapan bahwasanya Pilpres tahun 2019 tidak menerapkan asas luberjurdil yang tercantum dalam pasal 22 E ayat 1 UUD 1945. Kemudian, dalam persidangan di MK saksi dari pemohon membeberkan bukti terkait adanya kecurangan dalam bentuk : NIK berkecamatan siluman, KTP ganda, nik rekayasa dan pemilih dibawah umur. Terkait dugaan penggelembungan suara tersebut, tim hukum Prabowo mengutip surat KPU Nomor 860/PL.02.1-KPT/01/KPU/IV/2019 yang menyebutkan ada 810.352 TPS dalam Pemilu 2019. Tapi dalam situng KPU, justru berkurang menjadi 813.336 TPS. Tim hukum Prabowo mencurigai terdapat 2.984 TPS siluman. Terbukti atau tidaknya maka mari sama-sama kita menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi.
Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan Pemilu. ( Pasal 1 ayat 8 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu). Dalam kasus sengketa Pilpres tahun 2019 ini KPU berpendapat bahwa KPU tidak berpihak kepada salah satu paslon dan tidak memberikan keuntungan kepada salah satu pihak, dengan cara memanipulasi perolehan hasil suara atau bentuk-bentuk kecurangan lainnya, sebagaimana yang dituduhkan BPN.
Bukti bahwa KPU tidak bersalah atau tidak melakukan kecurangan apapun terbukti dengan tidak ada satupun putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan KPU melakukan kecurangan. DKPP sendiri bertugas berdasarkan UU pemilu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu, hal ini menyatakan bahwasanga KPU telah melakukan tugasnya sesuai dengan Pasal 14 huruf h UU Pemilu. Bahkan KPU telah melakukan transparansi terhadap rekapitulasi suara dan dengan mudahnya di lihat di website KPU ini membuktikan bahwasanya KPU sangatlah transparans dalam penyelenggaraan pemilu 2019.
Menurut pendapat TKN mereka mendukung calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menggugat hasil rekapitulasi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah itu dinilai lebih tepat ketimbang turun ke jalan. Sangat sesuai konstitusi yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembuktian dapat disampaikan detail dan seksama di MK. Setelah mendengarkan gugatan pihak BPN ke MK mereka berpendapat bahwa gugatan yang diajukan sangat lemah sebab kubu TKN memastikan tidak ada yang namanya penggelembungam suara, karena mereka juga memiliki kertas C1 dan jika tim BPN mau menggugat maka haruslah mampu membuktikan bahwasanya ada penggelembungan suara sebanyak 16,9 juta tersebut.
2. Menganalisis kasus dengan pendekatan penalaran dan argumentasi dan juga jika saya sebagai hakimnya
Setelah menonton sidang dan mendengarkan pendapat ahli dan saksi serta melihat alat buktinya maka menurut saya, langkah pertama itu hakim harus menyerap fakta-fakta yang tersaji didalam sidang, dipersidangan pemohon menggugat mengenai kecurangan dengan termohonnya adalah KPU yang di duga telah melakukan manipulasi data dengan nama sistemnya situng, dan diduga telah di intervensi oleh penguasa. Kemudian pemohon juga menyatakan bahwa pilpres tidak sesuai dengan asas luberjirdil terdapat dalam Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945, dimana hal itu di bantah oleh KPU. Saksi ahli KPU mengatakan bahwasanya situng itu merupakan manifestasi dari kertas C1 yang telah dihitung dan data C1 tersebut di input ke situng dan tidak dapat di hack oleh orang lain, hanya bisa diakses oleh anggota KPU, serta KPU menurut DKPP tidak ada suatu pun putusan mengenai kecurangan yang terjadi.
Dalam pengajuan gugatan ke MK itu ada yang namanya pendekatan kualitatif dan kuantitatif, gugatan mengenai perselisihan hasil suara merupakan kuantitatif dan gugatan mengenai TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) merupakan ranah kualitatif. Dari proses pembuktian yang telah terjadi maka dapat dilihat bahwasanya pemohon tidak dapat membuktikan bahwasanya telah terjadi kecurangan dalam hal selisih suara, pemohon menyatakan bahwa telah terjadi penggelembungan suara 22 juta, yang mana pemohon menyebut 22 juta suara itu ilegal, pemohon juga menjelaskan 22 juta suara itu berasal dari DPT siluman, selama persidangan pemohon tidak mampu membuktikan dimana saja DPT siluman itu dan didaerah-daerah mana saja ada DPT siluman tersebut ada. Jika pemohonan tidak mampu membuktikan terkait DPT siluman maka gugatan pemohon akam ditolak.
Terkait gugatan kecurangan TSM Prof Mahfud telah menyatakan bahwasanya TSM dapat dijadikan syarat untuk merubah hasil pemilu jika pelanggaran TSM tersebut memberikan dampak yang signifikan terhadap hasil suara, contoh yang terstruktur itu adalah jika ada pejabat atau orang yang berada di organisasi pemerintahan, namun jika saksi yang mendengarkan orang yang melakukan pelanggaran tersebut tidak memilih paslon yang disuruh pelangaat maka itu bukanlah bukti, karena tidak ada sistematisasi yang jelas maka itu hanya dianggap pelanggaran kampanye biasa dan MK tidak bisa melakukan penilaian terhadap hal yang demikian. Sesungguhnya yang paling penting dalam persidangan itu adalah pembuktian.
Jangankan kejahatan yang canggih, kejahatan yang sederhana saja jika tidak bisa dibuktikan secara layak, ya tidak bisa. Bukti harus lebih terang dari cahaya
- Prof Eddy Hiariej
Comments
Post a Comment