UPAYA HUKUM DALAM PERADILAN AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap perkara perdata belum tentu dapat diterima oleh para pihak yang berperkara, karena kadang kala putusan hakim mengandung cacat yuridis. Hal ini disebabkan hakim sebagai manusia biasa tidak luput dari kehilafan dan kekurangan sehingga putusan yang dijatuhkan terhadap suatu perkara, seringkali mengandung kekeliruan-kekeliruan ataupun kekurangan-kekurangan, akibatnya pihak yang dinyatakan kalah enggan menerima putusan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak mencerminkan rasa keadilan.
Wahyu Affandi mengemukakan bahwaputusan hakim yang tidak adil tidak memuaskan masyarakat dan oleh karena itu wajar apabila ada yang menilai tidak bermutunya suatu putusan hakim menyebabkan perkara banding dan kasasimeningkat. Selain upaya hukum banding dan kasasi yang dapat digunakan oleh para pencari keadilan untuk membantah putusan peradilan, masih ada lagi upaya hukum yang lain yakni penijauan kembali sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor.48 Tahun 2009 tentang ketentuan kekuasaan kehakiman bahwa apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang memperoleh keputusan yang tetap dapat dimintakan penijauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Ketentuan-ketentuan pasal 21 UU No. 48 tahun 2009 dimaksud agar peradilan benar-benar menjalankan keadilan demi memenuhi hasrat dan para pencari keadilan, maka disamping kemungkinan untuk memohon pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi, dibuka pula kemungkinan untuk memohon penijauankembali terhadap putusan peradilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud pengertian dan macam upaya Hukum dalam Hukum Acara Peradilan Agama?
Bagaimana proses upaya hukum banding dalam Hukum Acara Peradilan Agama ?
Bagaimana proses upaya hukum kasasi dalam Hukum Acara Peradilan Agama?
Bagaimana proses penijauan kembali dalam Hukum Acara Peradilan Agama?
Tujuan Penulisan
Mengetahui dan memahami pengertian dan macam upaya hukum
Mengetahui dan memahami proses upaya hukum banding
Mengetahui dan memahami upaya hukum kasasi
Mengetahui dan memahami upaya hukum Peninjauan Kembali
Manfaat Penulisan
Dapat mengerti Upaya hukum pada tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Sebagai sumber bacaan
BAB II
PEMBAHASAN
Upaya Hukum Banding
Pengertian Banding
Banding yang disebut juga appel ialah permohonan pemeriksaan kembali terhadap putusan atau penetapan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atas putusan atau penetapan tersebut, ke pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) yang mewilayahi pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan, melalui pengadilan tingkat pertama yang memutus tersebut, dalam tenggang waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.
Lembaga peradilan didirikan dengan tujuan untuk menegakkan keadilan bagi para pihak pencari keadilan. Para pencari keadilan mengharapkan keadilan dapat diperoleh melalui keputusan hakim yang memerikasa dan mengadili perkara yang diajukan. Namun demikian, dalam kenyataannya, suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, dan tidak mustahil bersifat memihak. Maka, oleh karena itu, demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki.
Bagi setiap putusan hakim tersedia pada umunya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau alat untuk mencegah dan memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Apabila tujuan penegakan keadilan dirasakan oleh salah satu pihak masih belum terpenuhi, maka dapatlah para pihak tersebut mengajukan keberatannya atas putusan hakim di tingkat pertama untuk dapat diperiksa kembali oleh pengadilan di tingkat yang lebih tinggi.
Upaya hukum yang dapat dilakukan tersebut disebut upaya banding, yang dalam lingkungan Peradilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, dan kemudian upaya hukum ke tingkat yang lebih tinggi. Upaya hukum banding tersebut adalah upaya hukum biasa di lingkungan badan peradilan. Di samping upaya hukum biasa masih ada lagi upaya hukum luar biasa yaitu dengan mengupayakan Peninjauan Kembali (PK) apabila di kemudian hari terdapat hal-hal baru yang bila terungkap sebelum hakim mengambil putusan, maka putusan akan menjadi lain.
Pemohon banding disebut pembanding dan lawannya disebut terbanding. Mungkin saja pihak-pihak sama-sama memohon banding dan ketika itu hanya ada pembanding, tidak ada terbanding.
Tata cara dan dasar Hukum
Berdasarkan pasal 7-15 UU No. 20 tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di jawa dan madura, maka tata cara permohonan banding adalah:
Tenggang waktu permohonan banding:
14 hari setelah putusan diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak pemohon banding harus hadir sendiri di persidangan,
14 hari sejak putusan diberitahukan apabila pemohon banding tidak hadir pada saaat putusan diucapkan di persidangan,
Jika perkara prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan dari pengadilan tinggi kepada pemohon banding (Pasal 6 ayat 3)
Permohonan banding disampaikan kepada panitera pengadilan yang memutus perkara Pengadilan Agama yang hendak di banding.
Yang berhak mengajukan:
Pihak yang berperkara;
Kuasanya setelah mendapat kuasa khusus.
Bentuk permintaan banding:
Dengan lisan;
Secara terlulis.
Biaya banding dibebankan kepada pemohon bukan kepada pihak termohon.
Panitera bertugas:
Meregistrasi (mendaftar) permohonan,
Membuat akta banding,
Melampirkan akta banding dalam berkas perkara sebagai bukti dari PTA.
Juru sita menyampaikan pemberitahuan permohonan banding kepada pihak lawan.
Penyampaian pemberitahuan (inzage) oleh juru sita:
Selambat-lambatnya dalam tempo 14 hari dari tanggal permohonan banding,
Pemberitahuan (inzage) disampaikan kepada kedua belah pihak yang berperkara.
Penyampaian memori banding:
Tenggang waktu mengajukan banding tidak terbatas,
Harus memberitahukan dengan relas adanya memori banding kepada pihak lawan.
Harus memberi tahu dengan relas adnya kontra memori banding kepada pemohon banding.
Memori banding, kontra memori banding dan relas pemberitahuan dilampirkan dalam berkas perkara.
Satu bulan sejak tanggal permohonan banding, berkas perkara harus dikirim ke Pengadilan Tinggi (Pasal 11 ayat 2 UU tahun 1947)
Administrasi Perkara Banding
Bundel A adalah himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugat dan semua kegiatan atau proses penyidangan/ pemeriksaan perkara tersebut yang selalu disimpan di Pengadilan Agama di mana perkara itu diputus.
Jika tidak ada banding, bundel A ini dinamakan berkas perkara yang disusun dengan sususan sebagai berikut:
Surat gugatan;
Penetapan Penunjukan Majelis Hakim (PMH);
Penetapan Hari Sidang (PHS);
Relaas-relaas panggilan;
Berita acara sidang, termasuk replik, duplik, pihak-pihak yang berperkara merupakan satu kesatuan dengan berita acara;
Surat kuasa dari kedua belah pihak (bila memakai kuasa);
Penetapan sita conservatoir atau revindicatoir;
Berita acara sita conservatoir/ revindicatoir;
Lampiran-lampiran surat yang diajukan oleh kedua belah pihak (bila ada);
Surat-surat bukti penggugat;
Surat-surat bukti tergugat;
Tanggapan bukti-bukti tergugat dari penggugat;
Tanggapan bukti-bukti penggugat dari tergugat;
Berita acara pemeriksaan setempat;
Gambar situasi (kalau ada);
Surat-surat lainnya.
Bundel B adalah himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan permohonan banding, kasasi dan peninjauan kembali serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya permohonan banding, Kasasi, dan peninjauan kembali. Bundel B yang berkaitan dengan adanya permohonan banding,pada akhirnya akan menjadi arsip berkas Pengadilan Tinggi Agama. Sedangkan bundel B yang berkaitan dengan kasasi dan peninjauan kembali pada akhirnya menjadi milik atau arsip perkara Mahkamah Agung RI. Ada pun bundel B sehubungan dengan adanya perkara banding yang dirujukan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka hal-hal yang berhubungan dengan banding itu terdiri dari:
Salinan putusan Pengadilan Agama;
Akta banding;
Pemberitahuan penyerahan memori banding;
Pemberitahuan penyerahan kontra memori banding;
Pemberitahuan memberi kesempatan kepada pihak-pihak untuk melihat, membaca dan memeriksa (inzage) berkas perkara;
Surat kuasa khusus (kalau ada);
Tanda bukti pengiriman ongkos perkara banding.
Pemeriksaan Tingkat Banding
Secara garis besar, Pemeriksaan tingkat banding dengan pemeriksaan tingkat pertama terdapat perbedaan. Perbedaan utama terletak pada tata cara pemeriksaan. Proses pemeriksaan perkara pada pengadilan tingkat pertama bersifat hubungan langsung atau levend contact (life contact) antara hakim dengan pihak-pihak yang berperkara dan saksi-saksi. Pada dasarnya pemeriksaan pada tingkat banding tidak bersifat langsung antara hakim dan para saksi-saksi sebagaimana yang dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama. Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan dengan:
Dilakukan berdasarkan berkas perkara:
Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan melalui berita acara pemeriksaan pengadilan tingkat pertama. Yaitu berdasarkan berkas perkara
Apabila dianggap perlu dapat melakukan pemeriksaan tambahan, melalui proses:
Pemeriksaan tambahan berdasarkan putusan sela, sebelum menjatuhkan putusan akhir; atau putusan ditangguhkan menunggu hasil pemeriksaan tambahan.
Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan sendiri oleh Pengadilan Tingkat Agama (PTA).
Pelaksanaan pemeriksaan tambahan diperintahkan kepada pengadilan yang semula memeriksa dan memutus pada tingkat pertama.
Pemeriksaan tingkat banding dilakukan dengan majelis; Pasal 11 ayat 1 Lembaran Negara No.36 Tahun 1955, dipertegas dalam pasal 15 UU No.14 tahun 1970.
Putusan Pengadilan Agama yang dapat dilakukan banding ialah putusan akhir.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 9 UU No.20 tahun 1947 yang menegaskan Putusan Pengadilan Negeri yang bukan putusan akhir, hanya dapat diminta banding bersama-sama dengan putusan akhir. Ketentuan ini sama dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal 190 HIR atau Pasal 201 RBG.
Yang dimaksud dengan putusan akhir dengan putusan akhir atau eind vonnis ialah putusan yang sudah mengakhir sengketa secara keseluruhan. Boleh saja putusan akhir bersifat negatif maupun positif. Putusan akhir yang bersifat negatif ialah putusan yang belum menyentuh pokok perkara. Bisa pula putusan akhir bersifat positif dalam bentuk pengabulan atau penolakan gugaat.
Ini merupakan salah satu asas utama permohonan banding. Hanya takluk terhadap putusan akhir. Berdasarkan asas ini:
Tidak dapat diajukan eksepsi.
Jika banding hanya ditujukan semata-mata pada putusan eksepsi, sedang perkaranya belum diputus dalam bentuk putusan akhir. Maka banding tersebut tidak memenuhi syarat formal. Banding terhadap eksepsi harus bersamaan diajukan terhadap putusan akhir.
Pengabulan atau penolakan sita jaminan (CB) tidak dapat dibanding.
Begitu juga halnya dengan pengabulan atau penolakan atas permintaan sita jaminan tidak dapat dibanding, karena pengabulan atau penolakan sita, bukan putusan akhir.
Tidak dapat diajukan banding terhadap putusan provisi.
Gugat provisi diatur dalam Pasal-pasal 180 ayat (1) HIR atau pasal 191 ayat (1) RBG. Gugat provinsi ditemukan dalam anak kalimat yang berbunyi: Hakim dapat menjatuhkan (mengabulkan) putusan yang didahulukan, Gugat yang terselip dalam kalimat inilah yang lazim disebut gugat provisi (provisionele eis).
Putusan banding tidak boleh melampaui kewenangan mengadili
Jika putusan pengadilan tingkat pertama berupa putusan akhir mengenai kewenangan mengadili, pengadilan tinggi dalam tingkat banding tidak boleh memeriksa dan mengadili pokok perkara.
Upaya Hukum Kasasi
Pengertian kasasi
Kasasi artinya mohon pembatalan terhadap putusan agama/penetapan pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama) atau terhadap putusan pengadilan tingkat banding (pengadilan tinggi agama) ke mahkamah agung di Jakarta, melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama) yang dahulunya memutus, karena adanya alas an tertentu, dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.
Pemohon kasasi lawannya termohon kasasi. Dalam hal kedua belah pihak sama-sama memohon kasasi, berarti hanya ada pemohon kasasi,tidak ada termohon kasasi.
Upaya hukum kasasi baru bisa digunakan jika sudah mempergunakan hukum banding.
Alasan yang dapatdipakai untuk melakukan kasasi adalah:
Apabila peraturan hokum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaannya.
Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harus dilaksanakan menurut undang-undang.
Syarat-syarat agar permohonan kasasi dapat diajukan sendiri mencakup beberapa hal yaitu:
Perkara yang dimohonkan kasasi sudah diperiksa dan diputus oleh pengadilan tinggi dalam tingkat banding atau sudah diputus dalam tingkat terakhir.
Dalam hal putusan verstek, harus sudah memutuskan perlawanan terlebih dahulu kemudian mengajukan banding.
Masih dalam tenggang waktu empat belas hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan di beritahukan kepada pemohon.
Membayar biaya perjara untuk kasasi.
Harus di lampirkan memori kasasi yang memuat alasan-alasan kasasi.
Pihak yang berperkara atau kuasa mengajukan permohonan kasasi secara tertulis atau lisan melalui panitera pengadilant ingkat pertama yang telah memutus perkaranya dalam tenggang waktu empat belas hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksud, diberitahukan kepada pemohon. Panitera lalu mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, pada hari itu juga membuat akta permohonan yang dilampirkan pada berkas perkara, selambat-lambatnya tujuh hari setelah permohonan kasasi terdaftar.
Setelah pemeriksaan kasasi selesai, MahkamahAgung memberikan putusannya.
Putusan itu dapat berupa:
Permohonan kasasi tidak dapat diterima
Permohonan kasasi ditolak
Permohonan kasasi diterima
Putusan Hakim kasasi segera dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Negera bersangkutan, guna memberitahukan kepada pihak-pihak untuk dilaksanakan sebagaimana menstinya. Dengan adanya putusan kasasi itu, maka selesailah proses perkara yang bersangkutan. Apa yang diputus dalam kasasi merupakan putusan final karena itu dianggap benar.
Prosedur penerimaan perkara kasasi
Permohonan kasasi dapat di ajukan dalam waktu 14 hari setelah putusan diucapkan atau di beritahukan dalam hal putusan tersebut diucapkan di luar hadir tergugat.
Pernyataan kasasi dapat di terima apabila panjar biaya kasasi yang ditaksir dalam SKUM oleh meja pertama telah dibayar lunas.
Apabila biaya kasasi telah dibayar lunas, maka pengadilan wajib membuat akta pernyataan kasasi dan mencatat permohonan kasasi tersebut dalam register induk perkaraper data dan register induk perkara perdata.
Akta pernyataan permohonan kasasi dalam waktu 14 hari sesudah pernyataan kasasi harus di terima kepaniteraan Pengadilan Agama.
Tanggal penerimaan memori tersebut harus dicatat dalam suatu surat keterangan Panitera yang ditandatangani oleh Panitera
Jawaban kontra memori kasasi, selambat-lambatnya 14 hari sesudah disampaikannya memori kasasi, harus sudah disampaikan kepada pihak lawannya.
Dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan,berkas kasasi berupa bundle A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung RI.
Biaya pemeriksaan perkara kasasi untuk Mahkamah Agung RI harus dikirim melalui bank BRI Cabang Veteran Raya Nomor 8 Jakarta Pusat
Dalam menaksir biaya kasasi supaya diperhitung kan dengan besarnya biaya kasasi sebagaimana yang ditentukan oleh Mahkamah Agung RI tersebut di atas, ditambah dengan biaya pemberitahuan berupa pemberitahuan pernyataan kasasi,biaya pemberitahuan memori kasasi sebagaimana yang ditentukan oleh Mahkamah Agung RI.
Foto copy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung RI supaya dikirim ke Mahkamah Agung RI.
Pemeriksaan dalam tingkat kasasi
Sebagaimana pemeriksaan dalam tingkat pertama dan banding,pemeriksaan dalam tingkat kasasi juga harus dilaksanakan dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim,dan dibantu oleh seorang panitera atau paintera pengganti.
Pemeriksaan kasasi yang dilaksanakan oleh Majelis hanya memeriksa tentang hukumnya saja, tidak lagi memeriksa peristiwa dan pembuktian.Sehubungan dengan hal ini kedudukan risalah kasasi dan kontra risalah kasasi menjadi sangat penting bagi Mahkamah Agung untuk menentukan apakah hukum yang diterapkan benar atau tidak oleh hakim judex factie.Jika risalah kasasi tidak dibuat oleh pemohon kasasi maka kasasi dianggap tidak ada, sebab tidak mempunyai alasan hukum.Ketentuan pemohon kasasi yang tidak dibarengi dengan risalah kasasi dapat dilihat dalam penjelasan pasal 47 ayat(1) Undang-UndangNomor 14 Tahun 1985.
Jika pemeriksaan dalamtingkat kasasi telah selesai dilaksanakan, maka putusan kasasi dapat berupa sebagai berikut:
Permohonan kasasi tidak dapat diterima
Alasan permohonan kasasi tidak dapat diterima apabila jangka waktu permohonan kasasi yang ditetapkan olehUndang-undang telah lewat atau memori kasasi tidak diajukan oleh para pihak pemohon kasasi atau apabila permohonan kasasi diajukan oleh orang yang tidak berwenang.
Permohonan kasasi ditolak
Ditolaknya permohonan kasasi karena keberatan-keberatan yang diajukan sekarang oleh pemohon kasasi terhadap putusan hakim rendahan semata-mata mengenai kejadian atau peristiwa yang tidak diajukan kepada hakim judexfactie, atau apabila alasan-alasan kasasi yang dimuat dalam risalah kasasi semuanya berkenan dengan hal-hal pembuktian, sedangkan hakim rendahan telah menyatakan terbukti menurut hukum kebenarannya. Kasasi bisa juga ditolak oleh Mahkamah Agung apabila alasan yang diajukan kasasi yang termuat dalam risalah kasasi bertentangan dengan hukum.
Permohonan kasasi dikabulkan
Apabila permohonan kasasi beralasan dan alasan-alasan yang dimuat dalam risalah kasasi dibenarkan oleh Mahkamah Agung, maka permohonan kasasi dapat diterima atau dikabulkan.Sekiranya Mahkamah Agung menerima atau mengabulkan permohonan kasasi, maka putusan hakim judexfactie yang dimohonkan kasasi dibatalkan.
Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Pengertian Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali adalah upaya hukum luarr biasa (request civil) merupakan upaya untuk memeriksa atau memerintahkan kembali suatu putusan pengadilan (baik tingkat pertama, banding dan kasasi) yang telah berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya. Permohonan peninjauan kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Alasan-Alasan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Berdasarkan pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 jo pasal 67 UU No 14 Tahun 1985, alasan-alasam yang diperbolehkan mengajukan hukum peninjauan kembali terhadap suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah sebagai berikut:
Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongam, tipu muslihat pihak lawan atau bukti-bukti palsu.
Apabila setelah perkara diputus ditemukan novum.
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut dan lebih daripada yang dituntut.
Apabila mengenal suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
Putusan bertentangan satu sama lain.
Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan atau kekeliruan hakim yang nyata.
Prosedur Penerimaan Perkara Peninjauan Kembali
Dalam waktu 180 hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap atau sejak ditemukan bukti-bukti baru, panitera menerima permohonan Peninjauan kembali yang diajukan oleh pihak berperkara.
Pernyataan peninjauan kembali dapat diterima, apabila panjar biaya peninjauan kembali yang ditaksir dalam SKUM oleh meja pertama telah dibayar lunas.
Apabila panjar biaya peninjauan kembali telah dibayar klunas, maka pengadilan agama wajib membuat akta peninjauan kembali dan mencatat permohonan peninjauan kembali tersebut ke dalam register induk perkara dan register perkara peninjauan kembali.
Selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari, panitera wajib memberitahukan tentang permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawannya, dengan memberikan/mengirimkan salinan permohonan peninjauan kembali beserta alasan-alasannya kepada pihak lawan.
Jawaban/tanggapan atas alasan peninjauan kembali, selambat-lambatnya 30 hari sejak alasan peninjauan kembali tersebut diterima, harus sudah diterima dikepaniteraan pngadilan agama untuk disampaikan kepada pihak lawan.
Jawaban/tanggapan atas alasan peninjauan kembali yang diterima di kepaniteraan pengadilan agama, harus dibubuhi hari dan tanggal penerimaan yang dinyatakan diatas surat jawaban tersebut.
Dalam waktu 30 hari setelah menerima jawaban tersebut berkas peninjauan kembali berupa bundel A dan bundel B harus sudah dikirim le Mahkamah Agung RI.
Fotocopy relaas pemberitahuan putusan mahkamah agung RI supaya dikirim ke MA RI.
Administrasi Perkara Peninjauan Kembali
Berkas perkara peninjauan kembali terdiri dari dua bundel yaitu bundel A yang merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan atau proses pemeriksaan perkara tersebut yang selalu disimpan di pengadilan agama. Bundel B yang berkaitan dengan adanya permohonan peninjauan kembali akhirnya akan menjadi arsip berkas perkara di Mahkamah Agung RI.
Adapun bundel B untuk permohonan peninjauan kembali, terdiri atas:
Relaas pemberitahuan isi putusan MA RI, terutama kepada pemohon peninjauan kembali atau relaas pemberitahuan isi putusan banding bila permohonan peninjauan kembali itu diajukan atas pengadilan tinggi agama.
Surat permohonan peninjauan kembali.
Surat permohonan peninjauan kembali, dilampirkan juga surat-surat bukti.
Tanda terima surat permohonan peninjauan kembali.
Surat kuasa khusus (kalau ada)
Surat pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan.
Jawaban surat permohonan peninjauan kembali.
Salinan putusan pengadilan agama.
Salinan putusan pengadilan tinggi agama.
Salinan putusan Mahkamah agung RI.
Tanda bukti setoran biaya dari bank.
Surat-surat lain yang mungkin ada.
Kelengkapan administrasi permohonan peninjauan kembali sebagaimana tersebut diatas (bundel A dan bundel B) dijilid dengan rapi sesuai dengan susunan kronologis.selanjutnya dikirim ke Mahkamah Agung RI untuk kepentingan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Putusan Perkara Permohonan Peninjauan Kembali
Berdasarkan pasal 40 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985 ditegaskan bahwa pemeriksaan perkara permohonan peninjauan kembali dilaksanakan oleh MA RI dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim sebagai majelis hakim. Putusan MA RI terhadap perkara permohonan peninjauan kembali dapat diklasifikasi kepada 3 bentuk, sebagai berikut:
Putusan tidak bisa diterima
Suatu putusan tidak bisa diterima karena terlambat mengajukan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 69 UU Nomor 14 Tahun 1985. Putusan peninjauan kembali dinyatakan tidak bisa diterima oleh Mahkamah Agung karena: (1) permohonan diajukan oleh orang yang tidak berhak, (2) surat kuasa tidak disertakan dalam permohonan peninjauan kembali padahal permohonan tersebut dikuasakan kepada orang lain. (3) permohonan peninjauan kembali diajukan kedua kalinya, (4) permohonan peninjauan kembali dimohonkan terhadap putusan pengadilan agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. (5) permohonan yang diajukan tidak memenuhi syarat-syarat formal yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Putusan tidak dikabulkan atau ditolak.
Permohonan peninjauan kembali ditolak oleh MA apabila alasan-alasan itu tidak didukung oleh fakta yang benar yang menjadi alasan dan menjadi dasar permohonan peninjauan kembali. Apabila MA RI menolak permohonan peninjauan kembali, maka putusan yang telah mempunyao kekuatan hukum tetap sebelumnya tetap berlaku.
Putusan dikabulkan.
Permohonan peninjauan kembali akan dikabulkan oleh MA RI apabila alasan-alasan peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon sesuai dengan ketentuan pasal 67 UU nomor 14 tahun 1985. Putusan Mahkamah Agung RI dalam hal menerima atau mengabulkan permohonan peninjauan kembali dapat mengabulkan seluruh permohonan peninjauan kembali itu atau dapat mengabulkan sebahagian dari gugatan. Hal itu dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 167 PK/Pdt?1991 tanggal 14 April 1994.
Apabila MA RI sudah memberikan putusan kepada perkara yang dimohonkan peninjauan kembali, maka salinan putusan MA RI segera dikirim melalui pengadilan agama yang mengajukan permohonan peninjauan kembali tersebut dan panitera berkewajiban untuk memberitahukan bunyi putusan tersebut serta mngirimkan turunan dari salinan putusan itu kepada pihak lawan pemohon.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Upaya hukum merupakan suatu tidakan yang diberikan atau hak yang diberikan oleh undang-undang kepada para pihak yang tidak puas dengan keputusan peradilan pada tingkat pertama, dan kedua, terdapat dua upaya hukum yaitu upaya hukum biasa, yang termasuk upaya hukum biasa adalah upaya hukum banding dan upaya hukum kasasi. Kemudian upaya hukum luar biasa, yang termasuk dalam upaya hukum ini adalah penijauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum.
Upaya hukum luar biasa karena penijauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap hanya dapat dimohon oleh para pihak yang berkepentingan kepada MA, bahwa adanya kemungkinan untuk penijauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dimaksud untuk memenuhi hasrat pencari keadilan karena suatu hal yang tidak mustahil hakim sebagai manusia tidak luput dari kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifa Nur, Aspek Yuridis Tentang Upaya Hukum Luar Biasa (Penijauan Kembali) Terhadap Putusan Yang Berkekuatan Hukum tetap, (Dalam Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 2 Vol. 4 Tahun 2016.
Rasyid A Roihan. H. Dr., S.H., M.A., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016).
Sulaikin lubis, winmar Ain Marzuki, Gemala Dewi, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: kencana, 2008).
Manan Abdul, H. Drs. SH., S.IP., M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000)
Harahap Yahya, M., S.H., Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika 2009),
Prof. Dr, Krisna Harahap, SH, MH, Hukum Acara Perdata (Mediasi ,ClassAction ,Arbitrase & Alternatif), (Bandung: PT Grafitri Budi Utami,2007)
Comments
Post a Comment